Pak Tjuk Relawan Sosial yang Banyak Akalnya
Kita mengenal almarhum Pak Tjuk, Dr. Haji Tjuk Kasturi Sukiadi, seorang aktifis relawan sosial senior dari Surabaya sebagai sosok yang tidak putus-putusnya membela, membantu dan pro keluarga miskin serta kaum disablitas tanpa pandang bulu. Pak Tjuk meninggal dunia pada hari Sabtu, 16 Januari, 2021 dan akan dikenang sebagai tokoh kesetiakawanan sosial yang sangat tangguh. Kita ucapkan belasungkawa yang mendalam, kita doakan semua kesalahan dan dosanya diampuni oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan di tempatkan disisi-Nya sesuai amal ibadahnya. Aamiin.
Kita kenang beliau bahwa pada setiap ada Raker atau Munas Dewan Nasional Kesejahteraan Sosial (DNIKS) beliau selalu menjadi tokoh yang disegani di kalangan Pengurus dari pusat sampai daerah karena beberapa alasan. Salah satu adalah karena beliau memimpin K3S di provinsinya tanpa pernah mengeluh untuk melakukan kegiatan menolong keluarga miskin dan disabilitas. Lembaga yang menjadi binaan dari DNIKS itu memiliki aset yang bisa menopang kegiatan dengan baik. Beliau adalah relawan senior yang memiliki laporan kegiatan program yang mengagumkan. Tadinya para anggota tidak tahu rahasianya. Tetapi akhirnya terungkap bahwa sebagai Ketua BK3S di Jawa Timur pada jaman Mensos Order Baru pernah menerima bantuan Mensos tetapi tidak dihabiskan. Sehingga setiap kali BK3S melakukan kegiatan sosial tidak harus keliling mencari sponsor untuk kegiatan yang tidak banyak tetapi sangat menyentuh hati nurani masyarakat luas.
Seperti kita ketahui, dalam organisasi sosial masalah dana selalu menjadi kendala organisasi. Tetapi bagi Pak Tjuk, untuk Jawa Timur masalah dana tidak pernah mencuat di forum resmi karena sebagai ekonom Pak Tjuk selalu pintar mengelola dana untuk BK3S di Jawa Timur.
Pertama, jaman makmurnya SDSB, Menteri Sosial membagikan dana yang cukup melimpah kepada setiap BK3S di tingkat Provinsi untuk berbagai kegiatan sosial karena dana SDSB dikelola oleh Menteri Sosial. Pak Tjuk atas nama BK3S tidak menggunakan dana habis tetapi melakukan investasi dengan membeli suatu properti yang kemudian menjadi Ruang Pertemuan dan Kantor BK3S yang megah dan multi guna. Dengan properti itu maka Ruang Pertemuan tidak dibiarkan menganggur tetapi dimanfaatkan untuk umum dengan sewa sehingga menghasilkan dana secara berkelanjutan untuk kegiatan BK3S tanpa harus lari meminta sumbangan yang makin hari makin sulit.
Pada waktu masih muda dan memimpin BK3S Pak Tjuk tidak mengembangkan BK3S daerah semata-mata mengikuti petunjuk dari pusat pada setip kabupaten atau kota. Apabila kegiatan tidak ada dan tidak banyak relawan yang mau bekerja secara sukarela atau sanggup mencari dana sendiri, maka BK3S tidak diadakan semata karena kepingin “ada cabang saja”. Hasilnya tata organisasi di Jatim menjadi sederhana sehingga pengurus juga sederhana karena kegiatan yang terbatas bisa diatasi oleh Organisasi BK3S yang ada di tingkat Provinsi. Dan terbukti benar banyak kegiatan yang dijamin dengan dana dari penyewaan ruang pertemuan sehingga program berjalan degan marak dan mengagumkan.
Pada waktu Pak Tjuk kami ajak ikut pada Pertemuan Lembaga Sosial internasional di Hong Kong bersama Dr. Sudarmadi dari PWRI, Dr. Mulyono Dani Prawiro dari Damandiri dan Dr Rohadi Hariyanto dari DNIKS dan kami pimpin langsung, ternyata keputusan Pak Tjuk di Surabaya yang tidak ditegur oleh Pimpinan DNIKS tingkat pusat itu berlaku secara manis dengan hasil karya upaya kesejahteraan sosial yang gegap gempita di banyak organisasi sosial internasional, yaitu bahwa suatu organisasi sosial tidak perlu memiliki struktur organisasi yang “ruwet atau longgar” sampai cabang tingkat kabupaten, kecamatan dan desa dengan pengurus yang besar. Satu kantor dan beberapa orang pengurus sudah cukup asal bisa bergerak lincah secara nasional. Yang penting adakah bahwa cakupan yang dilayaninya, bukan organisasinya yang luas dan besar, tetapi target sasaran yang dibantu dengan baik, ikhlas dan berkelanjutan serta “tidak terkesan “ribet”. Pengalaman Pak Tjuk dan organisasi sosial dunia itu barangkali perlu menjadi pelajaran bagi DNIKS agar bisa menjadi organisasi profesional sederhana, lincah yang melalui gerakan dengan cakupan nasional besar bersama “mitra kerja” organisasi lain sepaham, bisa melakukan kegiatan yang menguntungkan sasaran, tidak perlu segalanya dilakukan organisasi sendiri atau cabang-cabangnya secara linear.
Selanjutnya Pak Parni Hadi yang kita kenal pernah memiliki berbagai jabatan resmi sebagai Direktur RRI, Kantor Berita Nasional Antara dan banyak terjun dalam berbagai kegiatan sosial, memiliki pengalaman dan kesan yang luar biasa terhadap Pak Tjuk sahabat dan aktifis DNIKS dan jajaran BK3S dari seluruh Indonesia. Beliau menulis bahwa beliau kenal tatap muka pertama dengan Mas Tjuk (Dr. Haji Tjuk Kasturi Sukiadi) baru setelah tahun 2005. Kalau pak Parni Hadi menulis dan memanggil Pak Tjuk denan sebutan “Mas” sebagai sahabatnya, saya selalu memanggil Pak Tjuk tidak dengan Mas tetapi selalu dengan sebutan “Pak”. Ada alasan tertentu untuk itu. Setiap kali ada Raker atau Munas DNIKS beliau selalu menjadi tokoh yang disegani di kalangan Pengurus dari pusat sampai daerah karena beberapa alasan. Sebelumnya Pak Parni Hadi sudah sering baca tulisannya di berbagai media. Kenal, langsung saling cocok. Awalnya adalah kasus lumpur Sidoarjo (Lapindo). Mas Tjuk, beliau selalu menyapa Pak Tjuk, bersama temannya, Letjen (Purn) Marinir Suharto dan dr. Zulkifli datang ke RRI, ketika itu beliau Dirut RRI, di Jalan Merdeka Barat Nomor 4-5, Jakarta.
Kami diskusi soal bagaimana menyelamatkan korban Lapindo. Kami sepakat dengan kawan-kawan jejaring lainnya untuk menutup sumber lumpur Lapindo. Nampaknya, usaha itu tidak berhasil secara maksimal dengan beberapa alasan. Setelah itu, kami sering ngobrol secara pribadi mengenai bermacam hal yang berkaitan dengan pembelaan nasib wong cilik.
Ini tentu terkait dengan masalah ideologi politik, ekonomi, dan praktik pelaksanaan di lapangan. Pak Parni Hadi terkesan dengan sikap Mas Tjuk yang pro rakyat kecil. Ia bicara terus terang bahwa dirinya seorang Soekarnois. Ia biasa melawan arus terhadap kekuasaan, walaupun ia semula mendukung calon penguasa tersebut. Tapi ketika ia menilai penguasa itu dianggap sudah menyeleweng, Mas Tjuk tidak segan-segan melancarkan kritiknya secara terbuka.
Karena keterus-terangannya itu, ia mengaku diblokir aksesnya untuk menulis di beberapa media besar lokal dan nasional. Menanggapi hal itu, ia hanya tertawa-tawa saja. Sebagai seorang ekonom senior dengan gelar Doktor, ia menolak ketika mau diberi gelar profesor dengan persyaratan tertentu. “Kalian tidak percaya sama saya?” tanyanya kepada para juniornya di UNAIR, Surabaya.
Bicara tentang Mas Tjuk adalah bicara tentang kesejahteraan sosial. Ia adalah tokoh legendaris BK3S (Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial) Jawa Timur dan pengurus teras DNIKS (Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial) di Jakarta.
Posturnya tinggi besar seperti Bima. Suaranya lantang, tegas, bernas, penuh wibawa, tapi hatinya lembut, penuh kasih sayang kepada sesama, terutama mereka yang menderita. Pada tanggal 10 November 2010, Mas Tjuk mendeklarasikan Ikatan Relawan Sosial Indonesia (IRSI) di Surabaya. Mengetahui saya sebagai wartawan dan inisiator Dompet Dhuafa (DD), ia memberi saya kaos dengan logo IRSI dan minta saya mau memimpin IRSI. Saya jawab, “Ok.”
Ketika saya minta mana logo, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IRSI, Mas Tjuk menjawab,”Lho Dik, gawenen dhewe (buatlah sendiri), belum ada itu!” Setelah itu kami berdua ketawa terbahak-bahak. Dari hubungan profesional dan sosial, kami membina hubungan kekeluargaan. Kami saling mengunjungi. Saya kenal Mbakyu Tjuk, putra dan putrinya. Demikian pula Mas Tjuk kenal keluarga saya dan merasa cocok dengan Yos (Wiyoso Hadi), anak saya dalam hal pemikiran ruhani.
Ketika putrinya, Mbak Anggi, wafat beberapa tahun lalu, Mas Tjuk minta saya pidato di pemakamannya mewakili keluarganya. Saya kaget dan merasa sekaligus terhormat. Saya sampaikan dalam pidato pendek saya, “Hari ini kita saksikan like daughter like father. Almarhumah Mbak Anggi seorang volunteer and fighter demikian juga Bapaknya.” Mbak Anggi adalah perintis dan Ketua pertama IRSI Cabang Jakarta yang aktif terjun ke lapangan bersama teman-teman jejaringnya. Sepeninggal Mbak Anggi, saya belum mendapat kader sekaliber dia.
Saya anggap Mas Tjuk kakak saya sendiri. Kami cocok dalam pemikiran nasionalisme, patriotisme, Pancasila, Falsafah Jawa, Islam, dan pro kaum miskin. Karena itu, Beliau saya minta menjadi Relawan Senior Ahli Bidang Ekonomi Dompet Dhuafa (DD). Ia menyandang tugas sebagai Relawan DD sampai akhir hayatnya. Pak Parni Hadi aktifis yang luar biasa itu menyatakan bahwa tulisan ditas diketik oleh anak sulung beliau Wiyoso Hadi, yang memanggil Mas Tjuk dengan sebutan Pakdhe.
Sebelum menulis catatan singkat itu pada waktu pak Tjuk meninggal dunia, beliau menulis pernyataan spontan singkat yang saya mohon ijin untuk ikut menyatakan aamiin karena cocok dengan pikiran saya dan sekaligus minta ijin tukisan beliau dimuat dalam gemari.id agar tersebar luas keseluruh dunia. Reaksi spontan itu adalah sebagai berikut :
Indonesia kehilangan salah satu putera terbaiknya.
Nasionalis, patriot sejati, relawan, cendekiawan pro rakyat sepanjang hayat,
Mas Tjuk (Dr. H. Tjuk Kasturi Sukiadi), Sabtu, 16 Januari, 2021.
Seorang Soekarnois telah menyusul idola, guru, dan panutannya.
Itulah Mas Tjuk. Posturnya tinggi besar seperti Bima.
Sikapnya jelas, tegas, tegar membela yang dianggapnya benar.
Bicara ceplas ceplos, hatinya polos. Tegas, tapi ikhlas.
Selamat Jalan Mas Tjuk (Kasturi Sukiadi), nasionalis sejati, muslim nan religius, relawan sosial sepanjang hayat, ekonom yang peduli nasib rakyat. Mas Tjuk, deklarator Ikatan Relawan Sosial Indonesia (IRSI), cita-cita mulia, dan perjuanganmu, Insya Allah, kami terus lanjutkan, wujudkan, semampu kami. Beristirahatlah dengan damai dalam selimut rahmat Ilahi, Mas Tjuk. Doa kami selalu, adikmu, penerusmu,