Jangan Kuatir Anda Tidak Sendirian
Ketika kita menghadiri suatu pertemuan dan kemudian disambut dengan antusias oleh panitia penyelenggara serta mendapatkan tempat duduk di deretan yang paling terhormat, tentunya kita akan merasa bangga dan senang bukan ? Namun bila tiba-tiba Anda diminta oleh panitia untuk memberikan sambutan pada acara tersebut, apa kira-kira yang hendak Anda sampaikan kepada audiens yang hadir pada pertemuan itu ? Apakah memutuskan untuk duduk saja dan menolak permintaan itu, atau dengan percaya diri maju ke podium lalu berbicara?
Bila Anda menyatakan “ya saya bersedia” maka pada gilirannya Anda akan dipersilahkan naik ke atas podium dan menuju ke pengeras suara. Nah secara otomatis dalam hati Anda akan berkata “ saya akan bicara mengenai apa, topiknya apa, dan latar belakangnya bagaimana”, disitulah perasaan Anda mulai teruji. Apa lagi bila sewaktu naik diatas podium, seluruh hadirin bertepuk tangan seolah-olah menyambut dan menginginkan sesuatu yang baru dan menarik keluar dari mulut Anda.
Saya yakin, bagi yang belum biasa berhadapan dengan audiens, mereka akan merasa ketakutan yang luar biasa, apa lagi bila yang bersangkutan tidak mempersiapkan apapun yang hendak disampaikan dengan sebaik-baiknya sebelumnya. Sebenarnya ketakutan berbicara di depan umum itu adalah sesuatu yang sangat menyakitkan hati, dan ketakutan akan membatasi peluang kita untuk mendapatkan pengakuan dan kemajuan, demikian dikatakan seorang penulis buku terkenal Kevin Daley dalam bukunya berjudul Speaking Mastering. Disamping itu ketakutan adalah sesuatu yang tidak ada manfaatnya sama sekali, dan justru itu merupakan sesuatu yang merugikan.
Bila kita berbicara tentang rasa takut, maka tidak ada salahnya bila kita juga menyimak survey yang pernah dilakukan oleh orang atau lembaga yang telah berpengalaman untuk melakukan penelitian dimaksud. Perasaan takut berbicara di depan umum ternyata dialami oleh banyak orang, bukan saja di Indonesia tetapi juga seluruh dunia, termasuk di negara maju seperti Amerika pun banyak sekali orang yang takut berbicara di depan umum.
Saya ingin mengajak pembaca untuk melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh The people’s Almanack Book of Lists, beberapa waktu yang lalu. Penelitian tentang perasaan takut dilakukan terhadap 3000 orang Amerika. Dan yang paling mengesankan dari hasil survey itu adalah bahwa yang paling tinggi yaitu mencapai 41% ternyata bahwa yang paling ditakuti oleh orang Amerika adalah ketika ia berbicara di depan umum atau kelompok. Takut berikutnya adalah ketika seseorang menghadapi ketinggian yaitu 32%, takut terhadap serangga dan hama, masalah keuangan, air yang dalam, masing-masing 22%, dan penyakit dan kematian, masing-masing 19% dan yang paling kecil adalah takut terbang yang menduduki peringkat terakhir yaitu 18%. Jadi takut berbicara di depan umum menduduki peringkat yang utama dalam survey yang dilakukan tersebut. Jadi kalau Anda juga takut berbicara di depan umum, itu artinya Anda tidak sendirian. Survey semacam ini sepertinya perlu dilakukan di Indonesia.
Ketika kita dihadapkan pada keadaan yang mungkin sebagian dari kita bukan pembicara yang professional dan belum pernah berpengalaman, bagaimana berhadapan dengan audiens dan berbicara di depan mereka, tentu kita akan gugup. Apa yang terjadi bila kita mengalami gugup? Ada beberapa keadaan yang terjadi bila saat gugup itu muncul. Pertama-tama adalah perut merasa mual, pikiran bercampur-aduk, perasaan deru sayap kupu-kupu yang mengepak-ngepak dalam perut saat ber-presentasi. Mulut tiba-tiba menjadi kering, muncul ketegangan, getaran dalam suara, perasaan canggung, tidak tahu harus diapakan tangan ini, napas pendek, keringat menetes dengan sendirinya, wajah agak pucat dan masih banyak lagi keanehan yang tiba-tiba muncul di tubuh kita. Kalau itu terjadi pada Anda, maka Anda adalah manusia yang wajar, bukan manusia aneh, Anda manusia normal.
Seperti yang telah disinggung di atas, kalau Anda takut berbicara di depan umum, maka jangan merasa rendah diri, masih banyak orang bahkan jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan orang yang sama seperti Anda. Saat ini sudah mulai banyak bermunculan tempat-tempat kursus yang mengajarkan bagaimana cara berbicara yang baik dan ideal di depan umum, dan bagaimana mengembangkan rasa percaya diri. Salah satu yang paling menonjol dalam program yang ditawarkan adalah memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya bagi peserta untuk berbicara sambil berdiri. Semakin banyak berbicara sambil berdiri itu adalah semakin baik dan cenderung dapat mengalahkan ketakutan dan dapat mengembangkan rasa percaya diri.
Kita tidak dapat mengalahkan ketakutan dan mengembangkan rasa percaya diri itu hanya dengan mendengarkan ceramah saja, namun bila kita ingin juga bisa seperti mereka (pembicara professional) yang telah memberikan ceramahnya, maka kita perlu berlatih dan berlatih terus. Seperti yang dikatakan oleh Ralph Waldo Emerson “Jika Anda dapat melakukan sesuatu satu kali, Anda dapat melakukannya untuk kedua kalinya. Jika Anda dapat melakukannya dua kali, Anda membuat kebiasaan dari padanya”.
Memang berbicara apalagi di depan umum sebaiknya memerlukan persiapan yang cukup, sehingga kita tahu persis apa yang hendak kita sampaikan. Abraham Lincoln pernah berkata “ Saya percaya bahwa saya tidak pernah terlalu tua untuk berbicara tanpa rasa malu – ketika saya tidak mempunyai apa-apa untuk dikatakan”. Demikian juga Perdana Menteri Inggris Winston Churchil mengatakan, bahwa ia butuh waktu selama enam sampai tujuh jam untuk menyiapkan sebuah pidato yang lamanya 45 menit. Ia tidak bisa santai-santai, tetapi harus bekerja keras, karena ingin tampil percaya diri, dan pesan yang akan disampaikannya itu bermanfaat bagi audiens dan bagi dirinya sendiri.
Saat ini kita hidup dalam abad modern, dimana komputer selalu berada diujung jari kita, bahkan alat itu bisa membantu kita untuk berpikir. Kalau kita suatu saat berkesempatan untuk berpidato, maka alangkah baiknya bila kita telah menyiapkan naskah sebelumnya dan mencatat pembicaraan yang akan kita sampaikan. Ini akan membantu menyusun pemikiran kita dan timbul keyakinan pada diri kita karena bisa melihat apa yang hendak dibicarakan di depan audiens nantinya.
Pada waktu berpidato sebaiknya kita membawa catatan-catatan kecil sebagai pointers, dan sangat baik apabila menghindari membaca naskah atau teks, kecuali dalam keadaan terpaksa. Pengalaman-pengalaman sendiri yang disampaikan itu akan merasa terkesan bagi audiens, dibandingkan bila kita hanya membaca naskah pidato. Bagi Audiens akan merasa puas bila yang berbicara itu melemparkan senyum dan berdiri tegak, berani, keras dan bersuara lantang tanpa melihat naskah yang telah disiapkan di depannya.
Andai kita pendengar yang cukup berpengalaman, ketika kita mengamati si pembicara mulai berbicara, hal yang pertama yang kita lakukan adalah menentukan apakah pembicaraan itu langsung, dalam arti datang dari dalam kepala si pembicara itu sendiri, atau ia hanya membacakan naskah yang telah disiapkan.! Kalau si pembicara itu membaca naskah, oleh Kevin dikatakan sama dengan ”roti yang telah berumur sehari”, tidak peduli betapa pun intelektualnya naskah tersebut, dan audiens akan memandangnya sebagai pembaca berita kemarin atau berita yang sudah basi dan tidak menarik lagi. Ada kemungkinan akan ditinggalkan oleh audiens, sehingga ruang pertemuan lama-kelamaan akan terlihat semakin kosong.
Bagi audiens yang dengan terpaksa mendengarkan seorang pembicara yang hanya membaca catatan atau teks yang telah disiapkan di atas podium, mungkin mereka merasa diremehkan atau ditipu, karena unsur dramatisnya tidak nampak, serta akan membawa mereka ke dalam situasi yang membosankan. Dalam hati mungkin mereka akan bertanya, apakah isi naskah itu ditulisnya sendiri atau dibuatkan oleh orang lain (stafnya)?. Tetapi bagi yang menyiapkan naskah yang kebetulan ada di tempat dimana si pembicara mulai berbicara, ia pasti bangga, dan dalam hati si pembuat naskah pidato akan berkata ”Saudara-saudara yang saya hormati, sebentar lagi Saudara-saudara akan mendengarkan pidato saya yang akan dibacakan oleh pimpinan saya, selamat mendengarkan”. Kurang lebih demikian komentar yang ada dalam hatinya.
Namun bila kita menemui seorang pembicara mulai berbicara dengan kepala tegak sambil senyum dan melihat audiens ketika dia berbicara, maka kita pastikan bahwa yang sedang kita dengar saat ini adalah ”roti hari ini” yang tentunya masih segar dan hangat serta baru keluar dari panggangan yang disajikan tepat di depan mata kita. Walaupun mungkin isi materi yang disampaikan tidak terlalu intelektual, tetapi kita sudah memberikan acungan jempol. Pembicara itu bisa membawa kita bagaikan menonton sebuah pertunjukan yang hidup dan mengesankan. Kita pasti betah duduk walau mungkin kaki ini sudah mulai kesemutan, karena sudah terlalu lama. Meskipun pembicara belum selesai dalam menyampaikan seluruh pidatonya, kita merasa puas dan tentunya kita sudah angkat jempol dan memberikan bonus kepada si pembicara tersebut. (Penulis adalah Dosen Pascasarjana dan Anggota Senat Universitas Satyagama dan Universitas Trilogi, Jakarta)