Pidato dr. Hasto Wardoyo pada Pengukuhan Gelar Doktor Honoris Causa

[Mohon diperiksa pada saat disampaikan pada hari Sabtu 1 Agustus 2020 di UNY Yogyakarta]

Pidato dr. Hasto Wardoyo Sp OBYN Pada Pengukuhan Doctor Honoris Causa Universitas Negeri Yogyakarta Yogyakarta, 1 Agustus 2020

Yang saya muliakan:

Uny.jpg

▪ Rektor Universitas Negeri Yogyakarta; ▪ Wakil Rektor Universitas Negeri Yogyakarta; ▪ Ketua dan Sekretaris Senat Universitas Negeri Yogyakarta; ▪ Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta; ▪ Gubernur DI. Yogyakarta ▪ Para Guru Besar, Pembantu Rektor; ▪ Para Dekan, Pembantu Dekan, Dosen, Mahasiswa dan Seluruh Keluarga Besar Universitas Negeri Yogyakarta; ▪ Para Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat; ▪ Para Tamu Undangan, Bapak/Ibu Hadirin yang berbahagia. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Shalom, Salam sejahtera bagi kita semua, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan. Pada hari yang berbahagia ini, terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberi kesehatan dan kesempatan untuk dapat hadir dalam acara penganugerahan Doctor Honoris Causa ini. Atas taufik, hidayah dan rahmat-Nyalah, saya dapat berdiri di hadapan rapat terbuka Senat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sebagai promovendus untuk memperoleh kehormatan besar penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Rekayasa Sosial Kemasyarakatan. Hadirin yang saya hormati, Pertemuan kita saat ini merupakan peristiwa besar bagi saya karena bukan sekedar pertemuan ilmiah saja, namun merupakan pertemuan ideologi, 2 yaitu ideologi pembangunan sosial, budaya dan ekonomi kerakyatan, antara UNY dan kami selaku praktisi pelayan publik. Izinkan saya menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor, yang telah memberikan kepercayaan dan kehormatan kepada saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan Doctor Honoris Causa dalam Bidang Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat Vokasional dari Universitas Negeri Yogyakarta. Penghargaan yang saya terima ini, tentu tidak lepas dari dukungan Pemerintah Daerah Kulon Progo serta masyarakat Kulon Progo yang saya cintai, dimana saya mendapatkan semangat untuk mengabdi, belajar bersama masyarakat, saling mengisi dan memberdayakan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada Bapak/Ibu/Saudara hadirin sekalian yang telah berkenan hadir pada acara pengukuhan yang sangat penting bagi saya dan keluarga. Hadirin yang saya hormati, Promovendus mengucapkan terima kasih kepada Promotor yang telah mengusulkan pemberian gelar Doctor Honoris Causa kepada saya. Untuk itu, izinkan saya menyampaikan pidato pengukuhan di hadapan sidang yang mulia ini, dengan judul: “PERAN PENDIDIKAN VOKASIONAL UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN DI BIDANG EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN KULON PROGO” Adanya reformasi birokrasi dan new public management membuat perubahan yang signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Reformasi berasal dari kata dalam Bahasa Latin “reformo” yang berarti suatu upaya peningkatan atau perubahan atas apa yang salah, korup, dan tidak memuaskan. Christopher Wyvill (1740-1822) tercatat sebagai seorang aktivis reformasi dan pemilik tanah di Inggris yang mengilhami gerakan reformasi politik dengan pembentukan Asosiasi Yorkshire yang kemudian menjadi gerakan pada 1779 untuk melakukan reformasi parlemen. Sementara itu new 3 public management adalah istilah yang diciptakan pada akhir 1980-an yang menjadi fokus baru pentingnya manajemen dalam penyampaian layanan publik, dan sering dikaitkan dengan doktrin rasionalisme ekonomi (Hood 1995, Pollitt 1993). Dalam periode tersebut manajemen publik menjadi perhatian khusus dalam pembuatan kebijakan publik yang berorientasi pada pencapaian kinerja dan akuntabilitas manajer publik. Doktrin ini membawa aliran kumulatif keputusan kebijakan selama dua puluh tahun terakhir ke arah perubahan yang substansial dalam tata kelola dan manajemen "pemerintahan" di Inggris, Selandia Baru, Australia, Skandinavia, Amerika Utara, dan Amerika Latin. Pada dekade 1990-an terjadi kecenderungan penerapan new public management di negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk meningkatkan standar kesejahteraan rakyat dan memperbaiki tata pemerintahan yang baik. Sistem dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang tidak baik dibenahi dan ditata ulang untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pembaharuan dan perubahan mendasar sistem penyelenggaraan pemerintahan menyangkut aspek-aspek kelembagaan (institusi dan organisasi), tata laksana (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur negara. Perubahan Paradigma dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelayanan Publik di Indonesia Hadirin yang saya hormati, Seiring dengan perkembangan teknologi 4.0, ilmu pengetahuan juga berkembang pesat. Sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan adanya paham pendekatan ilmiah positivistik dan non-positivistik (Alakwe, 2017). Paham positivistime lebih mengedepankan pendekatan berdasar indrawi dan realitas, sedangkan non-positivistisme mengedepankan pendekatan ilmiah yang lebih menekankan akal daripada indrawinya. Thomas Kuhn (1962) merupakan salah satu tokoh non-positivistik yang menolak adanya perkembangan ilmu pengetahuan hanya secara kumulatif dari pendekatan indrawi dan realitas lalu menghasilkan paradigma dan normal sains. Hal ini tidak bisa memecahkan 4 masalah-masalah kritis dan anomali-anomali yang muncul. Harus ada paradigma baru dan mindset baru, sehingga Kuhn berpendapat tidak cukup dengan inovasi yang hanya menjadi bagian dari normal sains tetapi harus dengan revolusi dengan melahirkan paradigma baru. Dari uraian di atas maka perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik untuk kesejahteraan rakyat juga harus dengan paradigma baru, tidak cukup dengan inovasi pelayanan yang sekedar menjadi bagian dari normal sains akan tetapi harus dengan perubahan paradigma yang revolusioner, merubah mindset, merubah tatanan/regulasi (Thomas Khuhn, 1962). Dalam sejarah perkembangan ilmu pemerintahan di tanah air, kita mengenal Conrad Theodore van Deventer (1857-1915), seorang ahli hukum Belanda yang kemudian dikenal sebagai pengajar ilmu politik yang mengajarkan tentang ilmu pemerintahan kepada orang-orang Belanda saat akan ditugaskan di kantor-kantor pemerintahan Belanda di Indonesia. Saat itu, terlepas dari tugas dan kepentingan dari Belanda, beliau menegaskan perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi agar Belanda tidak mengalami kebangkrutan seperti yang dialami Spanyol akibat perlakuan buruk kepada rakyat di tanah jajahan mereka. Pemikiran tersebut kemudian diikuti dengan penunjukan orang-orang pribumi terpilih dan bersedia untuk menjadi bagian dari alat birokrasi di wilayah kekuasaan yang disebut sebagai pangreh praja atau “Inlands Bestuur”. Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, konsep pangreh praja secara bertahap berubah menjadi pamong praja. Chobib Soleh dan Bambang Trisantono (2001) menyatakan perbedaan kedudukan, tugas, fungsi dan peranan antara konsep pangreh praja dan pamong praja. Pangreh atau pamong praja secara superfisial memiliki fungsi yang sama sebagai pelaksana tugas dalam suatu sistem birokrasi, namun secara substansial makna keduanya berbeda baik dari sisi psikologis dan filosofis. Pangreh mengandung makna “keinginan” untuk menguasai, sementara itu pamong bermakna “melayani dan mengayomi”. Filosofi pamong proja ini sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia menjadi nilai dasar aparatur negara untuk mengutamakan karakter birokrat sebagai abdi negara demi mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kejayaan negara. Dalam hal ini, 5 dibutuhkan satu harmoni antara karakter birokrasi yang melayani dan kemampuan teknokrasi yang berorientasi pada semangat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dengan kompetensi tinggi dalam memecahkan akar permasalahan secara efisien dan efektif. Menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan & RB), pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan adalah dalam aspek pemberian pelayanan prima. Terkandung tiga hal utama yang perlu dipenuhi dalam pengejawantahan pelayanan prima ini, yaitu pertama, antitesis mental aparatur negara dari ‘penguasa’ menjadi ‘pelayan’. ”Jika dapat dipermudah mengapa harus dipersulit” merupakan kiasan mental yang mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan administratif. Mendahulukan peranan daripada wewenang, tidak terpaku pada proses dan hasil produksi (ouput) namun berorientasi pada hasil akhir (outcome) Kedua, menyandarkan pada sistem pelayanan yang terintegrasi untuk memenuhi atau bahkan melampaui ekspektasi stakeholder-nya. Memperbaiki citra pelayanan publik pemerintah yang terstruktur, tidak berbelit-belit dan nyaman. Terbukanya kanal komunikasi pemerintah dan masyarakat menunjukkan tekad pemerintah untuk melakukan perbaikan dan merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Memiliki ketrampilan ”mendengarkan” masalah masyarakat, membaca peluang dan menyuburkan proses penciptaan inovasi merupakan hal ketiga yang didorong oleh Kemenpan & RB melalui gerakan one agency one innovation. Pejabat daerah harus memiliki keyakinan kuat dalam diri untuk mengubah lingkungan kerja atau daerahnya melalui ide, inovasi dan gagasan perubahannya. Setelah itu harus segera menindaklanjuti dengan keberanian mengambil risiko untuk mewujudkan perubahan melalui organisasi dan/atau masyarakat yang dipimpinnya, sampai menghasilkan dampak positif yang nyata bagi semua. Strategi ini diyakini mampu menciptakan birokrasi pemerintah yang lebih profesional, demokratis, transparan, dan akuntabel serta mampu menjawab ketentuan dasar keadilan. Sebuah sistem pemerintahan yang juga menghadirkan cita rasa enterpreneurship yang mengedepankan budaya 6 pemberdayaan, kemitraan, fungsionalisasi dan pengurangan ego birokrasi. Dapat disimpulkan bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak terlepas dari konsepsi Khun dan sejarah yang ada. Perubahan revolusioner tampaknya diperlukan untuk memperbaiki sistem pemerintahan di Indonesia agar akuntabel memberikan pelayanan prima bagi konstituennya. Konteks Membangun Kemandirian Kabupaten Kulon Progo, Praktik Terobosan Kebijakan dan Tantangan Transformasi Birokrasi Hadirin yang saya hormati, Secara geografis Kulon Progo adalah Kabupaten yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta, berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di timur, Samudra Hindia di selatan, Kabupaten Purworejo di barat, serta Kabupaten Magelang di utara. Kabupaten Kulon Progo terdiri atas 12 kapanewon yang dibagi lagi atas 87 kalurahan dan 1 kelurahan, serta 930 Pedukuhan (sebelum otonomi daerah dinamakan Dusun) (BPS Kulon Progo, 2020). Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Wates, sekitar 25 km sebelah barat daya ibukota Yogyakarta. Luas wilayah Kabupaten Kulon Progo sebagian besar (53,2%) merupakan kebun campur; 18,3% sawah dan 12,19% tegalan (BPS Kulon Progo, 2020). Dengan sumber mata air yang melimpah, sektor pertanian masih menjadi andalan perekonomian. Tahun 2009, sumbangan sektor ini sebesar 24,11 % (BPS Kabupaten Kulon Progo, 2009). Jumlah penduduk Kabupaten Kulon Progo tahun di awal masa jabatan saya sebanyak 442.185 jiwa yang mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,48% per tahun. Dependency ratio penduduk sebesar 50,26. Artinya setiap 100 orang usia produktif harus menanggung 50 orang usia non-produktif. Kondisi ini mengindikasikan tantangan demografi dalam menunjang pembangunan ekonomi Kabupaten Kulon Progo. 7 Hadirin yang saya banggakan, Menurut data BPS 2013, laju pertumbuhan ekonomi Kulon Progo tahun 2007- 2013 di bawah rata-rata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Nasional, yaitu sebesar 4,41%. Sejak awal Kabupaten Kulon Progo memiliki angka kemiskinan yang cukup tinggi dibandingkan kabupaten lainnya dan persentase kemiskinan tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata DIY sebesar 16,08%. Pada tahun 2011, Kulon Progo menduduki peringkat dua terakhir dalam kesejahteraan masyarakatnya yaitu 23,62% (Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2011). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2013 sebesar 75,95, terendah kedua setelah Kabupaten Gunung Kidul dengan nilai IPM 71,64 (BPS Provinsi DIY, 2014). Paparan di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Kulon Progo memiliki tantangan kualitas SDM namun di lain pihak, memiliki sumber daya alam (SDA) yang cukup dimanfaatkan untuk memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran pendidikan dan pelatihan vokasional dalam fungsi sosial-ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengentasan kemiskinan dan pengangguran, konservasi budaya dan lingkungan serta peningkatan pendapatan asli daerah sangatlah penting (Sudira, 2017). Melalui penghayatan yang dalam terhadap kekurangan dan kemiskinan ini, maka muncullah semangat membangun daerah melalui kemandirian ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Penghayatan terhadap masalah kemiskinan sangat memacu munculnya ide, gagasan, inovasi yang disertai dengan perubahan paradigma. Perubahan cara berpikir (mindset) ini harus dilakukan karena menjadi bagian penting perubahan revolusioner. Disisi lain secara simultan juga muncul kesadaran yang dalam akan arti pentingnya ideologi kemandirian, dan kesadaran akan ketertinggalan di bidang teknologi yang semakin sulit dikejar, kecuali disertai dengan ideologi rakyat yang kuat untuk menguasai produksi, konsumsi dan pasar sendiri. Dari sini, maka dilahirkan gerakan “Bela dan Beli Kulon Progo” dengan dua makna yaitu pertama gerakan ideologis untuk membela bangsa sendiri dengan membela produknya, dan yang kedua makna membeli produk sendiri yang secara ekonomi, rakyat akan membangun sistem kendali dan 8 meningkatkan peredaran uang di lokal. Gerakan ini menjadi bagian dari perubahan paradigma dan logika yang akan merubah pola pikir, pola sikap, pola kerja birokrat, perangkat desa dan masyarakat. Hidup lebih produktif, sederhana dan saling kerjasama dalam bidang usaha, serta memacu tumbuhnya jiwa kewirausahaan di tengah keluarga dan masyarakat. Hadirin yang saya muliakan, Praktek perubahan dan membangun sistem baru ini dimulai dengan yang mudah, yang bisa dikerjakan secepatnya dan tetap menuju pada visi yang besar (start small, act now, think big). Swasembada kebutuhan beras menjadi pilihan untuk memulai gerakan perubahan “Bela dan Beli Kulon Progo”. Dari sisi pasar, beras pasti dibutuhkan setiap keluarga dan dari sisi produksi, Kulon Progo menghasilkan gabah sekitar 125.000 ton per tahun. Produksi ini sangat mencukupi (BPS Kulon Progo, 2020). Maka dimulailah pada tahun 2012 dengan program yang mewajibkan setiap pegawai negeri sipil (PNS) membeli beras petani minimal 10 kg per bulan. Kemudian di tahun 2013 dilanjutkan dengan semua bantuan sosial dalam bentuk beras untuk orang miskin (RASKIN), yang biasanya didatangkan dari luar daerah atau bahkan impor diganti dengan beras lokal. Kapasitas kebutuhan RASKIN ini mencapai 7.000 ton per tahun yang jika dikonversi dalam rupiah bernilai ratarata Rp 53 Milyar, sehingga nilai ini sangat bermanfaat bagi petani lokal. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo melakukan perjanjian kerjasama dengan Badan Usaha Logistik (BULOG), agar tidak lagi membawa beras ke Kulon Progo, akan tetapi membawa uang untuk membeli beras petani lokal, lalu dibagikan kepada masyarakat miskin setempat, dan nama RASKIN diganti dengan RASDA (beras daerah). Perubahan ini membuat petani dan gabungan kelompok tani (GAPOKTAN) di Kulon Progo menggeliat, bangkit untuk belajar agar bisa membuat beras yang bagus dan tidak lagi menjual gabah di sawah, sehingga petani menguasai produksi beras dan pasar lokal. Melalui GAPOKTAN petani diajak berpikir kritis, belajar berwirausaha untuk tidak hanya fokus pada produksi bahan baku (gabah) tetapi mengenal hilirisasi produk, nilai tambah, dan penguasaan pasar lokal. Disinilah terjadi proses pembelajaran 9 ketrampilan vokasional ataupun pembelajaran non formal yang sangat kuat bagi petani dan kelompok tani tentang kewirausahaan. Dengan cara ini, terbukti petani semakin kreatif dan bersemangat melakukan inovasi baru dengan diproduksinya beras dari varietas padi lokal menor (melati, menoreh), beras premium dan beras lokal dengan biofortifikasi pencegah stunting (Saragih, dkk, 2017). Dalam program ini, Dinas Pertanian harus hadir memberikan edukasi dan mengawal perubahan, tidak sekedar membagi pupuk, bibit dan alat pertanian, tanpa membangun perubahan dan sistem baru. Hadirin yang saya banggakan, Rakyat merupakan bagian dari Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, diantaranya pengelolaan air melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hal ini sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 ayat (2). Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan ayat (3). Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menjadi pertanyaan saya ketika awal menjabat sebagai Bupati, “Mengapa PDAM tidak pernah memproduksi air minum dan hanya memproduksi air mandi?” Hampir semua kebutuhan masyarakat dalam setiap acara tidak merebus air sendiri melainkan membeli air minum dalam kemasan. Rakyat di desa yang miskin lebih senang membeli air minum dalam kemasan produk pengusaha besar bahkan perusahaan asing daripada membuat minum sendiri. Tentu saja saya tidak antipati terhadap produk asing akan tetapi saya lebih cinta kemandirian. Dari sini muncul tekad untuk melakukan perubahan secara frontal. Diversifikasi produk PDAM dengan menambah produk air minum dalam kemasan dicanangkan melalui perubahan pedoman umum dan tata kelola organisasi PDAM. Dengan melalui berbagai upaya dan perjuangan maka lahirlah produk air minum dalam kemasan “Air-Ku” yang mengandung makna ideologis yang sangat kuat yaitu kemandirian, karena “Air-Ku” mengandung arti; “air saya” dan sekaligus “air Kulon Progo”. PDAM tidak terlalu sulit untuk menguasai produksi dan pasar air minum dalam kemasan. Pemasaran 10 dikemas dalam ideologi “Bela dan Beli” produk air sendiri, dimulai dari instansi-instansi pemerintah, sekolah, dan kantor-kantor desa dan kegiatan– kegiatan sosial menggunakan Air-Ku, sampai dengan Bandara International Yogyakarta juga harus menggunakan air PDAM Kulon Progo. Hal yang tidak mudah dilakukan namun bukanlah tidak mungkin. Membangun nilai bersama (common value) yang ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan serta keberlanjutan semangat perjuangan dalam ekosistem yang dinamis merupakan tantangan terbesar dalam reformasi birokrasi. Perubahan mindset adalah perubahan revolusioner yang membutuhkan transformasi nilai antar genarasi yang membutuhkan sikap keterbukaan dan waktu. Urgensi Pendidikan Vokasi dalam Mewujudkan Kemandirian Kabupaten Kulon Progo Hadirin yang saya banggakan, Kita telah mengetahui bersama bahwa tidak ada satu negara-pun yang dapat mencapai kesejahteraan sosial melalui pembangunan berkelanjutan tanpa investasi besar dalam sumber daya manusia. Pendidikan sebagai instrumen peradaban dapat memperkaya pemahaman orang tentang diri mereka sendiri dan dunia. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan kesadaran yang mengarah pada manfaat sosial baik bagi individu, keluarga dan masyarakat. Pendidikan dapat meningkatkan produktivitas dan kreativitas serta mempromosikan jiwa kewirausahaan melalui pemanfaatan kemajuan teknologi. Pendidikan juga memainkan peran yang sangat penting dan strategis dalam mengamankan kedaulatan pangan, mengembangkan kemandirian dan kemajuan ekonomi serta mewujudkan keadilan sosial Walaupun terjadi penurunan secara konsisten pada persentase pemuda Indonesia usia 15-24 yang tidak bekerja, tidak sekolah dan tidak sedang menikmati pelatihan (Not in Employment, Education and Training/NEET), penurunan ini masih terasa belum cepat. Di tahun 2019, NEET Indonesia masih berada di angka 20.5% (World Bank, 2020), jauh di atas negara Malaysia yang sudah mencapai 12,5% dan mendekati profil 11 Timor Leste pada pencapaiannya di tahun 2016. Angka yang sangat menggusarkan kita ketika piramida penduduk gemuk pada usia produktif tetapi banyak pemudanya yang menarik diri dari pasar kerja dan juga enggan atau karena kondisi tertentu tidak dapat terlibat baik dalam dunia pendidikan maupun pelatihan. Tidak heran Sensus Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) periode Agustus 2019 menunjukkan bahwa jumlah penganggur muda di Indonesia masih tinggi, yaitu dari 7,05 juta penganggur terbuka, 56,44 persen, di antaranya merupakan penganggur usia muda. Pendidikan vokasi untuk itu hadir mengambil bagian dari pendidikan yang secara khusus mempersiapkan lulusan untuk memiliki ketrampilan, kompetensi dan karakter (soft skills) yang mumpuni. Pendidikan vokasi juga sebagai pendidikan praktis untuk mengembangkan karir berbasis kompetensi. Secara historis, hampir semua pendidikan vokasi masih berlangsung di ruang kelas atau di lokasi bengkel kerja, dengan siswa belajar keterampilan praktik dan teori dari instruktur profesional terakreditasi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan kejuruan online telah semakin populer, semakin terjangkau, dan bahkan tanpa batasan geografis. Sistem pendidikan vokasi dibutuhkan sebagai jawaban pendidikan umum yang belum sepenuhnya efektif mengembangkan keterampilan secara tepat sesuai dengan tuntutan dunia kerja/pasar. Pendidikan vokasi terus dikembangkan dalam berbagai pola integrasi dan kolaborasi dengan pihak industri dan pemerintah. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo yang didukung oleh perusahaan daerah dan masyarakat tidak hanya belajar vokasional secara non formal untuk bisa mengolah dan memproduksi air minum dalam kemasan dari sumber mata air lokal, serta upaya menguatkan kemandirian lainnya, akan tetapi kami semua juga belajar secara vokasional dan non formal bagaimana cara menerapkan kemandirian sebagai bagian dari ideologi Pancasila yang nyata. Bagaimana cara membumikan dan mentransformasikan ideologi yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 itu menjadi kesejahteraan sosial yang dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Pembelajaran ini kiranya, sulit didapatkan dari jenjang pendidikan akademik, sehingga kami semua hanya bisa berharap dari jenjang vokasional atau non formal. 12 Hadirin yang saya hormati, Sudah banyak hilirisasi produk olahan pangan yang bisa diwujudkan oleh Kulon Progo melalui gerakan “Bela dan Beli Kulon Progo.” Ada produksi teh dan kopi sendiri dengan berbagai merk dagang yang sudah dipatenkan. Sumber bahan baku berasal dari Kecamatan Samigaluh, Kalibawang dan Girimulyo dengan luasan lahan teh sekitar 200 ha. Semula masyarakat menjual dalam bentuk daun teh kepada perusahaan di luar Kulon Progo, dan sekarang ini petani sudah mampu memproduksi dalam bentuk kemasan teh dan kopi siap seduh, mampu memasarkan dan belajar menguasai pasar lokal. Hadirin yang saya muliakan, Kebutuhan dasar yang tidak kalah penting untuk dikuasai rakyat adalah “sandang”. Manusia sebelum revolusi industri, terkondisikan mandiri dalam menghasilkan sandang, pangan, dan papan. Dulu keterampilan memintal benang, menenun kain, dan menjahit pakaian, luas dimiliki oleh komponen masyarakat; menjadikan tekstil, termasuk tenun ikat, sebagai buah tangan dari budaya dan zaman. Tidak heran jika masyarakat pedesaan di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan dengan tenunnya terbukti mampu bertahan dari krisis ekonomi di tahun 1930, 1960 dan 1998 dengan ungkapan ikrar kemandiriannya “kalau tidak ada benang serat pisang pun jadi” (Nursida, 2017). Masyarakat Kabupaten Kulon Progo juga punya “mantra” kemandirian untuk mengisi Program “Bela dan Beli Kulon Progo” dengan ungkapan “madep mantep mangan pangane dewe, madep mantep ngombe banyune dewe, madep mantep nganggo klambine dewe”. Oleh karena itu, lahirlah batik “Gebleg Renteng” sebagai bentuk awal memulai kemandirian dalam bidang sandang. Lahir melalui lomba yang diselenggarakan secara nasional dan diikuti 390 pembatik dari seluruh Indonesia. Batik Gebleg Renteng menjadi hak paten Pemda Kulon Progo, hanya boleh diproduksi di Kulon Progo dalam bentuk batik tulis atau cap, tidak untuk diprinting agar produksi tetap dikuasai oleh UMKM setempat. Siswa sekolah yang berjumlah sekitar 82.000, PNS 6.000, guru swasta dan perangkat desa 5.800, yang secara rutin mengenakan seragam batik dua kali seminggu, sudah menjadi pangsa pasar 13 yang sangat baik untuk membesarkan batik Kulon Progo. Dari sini, maka produk dan pasar batik di Kulon Progo menggeliat, berkembang dan menjadi bagian usaha ekonomi masyarakat terutama di kawasan Kecamatan Lendah. Keterampilan membatik dianggap menjadi penting, pekerjaan membatik bisa menjadi harapan untuk kesejahteraan keluarga. Alhasil secara spontan tumbuh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan jurusan batik, tanpa harus diinisiasi oleh pemerintah. Keterampilan membatik juga secara inklusif masuk di sekolah, hal ini terbukti dengan adanya sekolah pendidikan luar biasa (SLB) yang membuat produk batik unggulan hasil karya para siswa. Semangat kemandirian dalam bidang sandang juga memacu tumbuhnya sekolah dan membutuhkan hadirnya pendidikan vokasi terkait sandang di tengah masyarakat. Antara pendidikan vokasi dan tumbuhnya berbagai semangat kemandirian untuk memproduksi barang kebutuhan sendiri, menjadi satu kesatuan penting yang tidak bisa dipisahkan dalam membangun kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Hadirin yang saya hormati, Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran toko modern di desa-desa dengan produk-produk asing sangat digemari keluarga generasi milennial. Dampak dari budaya konsumerisme dari generasi milenial yang disebut juga sebagai Generasi Praktis, yang cenderung pragmatis dan ingin segala sesuatu serba instan. Masyarakat yang didominasi generasi milennial ini berbeda dengan generasi sebelumnya terkait keuangan. Secara umum, rasio marginal propensity to save (MPS) berada di bawah rasio marginal propensity to consume (MPC) sejak tahun 2013. Hal ini menandakan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, lebih banyak masyarakat menghabiskan pendapatan untuk kegiatan konsumsi dibandingkan untuk menabung. Ini diperkuat oleh Survei Manulife Investor Sentiment Index pada tahun 2015 yang lalu, mengungkapkan 53% responden menghabiskan 70% dari penghasilan mereka untuk berbelanja, dan 10% dari responden menghabiskan 90% dari penghasilannya untuk belanja (Manulife, 2017). 14 Kondisi ini menguatkan tekad dan usaha agar masyarakat bisa tetap menguasai pasar sendiri dengan memiliki toko modern dan bisa menjual produk sendiri di dalamnya. Masyarakat tidak cukup hanya menguasai produksi akan tetapi juga harus menguasai konsumsi dan pasar lokal. Maka lahirlah TOMIRA (Toko Milik Rakyat), merupakan transformasi toko-toko modern di Kulon Progo yang semula milik segelintir waralaba berjejaring dialihkan menjadi milik koperasi masyarakat setempat. Kebijakan ini harus didukung dengan regulasi yang kuat berupa Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Pasar Tradisional Serta Penataan Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern, dan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2016 tentang Perlindungan Produk Lokal. Disinilah perubahan ini dicoba tidak hanya sekedar inovasi yang normal science, akan tetapi merubah mindset dengan merubah regulasi dan tatanan yang ada dan memenuhi kaidah revolusi dalam skala kecil. Perjuangan ini sejatinya sangat membutuhkan peran pendidikan vokasi atau non formal yang mampu melahirkan para praktisi ekonomi yang bisa membangun sistem ekonomi kerakyatan. Melakukan transformasi kepemilikan modal pada komunitas masyarakat bawah yang luas bukan hanya pada satu atau sekelompok kecil pemodal (kapitalis kanan atas). TOMIRA sebagai salah satu pintu masuk transformasi tersebut dan sekaligus bisa menjadi laboratorium pendidikan vokasi yang fokus pada pembangunan sistem ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila yang mengedepankan kerjasama dan kedaulatan ekonomi di tangan rakyat. Inovasi Daerah di Era Ekonomi Digital Hadirin yang saya hormati, Joseph Bower dan Clayton M. Christensen (1995) menyampaikan gagasan disruptive innovation dalam sebuah artikel berjudul "Disruptive Technologies: Catching the Wave" di jurnal Harvard Business Review. Di era disrupsi dan era revolusi industri 4.0, selain masyarakat harus punya produk juga harus membangun jejaring pemasaran secara virtual, untuk memudahkan akses pemasaran dan mempercepat distribusi. Untuk itu 15 membangun sarana penunjang Internet of Things (IoT) sangat penting, dan menguasai produk layanan telekomunikasi perlu dimulai. Layanan internet masyarakat sangat dibutuhkan, maka kami rintis lahirnya desa percontohan yang membangun infrastruktur layanan internet dan memproduksi pulsa sendiri dan diberi nama “Pulsa-Ku”. Diawali dari dua Desa Hargowilis dan Hargotirto sebanyak 350 titik akses untuk 1000 pengguna bisa memproduksi pulsa dengan harga langganan tetap hanya Rp 25.000,- per bulan. Usaha ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) sehingga keuntungannya masuk ke desa. Kesuksesan dengan uji coba ini, maka dalam waktu dekat akan segera dikembangkan untuk 6 kecamatan dengan target pengguna mencapai 200.000. Produksi pulsa sendiri untuk layanan internet masyarakat ini akan mencegah pelarian uang dan modal ke luar daerah (capital flight). Belanja pulsa di Kabupaten Kulon Progo dalam satu tahun sebesar Rp. 49,9 milyar (2013) meningkat menjadi Rp. 74,3 milyar (2016) dan diproyeksikan di tahun 2020 mencapai Rp. 114 milyar (BPS Kabupaten Kulon Progo). Dari jumlah kelurahan dan kalurahan sebanyak 88 maka rata-rata setiap kelurahan mengeluarkan Rp. 1,29 M. Melalui “Pulsa-Ku” program produksi dan penjualan pulsa oleh BUMDES diharapkan akan meningkatkan pendapatan desa dan kesejahteraan masyarakat. Layanan internet masyarakat secara mandiri membutuhkan kualitas dan kompetensi SDM terampil dan mempunyai jiwa kewirausahaan. Dibutuhkan pelatihan dan pendidikan untuk penguasaan IT dan IoT secara non formal atau vokasional. Program di atas dikerjakan bersama generasi muda desa, dilatih secara langsung menyerupai model pelatihan learning by doing yang berbasis masyarakat, layaknya program akademi komunitas. Hasil dari program ini, akhirnya Kulon Progo juga mampu mengirimkan 4 tenaga terlatih untuk membangun hal yang sama pada perdesaan di Kabupaten Lombok Timur. 16 Hadirin yang saya hormati, Dorongan ideologis pemerintah daerah bisa memacu semangat dan emosi warga masyarakat untuk menjadi produsen di daerahnya. Beberapa produk bermunculan di Kulon Progo menggunakan akhiran “Ku” yang berarti bikinan sendiri dan sekaligus mengandung makna Kulon Progo, seperti: AirKu, Pulsa-Ku, Beras-KU, Henclin-Ku, Aloe-KU, dan masih banyak lagi produk yang bermunculan beberapa tahun terakhir. Kekuatan ideologi kemandirian dalam bentuk kesadaran dan emosi untuk membela produk sendiri sangat penting, tidak hanya untuk memacu menjadi produsen akan tetapi juga untuk menjadi konsumen produk sendiri. Banyak konsumen membeli barang karena tertarik secara emosional terhadap konteksnya (seperti lebih prestise atau sekedar nilai tambah lain) bukan kontennya. Nilai kontekstual yang dibangun dari gerakan “Bela dan Beli Kulon Progo” adalah keterikatan emosi (emotional engagement) terhadap produk lokal. Kekuatannya terletak pada pengemasan unsur kontekstual yaitu ideologi kemandirian ke dalam konten produk olahan masyarakat sehingga menghasilkan nilai yang shareable dan relevan dengan insight publik. Strategi perkawinan konten dan konteks inilah yang mampu mempertahankan dan melanjutkan identitas produk “KU” hingga saat ini. Pengetahuan dan ketrampilan tadi bisa didapatkan melalui peran pendidikan vokasi atau non formal. Jargon “Bela dan Beli Kulon Progo“ penting dan menjadi peran sentral sebagai sarana propaganda putih bukan hitam atau abu-abu layaknya propaganda politik. Propaganda putih adalah propaganda jujur tanpa pamrih, kecuali untuk mendidik masyarakat sebagai sumber daya manusia (SDM) melalui perubahan mindset dan paradigmanya. Jargon ini menjadi “mantra” bahasa komunikasi resiprokal karena ketika Kami teriak “Bela Kulon Progo” maka warga masyarakat akan menjawab “Beli Kulon Progo”. Propaganda ini harus dilakukan untuk merubah cara berpikir masyarakat, tidak cukup hanya dengan sosialisasi dan retorika persuasif. Metode yang digunakan di Kulon Progo dalam hal ini adalah metode propaganda agitatif karena bertujuan agar komunikan atau khalayak bersedia memberikan pengorbanan yang besar, dalam usaha mewujudkan cita-cita (Baines & O’Shaughnessy, 2014). Jargon 17 ini juga merupakan propaganda horisontal dan integratif karena menggunakan bentuk komunikasi interpersonal atau komunikasi organisasi dalam penanaman doktrin kemandirian bidang ekonomi. Hal ini sesuai pengertian dan maksud propaganda yaitu usaha dengan sengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi (Jowett and O’Donnell, 2012). Ekonomi Pancasila sebagai Landasan Ideologi Kemandirian Hadirin yang saya hormati, Tujuan membangun sistem ekonomi kerakyatan yaitu untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi sesuai amanat pasal 33 UUD 1945. Prof. Dr. Mubyarto (1988) dalam bukunya Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia menjelaskan, ekonomi Pancasila bergerak oleh karena kekuatan moral dan nilai sosial dalam setiap silanya untuk mewujudkan keadilan sosial yang berarti pemerataan sosial ekonomi. Menumbuhkembangkan ekonomi kerakyatan di atas adalah sama dengan ekonomi Pancasila yang sudah terbukti tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi, dapat mengurangi pengangguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Pancasila mengedepankan kerjasama bukan persaingan, konsep ini dipandang lebih sesuai dengan karakter dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia, karena nilai-nilai tersebut sudah ada dan tertuang dalam sila-sila Pancasila. Ekonomi kerakyatan identik dengan usaha mikro, kecil dan menengah. Negara mempunyai peran yang sangat besar dan penting dalam ekonomi kerakyatan dengan tujuan untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran perseorangan serta produksi tidak dikuasai perorangan. Saat ini 99,9% pelaku ekonomi di Indonesia adalah rakyat dan masuk dalam skala usaha mikro, kecil dan menengah (pangsa pasar 20%), dan sisanya 0,1% pelaku ekonomi lainnya adalah usaha besar dan konglomerat (pangsa pasar 80%) (Syamsuri, 2013 dalam Wibowo 2015). Keadaan ini menunjukkan bahwa pedagang konglomerat masih jauh diuntungkan dari pada rakyat sebagai penyedia bahan baku dan pengusaha (produsen) kecil. Hal ini juga belum 18 sesuai dengan sistem ekonomi kerakyatan yang tujuannya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dangan salah satu unsure intrinsiknya adalah ekonomi Pancasila (Mubyarto, 2002). Gerakan membangun ekonomi kerakyatan di Kabupaten Kulon Progo diharapkan menjadi bentuk kontribusi dalam reformasi ekonomi secara nasional. Reformasi ekonomi mempunyai tujuan kembar yaitu meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sekaligus menghapus berbagai ketidakadilan ekonomi dengan tujuan akhir terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Peran Penting Pendidikan Vokasi Hadirin yang saya hormati, Jangan biarkan masyarakat sebagai pemilik sumber bahan baku, tidak dididik dan dilatih menjadi produsen dan hanya sebagai konsumen produk asing. Secara internasional sudah terlihat dengan jelas, negara-negara produsen/industri menjadi kaya raya, sementara negara sebagai penyedia bahan baku dan negara yang hanya menjadi pasar pada umumnya lambat berkembang. Pelatihan dan pendidikan SDM secara vokasional dan non formal harus selalu mengikuti setiap jenis aktivitas produksi. Juga vokasional untuk melatih kemampuan kewirausahaan masyarakat sangat diperlukan. Karena kemampuan kewirausahaan masyarakat di suatu wilayah sangat mencerminkan kompleksitas aktivitas bisnis di wilayah tersebut. Semakin kompleks aktivitas bisnis maka akan semakin maju perekonomian daerah. Membangun rumah sakit baru (RS Nyi Ageng Serang), mengembangkan RSUD Wates menjadi berskala International, mensukseskan pembangunan Bandara Internasional dan merintis pembangunan Bedah Menoreh di Kulon Progo adalah bagian dari satu konsep pikir membangun kompleksitas di daerah yang belum berkembang. Bagaimana kompleksitas itu bisa dibangun dalam skala kecil di desadesa oleh generasi emas kita? Harus dimulai dari perubahan mindset (pola pikir, pola sikap dan pola kerja) generasi muda. Untuk menguasai keterampilan cara membangun kompleksitas di desa tidak cukup dibekali 19 dengan teori akademik, tetapi sangat membutuhkan dukungan pendidikan, pelatihan keterampilan dan vokasional berbasis komunitas. Hadirin yang saya banggakan, Pendidikan vokasi menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Pengertian ini mengandung makna bahwa pendidikan vokasi dilaksanakan secara formal dalam sistem persekolahan pada jenjang pendidikan tinggi. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi vokasi dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi dalam bentuk program Diploma I sampai IV. Pengertian diatas memberikan makna bahwa tujuan didirikannya pendidikan vokasi adalah untuk memenuhi kebutuhan industri terhadap pekerja yang siap pakai (Boyce, 2004). Pengembangan ekonomi masyarakat di Kulon Progo masih menghadapi beberapa kendala, seperti terbatasnya pengetahuan teknologi, inovasi dan manajerial skill (kompetensi dan kualifikasi) sumber daya manusia pelaku UKM. Standarisasi kompetensi yang diterjemahkan dengan kualifikasi SDM dan kualitas produksi merupakan logika sekuensial yang sederhana. Kompetensi (vokasional) dan kualifikasi adalah nyawa atau ruh dari pendidikan vokasi. Tuntunan kompetensi mengalami banyak perubahan seiring dengan dinamika knowledge based economy yang terjadi pada organisasi kerja yang masif (Merki, 2008). Gerakan kemandirian ekonomi di Kulon Progo telah memacu secara spontan tumbuhnya pendidikan kejuruan di sekolah. Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Lendah telah mendirikan Jurusan Batik dan mampu mendirikan unit jasa produksi sejak tahun 2017. SMKN Kokap membuka kejuruan kompetensi keahlian kriya kreatif batik dan tekstil serta kriya kayu dimulai tahun 2013. SMK Pertanian Nanggulan melakukan pengembangan pembelajaran dari proses pembibitan sampai produksi hasil pertanian termasuk padi/beras. Juga telah berkembang di lingkungan kelompok belajar masyarakat disabilitas pendidikan non formal membatik dan membentuk 20 Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Desa Giripeni, Kecamatan Wates sejak Juli 2018. Pendidikan vokasi diharapkan menjadi kelanjutan dari pendidikan kejuruan untuk memberikan keterampilan yang lebih unggul melalui jenjang perguruan tinggi. Oleh sebab itu, pengembangan kemadirian ekonomi masyarakat membutuhkan kerjasama, kolaborasi dan sinergitas berbagai pihak yaitu pihak pemerintah, akademisi/perguruan tinggi dan pihak swasta yang terangkum dalam Triple Helix (Supriyadi, 2012). Kerjasama ini dikenal juga dengan istilah ABG (Academician, Business and Government) dalam penerapan sebuah inovasi. Konsep model ini diperkenalkan sebagai sebuah upaya pemecahan masalah, menghasilkan strategi dan inovasi (Etzkowitz dan Leydesdorff, 2000). Implementasi inovasi tidak pernah bisa dilepaskan dari peran perguruan tinggi, proses pembelajaran dan pendidikan vokasi. Ketiga pihak tersebut saling memerankan 4 hal dalam pengembangan sebuah inovasi menurut hasil studi La Paz dan Seo (2009) yaitu 1) mendeteksi kebutuhan dan solusi oleh pemerintah, swasta dan akademisi; 2). pengembangan, produksi dan komersialisasi oleh pemerintah dan swasta; 3). pembelajaran (vokasi) oleh swasta dan akademisi; dan 4) penciptaan pasar dan regulasi oleh pemerintah dan swasta. Dalam praktek implementasi inovasi di Kulon Progo ini tidak hanya melibatkan ketiga pihak tersebut akan tetapi juga melibatkan masyarakat dalam pembangunan ekonomi kerakyatan yang mandiri. Hal ini sesuai dengan konsep yang disampaikan oleh Afonso dkk (2012) bahwa triple helix dapat berkembang menjadi quadruple helix atau bahkan penta helix dengan melibatkan lembaga non profit dalam mewujudkan pembaharuan dan perubahan. Pengembangan pendidikan vokasi yang cocok untuk mendukung perubahan di Kabupaten Kulon Progo adalah melalui community based concept dimana masyarakat turut serta aktif dalam menumbuhkan inovasi dan kreativitas serta menjadi “laboratorium” utama dalam pendidikan keterampilan/vokasional tersebut. 21 Tantangan dan Keberlanjutan Gerakan Kemandirian dan Pembangunan SDM Pasca Pandemi Bapak, Ibu, hadirin yang berbahagia, Menurut Sensus Penduduk Antar Sensus (Supas 2015) jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 269,6 juta jiwa pada 2020. Jumlah tersebut terdiri atas kategori usia belum produktif (0-14 tahun) sebanyak 66,07 juta jiwa, usia produktif (15-64 tahun) 185,34 juta jiwa, dan usia sudah tidak produktif (65+ tahun) 18,2 juta jiwa. Jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan terus bertambah menjadi 318,96 juta pada 2045. Dengan jumlah penduduk usia produktif yang lebih besar tersebut maka angka ketergantungan penduduk (dependency ratio) Indonesia sebesar 45,46. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif memiliki tanggungan 46 jiwa penduduk usia tidak produktif. Kondisi ini menjadi peluang Indonesia mendapatkan bonus kesejahteraan karena adanya bonus demografi. Syarat untuk bisa mendapatkan bonus kesejahteraan adalah kualitas SDM yang unggul dan terampil, memiliki pekerjaan tetap serta angka pengangguran yang rendah. Ciri-ciri lain suatu masyarakat akan mendapatkan bonus demografi menjadi kesejahteraan adalah angkatan muda tidak kawin usia muda, jumlah anak sedikit, tidak banyak putus sekolah, rendahnya angka kematian ibu, bayi, balita dan anak, dan jaminan kehidupan bagi lansia yang memadai (UNFPA, 2019). Jumlah penduduk Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2019 sebesar 430.220 dengan komposisi penduduk usia (0-14) sebesar 96.414, usia produktif (15 – 65) sebesar 281.364 dan usia lebih dari 65 tahun sebesar 148.836 (BPS, 2019). Berdasarkan komposisi umur penduduk, rasio ketergantungan Kabupaten Kulon Progo sebesar 52,89. Untuk itu, usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kulon Progo masih perlu diikuti dengan upaya pengendalian penduduk agar puncak bonus demografi dapat dicapai lebih cepat. Rasio ketergantungan penduduk di Kulon Progo jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional. 22 Pembangunan ekonomi kerakyatan, UMKM yang disertai dengan peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan vokasi ditengarai sangat membantu menurunkan angka pengangguran dan meningkatkan pendapatan. Tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Kulon Progo menurun dari tahun 2010 sebesar 4,18% menjadi 2,88% (tahun 2014) dan 1,49% (tahun 2018), (Sukernas 2018). Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan meningkat pesat setelah 4-5 tahun dari awal gerakan kemandirian ekonomi. Pada tahun 2012 PDRB mencapai 4,37%, meningkat menjadi 4,57% (2014), 5,97% (2017), dan melaju cepat menjadi 10,84% dan 13,49% pada tahun 2018 dan 2019. Angka kemiskinan mengalami penurunan sebesar 6,23% dari 23,62% (2011) menjadi 17,39% di tahun 2019. Penurunan angka kemiskinan secara paralel diikuti dengan penurunan indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dari 3.89% (tahun 2012) menjadi 2,4% (tahun 2018) dan indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) turun dari angka 1 (tahun 2012) menjadi 0,56 (tahun 2018). Hadirin yang saya muliakan, Terdapat lima dampak secara langsung yang dirasakan oleh pelaku usaha produksi kecil akibat pandemi Covid-19, adalah sulit memperoleh bahan baku, penurunan jumlah produksi, terganggunya proses distribusi, penurunan penjualan dan permasalahan akses permodalan. Pandemi menjadi ancaman dan hambatan, di sisi lain pandemi bisa menjadi peluang besar bagi kemandirian ekonomi yang berbasis kerakyatan. Hal ini dikarenakan pandemi Covid-19 menciptakan deglobalisasi yang membuat setiap Negara bisa melindungi pasar domestiknya dan situasi ini bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki ketimpangan ekonomi masyarakat di dalam negeri sendiri. Amanat Undang-Undang Nomor. 18/2012 tentang Pangan mewajibkan Indonesia untuk berdaulat di bidang pangan. Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran baru tentang risiko besar jika menggantungkan pangan pada impor, dan inilah saatnya gerakan “Bela dan Beli Produk Sendiri” diperluas secara nasional untuk membangun kedaulatan pangan khususnya dan kedaulatan 23 ekonomi pada umumnya. Gerakan kemandirian ekonomi berbasis kerakyatan dan didukung peningkatan kualitas SDM melalui integrasi pendidikan vokasi akan menjadi kekuatan besar yang bisa memecah dominasi industri pangan perusahaan transnasional (Monteiro & Cannon, 2012). Selama ini geopolitik pangan dunia tidak menguntungkan penghasil bahan baku dan konsumen yang pada umumnya merupakan negara berkembang seperti Indonesia. Geopolitik pangan yang mengarah hanya pada spesies ternak serta tanaman tertentu membuat keanekaragaman pangan hayati tereduksi. Petani menjadi sangat tergantung paket teknologi pertanian (benih, pestisida, pupuk tertentu) dari luar sehingga sistem pertanian negara berkembang sangat rentan (Widianarko dkk., 2003). Perusahaan Transnasional juga menguasai rantai pangan (agrifood chain), rantai ini menghubungkan dari sejak gen, bibit, input agrokimia, produksi pangan dan serat, perdagangan dan pengolahan bahan mentah, processing dan manufaktur hingga rak-rak di supermarket. Monopoli dan penguasaan rantai pangan dan kartel, membuat mereka bisa menentukan harga olahan yang tinggi dan harga komoditas petani serendah mungkin, serta konsentrasi pangan global ada pada segelintir pelaku. Akibatnya, meski permintaan naik, harga-harga komoditas primer di pasar terus merosot (Syamsuri, 2013). Inilah sisi positif pandemi Covid-19 yang dapat menjadi peluang emas membangun perekonomian berbasis masyarakat secara mikro dan makro. Kesempatan baik bagi usaha kecil menengah masyarakat yang menghasilkan barang konsumsi dan jasa yang dekat dengan kebutuhan masyarakat untuk tetap aktif sebagai produsen dan menguasai pasar lokal/nasional. Momentum ini juga menjadi pembelajaran berharga dalam kita berbangsa dan bernegara bahwa dengan strategi pemerintah yang mengedepankan kepentingan masyarakat maka kita dapat menjadi bangsa yang bertahan walaupun dalam situasi bencana. Masyarakat bisa memanfaatkan sumber daya lokal, baik sumber daya manusia, modal, bahan baku, hingga peralatan yang sudah tersedia, tidak tergantung pada barang impor. Di masa pandemi, Kabupaten Kulon Progo dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya karena telah 24 memproduksi pangan sendiri dan melakukan hilirisasi komoditas seperti beras, bawang merah, cabe, gula merah, telur, ikan, udang, lele, teh, kopi dan produk-produk olahan pangan lain. Hadirin yang saya cintai, Perkenankan saya di penghujung Pidato ini, menyampaikan terima kasih kepada: Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Prof. Dr. Wibawa Sutrisna, M.Pd, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Mochammad Bruri Triyono, M.Pd dan Prof. Dr. Marsigit, MA, Sebagai Promotor saya, Prof. DR. Yoyon Suryono, MS, dan Para Guru Besar UNY yang telah memberikan kepercayaan penuh kepada saya untuk memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari UNY. Ucapan Terima kasih juga saya sampaikan secara khusus kepada Bapak H. Sutedjo, Bupati Kulon Progo, Ir. RM. Astungkoro, M.Hum, Sekretaris Kulon Progo serta semua pimpinan dan jajaran Pemerintah Daerah Kulon Progo. Kepada istri tercinta, Reni Dwikisworo dan anak-anakku, terima kasih atas do’a dan kesabaran yang tercurah tiada henti. Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT senantiasa meridhoi dan memudahkan niat baik dan semangat perjuangan kita, untuk terus membangun ekonomi kerakyatan melalui vokasi untuk mewujudkan kemandirian demi SDM Unggul, Indonesia Maju.

25 Daftar Pustaka

Afonso, O., Monteiro, S., & Thimpson, M. (2012). A Growth Model for The Quadruple Helix. Journal of Business Economics and Management. 13(5): 849-865. Alakwe, K. (2017). Positivism and Knowledge Inquiry: From Scientific Method to Media and Communication Research. Science Arena Publications. 2(3): 38-46. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo. (2020). Kabupaten Kulon Progo Dalam Angka 2020: Penyediaan Data untuk Perencanaan Pembangunan. Kulon Progo: BPS. Baines, P, & O’Shaughnessy, N. (2014). Political Marketing and Propaganda: Uses, Abuses, Misuses. Journal of Political Marketing. 13(1). Boyce, G. (2004). Critical Accounting Education: Teaching and Learning Outside the Circle. Critical Perspectives on Accounting. 15(4): 565-586. Bower, J.L. & Christensen, C.M. (1995). Disruptive Technologies: Catching the Wave. Harvar Bussiness Review. Retrieved from https://hbr.org/1995/01/disruptive-technologies-catching-the-wave. Etzkowitz, H. & Leydesdorff, L. (2000). The Dynamics of Innovation: From National Systems and “Mode 2” to a Triple Helix of University-IndustryGovernment Relations. Research Policy. 29(2): 109-123. Hood, C. (1995). The “new public management” in the 1980s: Variations on a theme. Elsevier, vol.20, issues 2-3, 93-109. Jowett, G.,S. & O’Donnell, V. (2012). Propaganda and Persuasion. London: Sage Publications. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2013). Buku Reformasi Birokrasi Dalam Praktik. Jakarta: Kemenpan RB. Khuhn, T. (1962). ‘The Structure of Scientific Revolutions’. International Encyclopaedia of United Nations. Chicago: Chicago University Press. 26 Maag Merki, K. (2008). ‘Die Architektur einer Theorie der Schulentwicklung: Strukturanalyse und Interdependenzen (The Architecture of a Theory of School Development: Structural Analysis and Interdependencies’. Journal fur Schulentwicklung. 12(2): 22-30. La Paz, AI. & Ramaprasad, A. (2009). The Role of Triple Helix in the Global Agenda for Innovation, Competitiveness and Sustainability: An Ontological Framework. Proceedings of Triple Helix. 7: 09-09. Manulife. (2016). Manulife Investor Sentiment Index Study: Q4 2015 Indonesia. Jakarta: Manulife. Monteiro, CA. & Cannon, G. (2012). The Impact of Transnational “Big Food” Companies on the South: A View from Brazil. PLoS Med. 9(7). Mubyarto. (2003). Ekonomi Pancasila Renungan Satu Tahun Pustep UGM. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Nursida, A. (2017). Nilai Sosial Ekonomi Sutera pada Masyarakat Pakkana Kabupaten Sengkang. Jurnal Ekuilibrium Pendidikan Sosiologi. 5(1): 10- 14. Saragih, B., Syarief, H., Riyadi, H., & Nasoetion, A. (2007). Pengaruh Pemberian Pangan Fortifikasi Zat Multi Gizi Mikro Pada Ibu Hamil Terhadap Pertumbuhan Linier, Tinggi Lutut dan Status Anemia Bayi. Journal of the Indonesian Nutrition Association. 30(1). Sudira, P. (2017). TVET Abad XXI, Filosofi, Teori, Konsep, dan Strategi Pembelajaran Vokasional. Yogyakarta: UNY Press Supriyadi, R.,E. (2012). Local Economic Development and Triple Helix: Lesson Learned From Role of Universities in Higher Education Town of Jatinangor, West Java, Indonesia. Procedia-Social and Behavioral Sciences. 52: 299-306. Syamsuri, S. (2013). Upaya Mewujudkan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Potensi Lokal. Dalam Wibowo, W. (2015). Kewirausahaan Pancasila: Suatu Tinjauan Kebijakan Ekonomi Pemerintah, Ekonomi Kerakyatan 27 Yang Mandiri, dan Orientasi Pendidikan Kewirausahaan Pancasila. Jurnal Pendidikan Bisnis dan Manajemen. 1(2): 137-149. Widianarko, B, Rika, P., & Retnaningsih. (2003). Tempe, Makanan Populer dan Bergizi Tinggi. Semarang: Unika Soegijapranata. World Bank (2020). Share Of Youth Not In Education, Employment Or Training, Total (% Of Youth Population), Indonesia. Retrieved from https://data.worldbank.org/indicator/SL.UEM.NEET.ZS?contextual=aggr egate&locations=ID

Haryono SuyonoComment