“Rebranding” Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi berkompetisi untuk mendapatkan mahasiswa yang sesuai dengan karakteristik dan persyaratan yang ditetapkan. Meskipun banyak pula perguruan tinggi yang lebih berusaha untuk mendapatkan jumlah mahasiswa sebanyak-banyaknya, kalau perlu sesuai dengan kapasitas maksimum. Kompetisi juga terjadi untuk menjadi lebih unggul, untuk mendapatkan citra dan reputasi yang membanggakan. Persaingan bukan hanya antar perguruan tinggi swasta (PTS), juga antar perguruan tinggi negeri (PTN).
Menghadapi persaingan yang sangat ketat ini (Indonesia satu-satunya negara yang memiliki jumlah perguruan tinggi terbanyak di dunia dengan lebih dari 4.400 Perguruan Tinggi), maka status kelembagaan dan citra “merek” (brand image) menjadi hal yang sangat penting dalam perjalanan eksistensi sebuah perguruan tinggi. Yang dimaksud status kelembagaan di sini adalah apakah perguruan tinggi itu berastatus Universitas (multi rumpun keilmuan), Sekolah Tinggi (satu rumpun keilmuan), Institut (beragam rumpun keilmuan dalam satu jenis bidang ilmu, seperti teknologi, pertanian, dan lain-lain), atau akademi (satu keilmuan saja). Status kelembagaan menjadi daya tarik tersendiri bagi calon mahasiswa, termasuk status apakah itu PTN atau PTS. Belum lagi status akreditasi, apakah A (Unggul), B (sangat baik) atau C (baik). Banyak kalangan menganggap perguruan tinggi atau program studi (prodi) yang terakreditasi C (baik), dianggap perguruan tinggi yang biasa-biasa, bukan yang bereputasi, atau memiliki citra dan reputasi unggul.
Sejak dua puluh tahun terakhir ini kita menyaksikan fenomena perubahan status dan bentuk kelembagaan perguruan tinggi, termasuk perubahan atau penyesuaian nama sebagai identitas perguruan tinggi. Fenomena yang dalam dunia pemasaran disebut rebranding. Rebranding merupakan sebuah strategi perubahan untuk melakukan penguatan identitas merek, bisa dengan melakukan perubahan nama atau identitas, logo, simbol atau perubahan lain sebagai upaya penguatan citra (image) yang baru yang lebih kuat, ataupun positioning baru (repositioning), sehingga tetap relevan dengan tujuan organisasi dan mendapatkan awareness dan citra merek yang kuat pada target “pasar” dan pemangku kepentingan.
Banyak perguruan tinggi yang berbentuk Sekolah Tinggi berubah bentuk kelembagaannya menjadi Institut atau Universitas. Demikian pula nama perguruan tinggi ada yang berubah seiring dengan perubahan bentuk kelembagan, atau ada juga yang tetap menggunakan nama lama saat bentuk kelembagaan belum berubah. Umumnya “Brand” lama tetap digunakan, hanya bentuk kelembagaannya yang berubah.
di jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Prasetya Mulya, misalnya, berubah menjadi universitas, dengan tetap mempertahankan nama Prasetya Mulya, menjadi Universitas Prasetya Mulya. Lain lagi dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nusantara atau dikenal dengan STIE Nusantara, yang sudah berdiri sejak tahun 1991, berubah menjadi Institut Bisnis Nusantara (IBN). Di Semarang, STIE Stikubank (nama singkatan yang menjadi “merek”, berasal dari kepanjangan Sekolah Tinggi Keuangan dan Perbankan), kemudian digabungkan dengan STMIK, STIBA, dan STH Stikubank menjadi Universitas Stikubank, dengan panggilan Unisbank, Nama singkatan yang telah menjadi “merek” digunakan kembali saat menjadi universitas.
Namun lain lagi dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Keuangan Perbankan Indonesia, yang biasa disingkat dan kemudian menjadi nama merek “STEKPI”, berubah status kelembagaannya menjadi universitas, dengan menyandang nama baru sebagai identitas, yaitu Universitas Trilogi. Nama STEKPI pun hilang, sehingga yayasan maupun manajemen harus membangun merek baru Trilogi yang berasal dari STEKPI dengan diferensiasi dan positioning baru supaya bisa dikenal luas dan dipahami keberadaannya sebagai pengemban misi: Keteknopreneuran, Kolaborasi dan Kemandirian. Tantangan menggunakan nama dan misi baru. membutuhkan waktu, biaya dan strategi yang tepat untuk bisa membuat nama Triogi sebagai merek baru dengan diferensiasi dan positioning Universitas yang baru dapat dikenal luas, dan memiliki citra merek yang kuat.
Di Bali ada Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (STIKOM), kemudian lebih dikenal sebagai STIKOM Bali, yang kemudian pada tahun 2019 berubah status kelembagaan menjadi institut, karena nama STIKOM dipercayai sudah dikenal luas oleh masyarakat Bali khsusunya, maka nama itu tetap dipertahankan saat lembaganya berubah menjadi institut, menjadi Institut Teknologi dan Bisnis STIKOM (ITB STIKOM).
Disamping perubahan bentuk kelembagaan, rebranding dilakukan pula oleh universitas untuk memperkuat kembali identitas merek lembaganya, misalnya Universitas Indonusa Esa Unggul, dulu sering diposisikan dengan singkatan UEU, kini kata Indonusa, yang sebenarnya membingungkan, kadang salah ucap dengan pengucapan “Indonesia”, dihilangkan. Universitas ini mengusung penyesuaian nama - Universitas Esa Unggul (tidak tahu apa disingkat UEU, atau cukup dipanggil Esa Unggul). Yang jelas banyak kalangan menilai nama Esa Unggul lebih “menjual”.
Itu sedikit saja contoh-contoh bagaimana perguruan tinggi melakukan rebranding, dengan melakukan perubahan sebagai bentuk adaptasi untuk tujuan penguatan kembali identitas kelembagaan, supaya lebih tepat memposisikan diri di tengah-tengah persaingan yang sangat ketat.
Sebenarnya rebranding bukanlah fenomena baru. Institut ilmu Keguruan dan Pendidikan (IKIP) sudah lama melakukan rebranding dari institut menjadi universitas. Hampir semua IKIP kini menjadi universitas negeri, seperti Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP Jakarta), IKIP Semarang menjadi Univesitas Negeri Semarang (UNES), atau IKIP Surabaya menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), begitu pula dengan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Namun IKIP Bandung melakukan rebranding dengan cara yang berbeda, yaitu - Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), melakukan diferensiasi dengan mengusung kenasionalan “Indonesia”, bukan “kekotaan”, seperti UNJ, UNY, UNES atau UNESA. Dari perpektif branding UPI meruakan gagasan yang brilyan.
Demikian pula dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), kini menjadi Univesitas Islam Negeri (UIN). Seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang berasal dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atau Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berasal dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Sunan Ampel Surabaya yang berasal dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, atau UIN Walisongo Semarang, dan lain-lain.
Rebranding universits membuka perpekstif baru mengenai “positioning” peguruan tinggi di tengah-tengah persaingan yang sangat ketat. Rebranding diharapkan memberikan penguatan kelembagaan, differensiasi dan positioning yang tepat dan kuat. Rebranding bagaimanapun mengikuti perubahan strategi yang dilakukan perguruan tinggi, untuk membuat supaya tetap relevan dengan masyarakat terutama mahasiswa dan calon mahasiswanya, termasuk para orang tua. Perubahan nama, ataupun perubahan bentuk kelembagaan merupakan bagian adaptasi perguruan tinggi dalam ragka melakukan perubahan sesuai dengan tujuan dan tuntutan perubahan itu sendiri. Jadi berubah intinya melakukan repositioning. sekali lagi untuk membuat lembaga tetap relevan di mata “konsumen” atau “pelanggannya”.
Contoh terbaru adalah IPB, yang mencoba memperkuat jati dirtinya sebagai institut pertanian, yang berkembang ke banyak disiplin ilmu lain di luar pertanian, sehingga kelembagaan institut sebenarnya sudah tidak sesuai lagi. Meskipun begitu IPB tetap ingin mempertahankan jati diri sebagai perguruan tinggi pertanian (agricultural university). Dulu sempat melakukan rebranding dan reposisi dengan mengusung perubahan nama sebagai Bogor Agricultural University. Namun nama itu terasa kurang pas, karena seolah kehilangan jati diri ke-IPB-annya, maka rebranding yang terakhir dilakukan dengan mengusung nama IPB University. Rebranding menjadi IPB University dianggap lebih tepat, karena relevan dengan kebutuhan, dan positioning sebagai perguruan tinggi “umum” dengan beragam bidang keilmuan, tanpa menghilangkan identitas bidang pertanian yang melekat kuat dengan nama IPB nya, meskipun kadang diplesetkan sebagian maysrakat sebagai Institut “Plekesibel” Banget…, karena lulusannya bukan hanya berkiprah di bidang pertanian, tapi hampir di semua bidang, mulai dari pariwisata, pasar modal, keuangan, perbankan, kewartawanan sampai dunia penjualan (sales). Namun kini setelah IPB berkembang dan memiliki multi disiplin keilmuan, “pleksibilitas’ menjadi sebuah keniscayaan, tanpa harus meninggalkan “core” pertaniannya.
(Aam Bastaman, Univ. Trilogi). Penulis