Koran Kompas

Catatan Aam Bastaman

Catatan Aam Bastaman

Kompas, demikian namanya sangat popuer di dunia media massa Tanah Air. Koran nasional yang seringkali dijadikan rujukan banyak pihak untuk mendapatkan informasi akurat, tepat dan cepat. Didirikan 28 Juni tahun 1965 oleh PK Ojong dan Jacob Oetama, sudah berusia 55 tahun. Memang jauh lebih muda dibandingkan the New York Times yang didirikan tahun 1851.

Dulu pertama kali saya membaca koran Kompas pada tahun 1976 saat di bangku kelas 6 SD. Saya masih ingat berita hangat waktu itu adalah Masalah Timor Timur, dengan Pak Adam Malik sebagai Menlu yang banyak menyuarakan pandangan pemerintah RI di era pak Harto.

Saya masih ingat kata-kata pak Adam Malik, waktu didesak wartawan internasional mengenai keterlibatan TNI di Timor Timur (Timtim), “Jika Indonesia mau hanya hitungan jam TNI bisa menguasai Timtim.” Selanjutnya diinformasikan Indonesia diminta oleh sebagian besar fraksi di Timtim untuk ikut menyelesaikan persoalan, terutama fraksi-fraksi yang waktu itu menyatakan diri untuk bergabung dengan Indonesia, seperti UDT dan Apodeti (sudah lama sekali).

Kini di usia yang sudah tidak muda lagi saya masih mebaca Kompas. Sabtu minggu biasanya membaca di rumah. Hari kerja di kampus saat baru sampai di pagi hari, sebelum memulai kegiatan. Dulu membaca Kompas menjadi kesenangan tersendiri, halamannya banyak, topik beritanya banyak dan bervariatif, dari politik, ekonomi, sosial budaya, lengkap termasuk kolom opininya yang menarik, plus iklan-iklan lowongan kerjanya.

Kompas pula yang selalu menjadi rujukan informasi saat menjadi mahasiswa S1 di Bandung. Menu sarapan pagi, sambil minum kopi. Tiada hari tanpa membaca Kompas. Hanya saja sewaktu di Bandung selain Kompas juga membaca Pikiran Rakyat, korannya orang Jawa Barat.

Kini, tetangga di perumahan tempat saya tinggal hanya satu-dua yang masih berlangganan koran. Kata pegantar koran sekarang banyak yang berhenti berlangganan. Rupanya kemajuan teknologi informasi, internet dengan media digitalnya yang cepat, murah, efisien sudah bisa menggantikan peran koran. Apalagi anak-anak muda sudah tidak lagi membaca Koran. Bisa dimaklumi, petugas pengantar koran yang biasa mengantarkan koran ke rumah saya kini nyambi, ikutan menjadi pengemudi Gojek,

Ini gejala global setelah koran-koran besar dunia, seperti the New York Times, Washington Post, dan The Daily Mail dan lain-lain, yang sudah berusia ratusan tahun terpaksa tutup, kalah bersaing dengan media digital yang cepat dan efisien. Era digital telah menghanguskan banyak penerbit media cetak terkenal yang dulu menjadi andalan sebagai sumber informasi. Kondisi ini tentu tidak berbeda dengan penerbitan media cetak di Tanah Air, termasuk koran Kompas. Kita tidak tahu seberapa lama Kompas bisa bertahan dengan media cetaknya, meskipun saat ini terdapat penyesuaian Kompas versi digital, sebagai alternatif.

Namun buat seorang baby boomer seperti saya (banyak kelakar menyebutnya generasi kolonial), koran cetak masih bibutuhkan, ada nostalgia di sana, juga kenyamanan, enak dimata tidak cepat lelah, membaca koran sambil ngopi, membuka halaman demi halaman, yang tentu tidak bisa digantikan oleh media digital. Membaca halaman opini, luar negeri, olah raga, budaya, mungkin keunggulannya bukan lagi ke konten karena di media digital konten tentunya dengan mudah dapat dicari dan dibaca juga, bahkan informasi lebih cepat karena up date berbasis hitungan menit bahkan detik.

Namun kenyamanan membaca koran oleh generasi baby boomer yang berumur di atas 55 tahun bukan lagi kenikmatan di mata genrasi X, Y, milaneal apalagi generasi Z. Jadi mau tidak mau media cetak saat ini (bukan lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama) harus melakukan adaptasi, kalau tidak dipastikan mati. Tapi dengan berbagai alasan (antara lain terlalu banyaknya berita bohong/hoax di media-media sosial) saya masih perlu media cetak, meskipun generasi yang baru lahir sekarang, sudah berbeda preferensi.

(Aam Bastaman, Uni Trilogi). Penulis.

Aam BastamanComment