COVID-19 dan Tantangan Perguruan Tinggi Swasta
Catatan: Aam Bastaman
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menghadapi tantangan yang tidak ringan dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini. Bukan hanya tantangan infrastruktur dan kualitas program belajar mengajar yang “dipaksa” harus bertransformasi ke sitem pembelajaran dalam jaringan (daring), namun lebih dari itu adalah masalah keberlangsungan perguruan tinggi.
Indonesia memiliki jumlah perguruan tinggi (PT) terbesar di dunia. Terdapat sekitar 4.670 Perguruan Tinggi, dimana Perguruan Tinggi negeri (PTN) hanya berjumlah 130 lembaga, sisanya merupakan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Meskipun secara kuantitas banyak, namun secara kualitas Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia cukup mengkhawatirkan kondisinya. Dari sekian banyak perguruan tinggi hanya 96 perguruan tinggi yang mendapatkan akreditasi A, umumnya didominasi Perguruan Tinggi Negeri. Sedangkan yang mendapat akreditasi B berjumlah 600-an PT dan yang terakreditasi C sejumlah 1003 PT. Berarti ada sejumlah 3000 PT (umumnya PTS) yang belum terakreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Bukan hanya secara kualitas mengkhawatirkan, yang diindikasikan sebanyak 3000 PT tidak memenuhi syarat atau belum mendapat akreditasi BAN PT, namun juga terdapat “gap’ yang besar antara segelintir perguruan tinggi yang unggul dengan kebanyakan perguruan tinggi lainnya yang sedang berjuang, yang masih harus bekerja keras untuk mendapatkan pengakuan akreditasi Perguruan Tinggi. Permasalahan bukan hanya di situ saja, juga kemampuan menyerap mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta sangat rendah, terdapat sebanyak 70% PTS dari total 4.520 PTS yang hanya memiliki mahasiswa dibawah 1.000 orang. Hanya sekitar 300 PT (hampir semua PTN ada didalamnya) yang memiliki jumlah mahasiswa di atas 10.000 (kurang dari 5%). Selanjutnya, PTS yang memiliki mahasiswa antara 1.000-5.000 hanya sekitar 10%, dan PTS yang memiliki mahasiswa 5.000-10.000 sekitar 15%. Padahal jumlah mahasiswa Indonesia ada 8.1 juta, 95% kuliah di PTS (Budi Jatmiko, 2020).
Tidak mengherankan kondisi yang terjadi ini dapat mengganggu keberlangsungan banyak Perguruan Tinggi Swasta, sehingga banyak yang terancam tutup. Padahal partisipasi swasta dalam pendidikan nasional (termasuk pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi) sangat diperlukan, mengingat kemampuan pemerintah dalam membangun dan mengelola sistem pendidikaan nasional masih terbatas. Bisa dibayangkan kalau kualitas lembaga pencetak lulusan PT lemah, bagaimana pula dengan kualitas proses belajar-mengajarnya, dan kualitas lulusannya. Masalah kualitas pendidikan inilah yang menyebabkan SDM kita lemah, meskipun memiliki perguruan tinggi terbesar di dunia.
Oleh karena itu pandemi Covid-19 sangat memukul PTS. Karena mahasiswa yang ada yang jumlahnya sedikit terncam tidak memiliki kemampuan membayar UKT penuh, ditambah lagi peluang untuk mendapatkan mahasiswa baru dengan jumlah yang memadai untuk bisa beroperasinya sebuah PT terancam. Covid-19 telah memporakporandakan perekonomian, sehingga banyak orang kehilangan pekerjaan, dan sebagian lagi mengalami penurunan pendapatan. Sehingga untuk intake mahasiswa baru tahun 2020 ini dipastikan banyak PTS akan mengalami kesulitan.
Kondisi ini membuat pemerintah harus memberikan perannya untuk membantu PTS keluar dari kesulitan ini. Diperkirakan pandemi ini relatif tidak berpengaruh terhadap umumnya Perguruan Tinggi Negeri, karena operasional perguruan tinggi berasal dari anggaran negara. Lain halnya dengan PTS yang umumnya mengandalkan pendapatan dari uang kuliah mahasiswa untuk biaya operasionalnya, termasuk gaji dosen, karyawan tenaga kependidikan (Tendik), dan kegiatan akademik penunjang Tri Dharma Perguruan Tinggi. Hanya sedikit perguruan tinggi swasta yang memiliki sumber pendanaan yang besar dan atau memiliki yayasan yang kuat secara finansial, yang bisa mendukung dari segi keuangan manakala perguruan tinggi dihadapkan pada kesulitan keuangan.
Bisa dipastikan, tanpa ada campur tangan dan bantuan pemerintah, maka akan banyak PTS terancam bergururan. Tentu saja, hal ini akan menimbulkan persoalan baru, seperti nasib mahasiswa, dosen dan karyawan Tendik, termasuk juga nasib lulusannya yang kehilangan almamaternya. Ijasahnya kelak bisa dipertanyakan, karena perguruan tingginya sudah tutup. Sangat dilematis.
Gagasan pemerintah untuk PTS melakukan merger tentu merupakan gagasan yang baik, namun merger nampaknya hanya bisa dilakuakn secara lancar antara perguruan tinggi yang berada dalam satu yayasan. Jika beda yayasan maka masalahnya menjadi pelik, apalagi jika masing-masing yayasan hanya berpikir untuk kepentingan sendiri saja. Oleh karena itu pembatasan ijin pendirian PT baru perlu dilakukan, bahkan perguruan tinggi yang lahir dari perusahaan atau korporasi sebaiknya tidak dibuka lagi. Biar perusahaan fokus pada bidangnya, dan urusan pendidikan tinggi diserahkan kepada masyarakat akademik, sehingga terbuka peluang untuk bekerja sama. Kolaborasi antara PT dan dunia usaha inilah yang sebenarnya diperlukan. Penguatan dan dukungan terhadap Perguruan Tinggi Swasta yang ada jauh lebih baik daripada membangun perguruan tinggi baru.
Ke depan tantangan PTS bahkan akan semakin besar lagi, dengan semakin canggihnya teknologi informasi wajah proses pembelajaran perguruan tinggi akan banyak mengalami perubahan, tidak lagi seperti sekarang ini. Hal ini akan menarik lembaga non pendidikan tinggi untuk masuk ke arena persaingan baru, dengan kemampuan teknologi informasi yang dimilikinya. Kompetisi bukan hanya antar perguruan tinggi, namun juga pendatang baru yang bukan lembaga pendidikan tinggi namun menawarkan konsep pendidikan yang lebih unggul, menarik, efisien, produktif, serta murah. Apalagi ditenggarai ijasah bukan lagi daya tarik bagi kalangan dunia usaha dan dunia industri, namun penguasaan kompetensi.
(Aam Bastaman, mantan pimpinan PTS di Jakarta).