Pandemi COVID-19 dan Kenormalan Baru
Catatan: Aam Bastaman
Pandemi virus Corona baru (Covid-19) yang semula terjadi di Wuhan, Cina akhir tahun 2019, kini melanda dunia. Pandemi ini kini meluluhlantakkan tata kehidupan lama, membentuk suatu kenormalan baru (new normal) yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Namun pandemi ini telah terjadi dan menjadi tantangan sekaligus ancaman kehidupan (baca: keberlanjutan) kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Sementara vaksin untuk mencegah penyebarluasan virus ini belum diketemukan.
Strategi yang digunakan dalam menghadapi serangan virus Corona baru ini adalah melakukan berbagai upaya, yang muaranya adalah pembatasan sosial, baik dengan skala sedang, besar, sampai isolasi dan lockdown. Strategi ini mengharuskan manusia untuk saling menjaga jarak, tidak melakukan interaksi secara fisik, tidak melakukan bepergian, dengan kata lain strategi ini mengharuskan semua orang untuk tinggal di rumah. Melakukan pekerjaan ataupun belajar di rumah, juga beribadah. Rumah menjadi sentral pusat kehidupan baru umat manusia.
Strategi penanganan pandemi ini tentu saja bukan hanya berdampak terhadap sektor perekonomian yang semakin melesu, namun juga dalam kehidupan sosial keagamaan. Dalam kondisi normal akan banyak dipertanyakan, bagaimana mungkin orang-orang diminta untuk saling menjauh, tidak melakukan interaksi dan komunikasi jarak dekat? Begitu pula dalam kehidupan kegamaan, bagaimana mungkin orang tidak disarankan untuk memasuki dan melakukan peribadatan di tempat ibadah, seperti mesjid, gereja, vihara, kuil, kelenteng, dan lain-lain. Dalam kehidupan keagamaan Islam, shalat berjamaah di mesjid lebih diutamakan daripada shalat sendirian, namun kini untuk menghentikan penyebaran virus ini justru diminta untuk tidak shalat berjamaah di mesjid, tapi berjamaah di rumah bersama keluarga. Kalaupun karena kondisi terpaksa melakukan shalat di mesjid, maka harus memakai masker, dibuat jarak agak berjauhan, tidak rapat seperti yang disunahkan Nabi dalam keadaan normal. Saat terjadinya pandemi ini banyak hal telah berubah.
Tempat-tempat suci untuk berziarah, bahkan rukun Haji yang merupakan salah satu rukun Islam terancam ditiadakan. Kota suci Mekkah dan Madinah sementara ditutup. Ibadah Umrah juga ditutup. Begitu pula kota-kota dan tempat-tempat suci agama lainnya. Betapa dahsyatnya dampak virus ini terhadap kehidupan keagamaan. Seolah-olah meluluhlantakkan kemapanan lama dalam ritual keagamaan, yang bersifat sakral.
Dalam kehidupan sosial ekonomi, transportasi baik darat, laut mupun udara dibatasi, tempat-tempat wisata ditutup, tidak ada lagi lalu lintas hilir mudik manusia ke tempat tempat wisata. Bahkan mudikpun tidak bisa. Tempat-tempat umum di perkotaan, seperti mal, pusat-pusat perbelanjaan dan pusat-pusat bisnis ditutup. Termasuk kedai kopi ataupun kafe tempat orang-orang bersosialita. Padahal manusia masih memerlukan konsumsi pangan untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan. Kini bagaimana orang berkonsumsi pangan juga berubah, menjadi makan di rumah.
Terjadi kenormalan baru (new normal) yang bangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kini orang tidak perlu lagi berjabat tangan, apalagi cium tangan dan berpelukan. Orang saling menjaga jarak, masker menjadi barang yang biasa dikenakan di tempat-tempat umum, juga cuci tangan menjadi ritual. Silaturahmi yang bersikap tatap muka menjadi hilang, diganti dengan silaturahmi virtual lewat telpon pintar. Bekerja untuk banyak pekerjaan tidak lagi harus di tempat kerja, seperti kantor, tapi bisa di rumah. Belajar tidak perlu lagi pergi ke sekolah atau kampus, tapi bisa di mana saja. Tidak perlu lagi mengobrol dan berkomunikasi dengan tetangga atau teman-teman dekat. Semua menjaga jarak dan hati-hati. Itulah kira-kira bentuk kenormalan baru di era Covid-19 ini.
Pandemi Covid-19 ini telah meluluhlantakkan hampir semua sektor ekonomi, dunia transportasi dan pariwisata telah menjadi saksi kena hantaman yang pertama, termasuk bisnis turunannya seperti hotel, tempat-tempat rekreasi, destinasi wisata, rumah makan, pemandu wisata, bisnis perjalanan wisata, termasuk guide dan banyak bidang terkait dengan perjalanan dan pariwisata. Banyak pesawat diparkir di bandara tanpa bisa terbang. taksi dan media transportasi on line menjadi nganggur, bis pariwisata dan bis antar kota terhenti beroperasi, termasuk kereta api.
Usaha eceran banyak yang tutup, karena mal ditutup, dan orang tidak lagi dituntut untuk belanja barang-barang tersier dan mewah, saat ini tidak dperlukan lagi. Yang menjadi prioritas adalah bagaimana memenuhi kecukupan pangan. Jam tangan 3 milyar dengan 1 juta atau limaratus ribu rupiah barangkali saat ini hampir tidak ada bedanya, ataupun baju berharga satu juta, dua juta, juga tidak berbeda dengan baju yang harganya hanya ratusan ribu rupiah. Bagi golongan menengah ke atas, tidak perlu lagi jas mewah dan sepatu mewah. Di rumah cukup pakai sandal dan baju kaos bahkan bisa dengan celana pendek.
Mobil-mobil mewah dan berharga mahal tinggal di garasi, menjadi pajangan yang mungkin masih nyaman dipandang mata, namun tidak berfungsi optimal (kecuali para kolektor yang kelebihan uang, yang memang tujuannya hanya untuk dipajang). Memanjakan mata dengan window shopping atau cuci mata, atau pamer apa-apa yang bisa melekat di badan sudah tidak bisa, bahkan tidak perlu. Mal ditutup, tempat-tempat hiburan ditutup, begitu pula tempat-tempat umum lainnya. Tidak bisa lagi aksi keluar rumah dengan leluasa. Belanja keperluan sehari hari juga terbatas, karena mengurangi interaksi dengan orang. Belanja on line dengan sistem antar kini justru menjadi pilihan.
Seperti halnya hasil berbagai diskusi dan seminar mengenai dampak Covid-19 terhadap perekonomian dan kehidupan umum yang memunculkan fenomena kenormalan baru, maka beberapa bidang usaha menjadi lampu merah, terancam gulung tikar. Fenomena PHK bukan lagi hal yang baru dan mengagetkan. Ekonomi akan kembali ke bentuk dasarnya: Memenuhi kebutuhan dasar - pangan. Konsumen akan lebih menahan diri untuk membelanjakan uangnya, kecuali belanja pangan. Fokus konsumen pada pemenuhan kebutuhan (needs), bukan pemenuhan keinginan (wants).
Masa depan peguruan tinggi seperti banyak ramalan sebelumnya, dengan virus Corona baru ini, mempercepat pendekatan pembelajaran menjadi lebih berorientasi on line. Bisa jadi banyak kampus yang akan tutup. lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Belajar tidak perlu ke kampus, dan hanya kampus-kampus yang kompetitif yang bisa memberikan nilai lebih plus reputasi dan pengakuan masyarakat yang tinggi yang masih akan tetap eksis. Kampus-kampus yang eksis ini akan semakin efisien, kebutuhan dosen pun tidak akan sebanyak sebelumnya. Kampus-kampus yang tidak kompetitif harus siap-siap menghadapi takdir penutupan, atau alih fungsi.
Dsamping menghancurkan banyak usaha, Covid-19 juga memunculkan peluang dengan bentuk kenormalan baru. Usaha pengantaran menjadi sangat favorit. Sekolah berbasis on line semakin berkembang, hiburan on line makin marak, belanja on line akan menjadi biasa, bekerja on line dan remote working akan melembaga, peran televisi akan lebih naik daun lagi, yang sebelumnya diperkirakan akan redup. Dengan semakin lama tinggal di rumah televisi bisa menjadi media hiburan alternatif yang diandalkan.
Dunia akan memiliki kenormalan yang baru, yang sebelumnya mungkin dianggap tidak normal, tidak lazim, kini menjadi fenomena baru yang muncul. Di awal orang-orang akan terkaget-kaget, tapi nanti akan menjadi biasa, seperti namanya - suatu kenormalan baru. Pada akhirnya kita harus menerima pandemi ini sebagai suatu realitas yang harus dihadapi. Dalam ajaran Islam, seperti pada Qur’an surat Ar-Ra’d: 11, “Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu sendiri tidak mau berusaha untuk merubahnya”. Tuhan memberikan arahan kepada manusia untuk selalu berihtiar, disamping memohon dengan memanjatkan doa-doa.
Percaya kepada hukum alam, takdir dan kebesaran Tuhan, itulah bentuk pengakuan kepada Tuhan semesta alam. Ada maksud Tuhan yang belum dipahami manusia, dibalik musibah ini. Paling tidak, dalam kesulitan ini sekarang kita bisa menyaksikan dan menikmati udara bersih dan keheningan alam, seperti ada proses bumi yang sedang membersihkan dirinya sendiri.
(Aam Bastaman).
Foto-foto: Istimewa (dari berbagai sumber open access).