Covid-19 dan Hubungan antar Budaya

Ibu angkat saya di Adelaide (77 tahun) semula terkesan tidak terlalu menganggap serius ancaman Covid-19, padahal pada awal Maret lalu Australia dihebohkan dengan pembelian secara panik tissu (toilet paper), sampai menimbulkan gejolak sosial, seperti yang ramai diberitakan di media sosial pertengkaran dua orang wanita memberebutkan stok toilet paper di sebuah toko eceran.

Per 10 Maret 2020 ibu angkat saya mengabarkan hanya 7 kasus di Australia Selatan (negara bagian South Australia), masih sangat kecil. Ibu angkat saya bahkan heran kenapa harus terjadi “rush” pembelian toilet paper dan barang-barang lain. “The % of people who actually get it badly is very very small - the % is no worse it seems to me than any other flu epidemic that goes around . I cannot believe the people who are rushing to buy many many many rolls of toilet paper here! “, ungkapnya dalam pesan messenger. Ibu angkat saya memberikan kesimpulan persentase orang-orang yang terinfeksi sangat sangat kecil dibandingkan total populasi Australia, sehingga virus Corona baru ini dianggap masih lebih ganas jenis flu lainnya yang sering melanda umat manusia.

Itu tanggal 10 Maret 2020. Rupanya tanggal 18 maret 2020 nada pesannya jauh berbeda, “We are advised to have as little as possible contact with other people and many of our usual activities have been cancelled - perhaps for up to months or more.” Pesannya kali ini menunjukkan kekhawatiran menjalarnya virus ini secara masif.

Kemunculan virus Corona baru membangun kesadaran kolektif manusia akan bahayanya virus ini, meskipun tingkat kematian relatif kecil dibandingkan jenis virus lainnya, namun virus Corona baru dapat menular dengan mudah dan menyebar menginfeksi banyak orang dengan cepat. Sehingga sesuai dengan anjuran WHO dan kemudian diikuti oleh kebijakan banyak negara, masyarakat perlu memotong penyebaran virus ini dengan membatasi sedapat mungkin kontak dengan manusia lain, maka lahirlah WFH (working from home) atau SFH (study from home), ditambah shalat/beribadah dari rumah. Walhasil, semua orang diminta tinggal di dalam rumah.

Penanganan Covid-19 memerlukan disiplin yang ketat. Bisa kelihatan bangsa-bangsa yang memiliki disiplin yang tinggi relatif bisa mengendalikan penyebaran virus ini secara baik. Yang mengejutkan adalah perilaku masyarakat di negara-negara maju yang terkesan menyepelekan dan tidak disiplin, seperti dikabarkan berbagai media internasional. Mengambil contoh di Italia ataupun Spanyol, atau bahkan Amerika Serikat, yang memerlukan waktu lama untuk membuat masyarakatnya sadar akan penularan virus ini yang sangat cepat. Berbeda dengan masyarakat Jepang atau Korea Selatan, juga Singapura yang disiplin dan taat menerapkan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahnya. Tiga negara ini merupakan negara yang memiliki tingkat kedisiplinan dan kebersihan yang sangat tinggi. Hasilnya tingkat penyebaran virus Corona di Korea Selatan dan Jepang yang populasinya lebih besar dibanding Singapura, tidak separah di Spanyol, Italia ataupun di Amerika Serikat. Banyak orang terkaget-kaget, ternyata penduduk Eropa (dan Amerika Serikat) tidak seterpelajar yang dikira selama ini. Soal disiplin masyarakatnya kalah sama bangsa Korea Selatan dan Jepang.

Berbeda dengan Cina yang yang sangat dikontrol oleh pemerintah dalam hal ini Partai Komunis Cina (PKC), karena kontrol yang ketat membuat semua kebijakan pemerintah diikuti tanpa pembangkangan. Karena banyak aspek bersifat sentralistik, kebijakan otoritas dari atas lebih mudah dijalankan, karena harus dipatuhi semua orang. Oleh karena itu pengendalian penularan virus dapat lebih cepat.

Tantangan di setiap negara hampir sama, tingkat kesadaran masyarakatnya yang berbeda, sehingga efektifitas penanganan penyebaran virus juga dimungkinkan berbeda di setiap negara. Sejauh ini Amerika Serikat, Spanyol dan Italia yang paling parah. Per 10 April 2020 Amerika Serikat merupakan negara yang paling terdampak di dunia dengan sebanyak 466.969 kasus, 16.632 orang meninggal dan 25.316 orang dinyatakan sembuh. Di Spanyol terdapat 153.222 kasus, 15.447 orang meninggal dan 52.165 orang sembuh. Kemudian Italia sebanyak 143. 626 kasus, 18.279 orang meninggl dan 28.470 orang sembuh. Negara-negara lainnya yang paling parah umumnya berada di benua Eropa, seperti Jerman, Perancis, Inggris, Belgia. Negara Asia yang paling terdampak selain Cina adalah Iran dan Turki. Per 10 April 2020, total secara global tercatat 1.600.984 kasus terinfeksi, dengan jumlah kematian 95.604 orang dan yang dinyatakan sembuh 355.671 orang.

Ibu angkat sayapun kini lebih hati-hati menyikapi epidemi ini, saya kira tidak lagi menganggap kejadian biasa. Per 6 April 2020 di Australia sudah terjangkit 5.800 orang, 40 orang diantaranya meninggal, dan 2.000 orang dinyatakan sembuh. Meskipun Australia tergolong beruntung, korbannya tidak sebanyak di negara-negara Eropa, namun kewaspadaan penularan virus ini sangat tinggi.

Nah, Indonesia bagaimana? Saya kira tidak perlu lagi berdebat kusir dan berantem di tengah bencana ini. Kondisi darurat seperti ini memerlukan persatuan rakyat dan kesatuan komando. Cukup kita patuhi kebijakan yang sudah ditetapkan pemerintah, dengan sebanyak mungkin diam di rumah, menjaga jarak dan menghindari keramaian. Per 10 April tercata sudah 3.512 orang yang terjangkit, 306 orang diantaranya meninggal dunia, dan 282 orang dinyatakan sembuh. Ekonomi, seperti halnya di belahan dunia lainnnya terdampak berat, namun kita semua fokus dulu pada upaya penghentian penyebaran virus ini.

Semoga korban tidak bertambah lagi, atau paling tidak kita berharap ada penurunan jumlah korban, dan kita secepat mungkin dapat memasuki keseimbangan baru, bebas dari virus Corona. Kita bisa membangun ekonomi kembali. Sementara ini kita bisa merasakan keheningan dunia, dan bersihnya udara dan langit di muka bumi. Semua manusia mengurangi aktifitasnya dan lebih banyak tinggal di rumah, seperti Ibu angkat saya bilang: Bumi sedang menkmati istirahatnya.

(Aam Bastaman). Penulis

Adelaide 1.jpg

(Adelaide)

Foto: Istimewa (dari sumber open access).


Aam BastamanComment