Mulainya UPGK, Program Usaha Peningkatan Gizi Keluarga, di Seluruh Indonesia
[Tulisan ini adalah cuplikan dari sebuah Buku tentang UPGK yang sedang disusun}
Dalam suasana kerja di rumah, kami, Prof. Dr. Haryono Suyono, teringat masa lalu waktu kami sebagai Deputi Opersional KB sejak tahun 1975 bekerja di lapangan bersama Almarhum Bapak dr. Suwardjono Suryaningrat, Kepala BKKBN 1970 – 1983. Pada sekitar tahun 1978-1979 beliau mengadakan kunjungan ke desa-desa, dan sebagai Deputi bersama aparat melakukan persiapan yang matang agar kunjungan yang diliput banyak wartawan itu membawa hasil maksimal. Persiapan itu termasuk mengajak ibu-ibu akseptor KB dengan anak-anak yang dibawanya berderet menyambut kedatangan Kepala BKKBN yang di dampingi Bupati, Camat dan aparat desa lainnya, termasuk ibu-ibu PKK dengan barisan anggota dari kabupaten dan kecamatan sebagai pendamping.
Pada waktu mengadakan persiapan kedatangan beliau kami merasa terkejut ada seorang ibu dengan bayinya ikut berbaris yang menurut PLKB siap ber-KB dan ingin bersalaman dengan Kepala BKKBN yang hadir untuk memuaskan niatnya ikut KB. Bayi yang digendongnya menangis saja dan kami anjurkan agar tidak usah ikut berbaris karena bayinya menangis terus. Kami anjurkan bayi di susui agar diam dan tenang sehingga tidak membuat gelisah ibu-ibu lain yang berbaris. Ibu bersangkutan sudah berusaha memberikan air susunya, tetapi bayinya tidak mau menyusui dan tetap menangis. Saya tanya lebih lanjut, apakah ibu mengandung? Jawabnya tidak tahu. Apakah sebulan ini mengalami datang bulan? Jawabnya sudah hampir dua bulan tidak datang bulan. Kami langsung mengambil kesimpulan bahwa ibu itu hamil sehingga anaknya tidak mau menyusu pada ibu hamil. Karena tidak mau minggir akhirnya ibu tadi tetap berbaris dan tatkala Kepala BKKBN, dr. Suwardjono yang dokter ahli kandungan lewat, bayinya tetap menangis, saya sampaikan bahwa ibu ini ingin ikut KB, tetapi sedang hamil pak.
Dr. Suwardjono menoleh kepada saya sambil ketawa, “kok tahu”, beliau setengah tidak percaya karena saya bukan dokter. Tetapi anaknya menangis terus tidak berhenti disusui karena ibunya hamil lagi, sudah dua bulan tidak datang bulan. Padahal dua anaknya sangat kurus kurang gizi sehingga saya katakan tidak boleh ikut KB. Akhirnya pak Suwardjono setuju bahwa ibu itu tidak usah ikut KB karena sedang hamil lagi. Peristiwa itu menggugah kalangan BKKBN karena gerakan ikut KB menjadi tren yang luar biasa di desa berkat kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang disertai dengan Advokasi yang mengubah pengetahuan, sikap dan budaya masyarakat menjadi tingkah laku masal untuk ikut KB agar tetap diakui sebagai bagian dari masyarakat yang bersatu dan menganggap KB sebagai budaya desa baru dan perlu diikuti oleh seluruh pasangan usia subur yang ada di seluruh desa.
Peristiwa itu menjadi isu hangat di kalangan internal BKKBN yang menghasilkan kesimpulan bahwa program Gizi, waktu itu namanya UPGK, Usaha Peningkatan Gizi Keluarga, harus digalakkan utamanya untuk keluarga muda yang memiliki anak balita agar mereka bisa ikut KB agar upaya menurunkan tingkat kelahiran berhasil dengan baik. Kalau akseptor KB terdiri dari keluarga yang sudah tua dengan banyak anak, maka tingkat kelahiran tidak turun karena sudah terlanjur jumlah anaknya banyak. Diputuskan menanyakan kepada Kementerian Kesehatan tentang Program Gizi yang dijalankan. Melalui Kepala Pusat Penelltian Prof. Dr. Sullianti Saroso diperoleh informasi bahwa beliau sedang mengadakan penelitian jangka panjang pada 500 desa dalam pengembangan program gizi di seluruh Indonesia. Melihat kenyataan itu maka hampir pasti Gerakan KB dengan pendekatan masyarakat tidak akan bisa menjangkau pasangan usia subur muda karena banyak anak-anak keluarga muda yang masih kurang gizi sehingga tidak bisa diminta ikut KB dengan dua anak saja dianggap cukup. Diusulkan kepada Kepala BKKBN agar ikut menangani masalah gizi sehingga kita bisa mengajak pasangan usia subur muda ikut KB. Usul itu diterima agar kita segera mengadakan konsultasi dengan Depkes meminta ijin dan mencari sponsor untuk program Gizi Desa karena belum tentu Bappenas memberikan dukungan dana untuk program Gizi yang masal.
Segera Tim Deputi KB dan jajaran lain di BKKBN mencari dukungan dana dari berbagai sumber Donor yang ada di Jakarta. Setelah koordinasi dengan berbagai Donor, akhirnya didapat komitmen dari UNICEF mendukung Program Gizi Desa pada separo dari jumlah desa di Indonesia atau pada 30.000 desa. Untuk itu lingkungan Depkes mengundang BKKBN mengajukan usul kegiatan program Gizi itu kepada eselon I Depkes untuk mendapat komentar dan persetujuan. Maka Tim Deputi KB mengadakan konsultasi, belajar tentang masalah gizi dan pengembangannya serta menyusun Rancangan Program Gizi Desa bersama UNICEF sebagai calon pendukung dana. Karena para pejabat BKKBN bukan ahli gizi, biarpun banyak yang lulusan Akademi Gizi, maka selama dua minggu penuh, pagi, siang dan malam, Tim BKKBN belajar tentang masalah gizi balita dan ibu hamil sambil menyusun proposal untuk mendapat persetujuan dari pejabat Eselon I DepKes.
Ada sedikit peristiwa “tata krama” yang lucu tetapi benar terjadi. Kepala BKKBN tidak berkenan datang sendiri pada Rapat dengan Eselon I Depkes karena Sekjen Depkes pada waktu itu berpangkat Mayor Jendral TNI dan Kepala BKKBN baru Kolonel, sehingga ditakutkan Pak Jendral “memveto” menolak usulan BKKBN. Karena itu menugaskan Deputi KB membawakan proposal kepada Rapat khusus Pejabat Eselon I DepKes. Alhamdulillah, dengan persiapan yang matang, waktu itu belum ada power point, tetapi dengan transparansi yang ditulis dalam lembaran plastik, proposal itu dibawakan dengan dukungan moril yang tinggi dari staf dan “Dosen Gizi UNICEF” yang selama satu minggu menyulap Deputi KB menjadi “ahli gizi” membawakan “Proposal Program Gizi Desa” yang luar biasa untuk 30.000 desa lengkap rencana operasional yang segera bisa dilaksanakan dengan jaminan dana untuk pelatihan tenaga dan kegiatan operasional di lapangan dengan baik.
Hari berikutnya disusul Rapat Tehnis bersama Dirjen dr. Subekti dan staf yang menjamin pelaksanaan program hanya untuk 15.000 desa karena keterbatasan bidan. Karena itu Program Gizi Desa segera di laksanakan pada 15.000 desa dengan dukungan PLKB, bidan dan petugas relawan PKK yang jumlahnya sekitar 50.000 orang hampir satu PLKB di setiap desa. Dalam lima tahun berikutnya program itu diperluas menjadi 30.000 desa dan lima tahun berikutnya meliputi 60.000 desa atau seluruh desa Indonesia. Ada kesan karena program itu, jumlah kasus Gizi buruk melompat tajam.
Sesungguhnya lompatan naik itu bukan karena program yang dikembangkan, tetapi karena kasus gizi buruk di desa tidak atau belum dilaporkan atau dianggap bukan kasus kurang gizi. Program agak goncang karena BKKBN, terutama Deputinya, dianggap memojokkan rekan-rekan di Depkes dengan membuka kasus gizi buruk yang lebih banyak. Namun dengan sabar, diberikan penjelasan yang akrab dan ajakan melakukan penyelesaian bersama dalam bentuk gotong royong dengan mengembangkan program khusus menyelesaikan masalah sebagai gerakan masyarakat, maka ketegangan bisa diredakan.
Selanjutnya Program UPGK, Program Gizi Keluarga Desa dikembangkan menjadi Gerakan Gizi Desa dengan penimbangan anak balita melalui Posyandu di mana PKK memainkan kegiatan utama penimbangan dan pemberian makanan bergizi untuk ibu hamil dan anak balita kurang gizi. Undangan untuk berkumpul dilakukan oleh PLKB ke desa-desa dibantu oleh para bidan di desa. Hasilnya sangat menakjubkan karena pada akhir tahun 1990-an tidak lagi terdengar ada kasus gizi buruk dan tingkat kematian ibu hamil menurun tajam.
Sayang sejak tahun 2000-an, kegiatan Gerakan Masyarakat itu menurun karena komitmen dan perhatian yang menurun sehingga pada sekitar tahun 2005 terdengar kembali adanya kasus gizi buruk, stunting dan tingkat kematian ibu hamil kembali meningkat. Perlu kita bersatu kembali menghidupkan Gerakan Masyarakat untuk menghapuskan kasus Gizi buruk dan menurunkan tingkat kematian ibu hamil dan melahirkan di seluruh desa di Indonesia. Semoga.