Memimpin Warkshop Internasional Keluarga Berencana

hal53a.jpeg

Setelah menikmati tidur paling nikmat setelah sore harinya dinyatakan lulus ujian doktor oleh Tim Penguji Universitas Chicago, pagi harinya dipanggil Pimpinan Pembimbing Guru Besar untuk Tim Doktor di kantornya. Pada pertemuan yang sekali lagi saya dilarang memanggil Professor lagi itu, Pembimbing dan pendamping saya selama belajar untuk Program Doktor, Prof. Dr. Donald Bogue (almarhum) memberi tahukan kepada saya bahwa saya harus tinggal sekitar tiga bulan lagi di Chicago. Kalau syaratnya saya harus tidak boleh menerima ijazah dan dinyatakan lulus, maka saya tidak mengikuti Wisuda pada awal Summer, atau awal bulan Juni 1972, tetapi akan diikut sertakan dalam Wisuda pada akhir bulan Agustus tahun 1972, yaitu pada akhir masa Summer. Untuk tiga bulan itu saya ditugasi sebagai Co-Director International Training Workshop dalam bidang KB yang setiap Summer selalu saya ikuti sejak tahun 1969, mula-mula sebagai peserta, kemudian sebagai Asisten mulai tahun 1970 dengan ikut mengajar. Sebagai Co-Director saya bertanggung jawab lebih separo dari waktu pelatihan selama dua setengah bulan karena Guru Besar saya akan bepergian dinas ke beberapa negara selama satu bulan. Saya akan dibantu oleh Tim kuat yang biasa membantu beliau mengatur jadwal dan para Pengajar Tenaga Ahli yang biasa mengajar bersama saya sejak tahun 1970 dan berasal dari berbagai Perguruan Tinggi di seluruh Amerika dan Lembaga-lembaga Kependudukan yang umumnya bermarkas besar di Washington dan New York yang saya juga sudah kenal karena bersama-sama mengajar sejak tahun 1970.

Untuk itu saya dijanjikan honor lebih tiga kali lipat dari bea siswa saya setiap bulan dibanding yang saya terima. Dengan senang hati tawaran itu saya terima karena kata beliau sambil senyum,  “ijazah doktor saya belum di tanda tangani Rektor”, padahal dia akan segera pergi dan saya adalah mahasiswanya yang paling senior diantara sesama mahasiswa yang bekerja pada Pusat Pelatihan KB dan Pembangunan Kependudukan, “Community and Family Study Center” (CSFC ) pada Universitas Chicago.

Benar sekali, hari berikutnya pada saat Pembukaan Summer Workshop secara resmi, dengan peserta lebih dari 150 orang dari sekitar 100 negara dibuka, saya diperkenalkan sebagai Co-Director dengan menyebutkan nama saya “Haryono Suyono PhD” padahal saya belum di wisuda dan belum mengantongi ijazah Doktor. Di muka sekitar seratus limapuluh peserta dari sekitar 100 itu, hati ini berbunga-bunga, apalagi terdapat lebih dari lima orang peserta dari Indonesia yang diam-diam pasti sudah menduga, saya bakal menjadi orang penting BKKBN.

Tugas memimpin Workshop internasional itu memberikan saya tanggung jawab dan penghargaan sangat tinggi bagi staf di lingkungan pusat Pelatihan dan Riset yang selama ini saya bekerja dan membangun percaya diri sebagai mahasiswa yang bahasa Inggrisnya semula “sangat hati-hati”, kata lain dari belum lancar. Pada minggu kedua, Guru Besar saya Prof. Dr. Donald Bogue (alm) berangkat keliling dunia dan saya mulai bertugas memperkenalkan setiap dosen tamu dan mengerjakan selingan manakala dosen belum datang. Untung setiap Summer saya selalu ikut sebagai Asisten pada Summer Workshop yang selalu diadakan di Universitas Chicago ini. Staf merasa nyaman karena segalanya lancar dan tidak ragu-ragu pada saya, kata mereka, saya tidak seperti pada Summer 1969, yang di dalam kelas selalu bertindak “hati-hati dan diam” seperti “orang lagi semedi” karena tidak banyak bicara.

Disamping tugas memperkenalkan para pembicara, sebagai pimpinan saya ditugasi mengajar Ilmu, Strategi dan Praktek Komunikasi kepada para peserta, utamanya dalam memperkenalkan Program KB kepada pejabat dan pasangan usia subur. Pelajaran ini termasuk memberi petunjuk tentang perencanaan dan praktek pembuatan film-film interview dan animasi pendek untuk keperluan “insert tentang KB” pada stasiun televisi di negara masing-masing peserta, sehingga banyak yang hasilnya di bawa pulang untuk ditayangkan pada stasiun televisi negara masing-masing. Keahlian saya dalam Ilmu Komunikasi langsung dijabarkan secara internasional. Kegiatan yang berlangsung sukses itu bermata rangkap karena saya mengantongi dana cukup untuk beli mobil type Ford Mustang untuk dibawa ke Indonesia. Hanya sial, di Indonesia mobil bawaan dari Amerika itu dianggap barang mewah dan dikenai pajak tinggi sehingga terpaksa segera dijual karena tidak mampu membayar pajaknya.

Pada saat menutup Workshop Internasional, saya ajak peserta Indonesia menyajikan kejutan karena Workshop Internasional itu tepat pada ulang tahun ke sepuluh dari acara tahunan yang dimulai pada tahun 1962. Saya ajak teman -teman menyajikan tarian khas Indonesia petikan Janoko Cakil dengan salah seorang peserta Indonesia, Almarhumah dr. Ida Sukaman “saya dapuk dan saya latih” sebagai Janoko, dan saya, karena waktu itu berjenggot, biarpun masih langsing dan lebih kecil, pilih jadi “Buta Cakil”-nya. Gamelan dan pakaian wayang dipinjam dari Kedutaan RI di Washington.

Acara tarian itu, biarpun hanya tujuh menit meriah sekali dan semua yang memiliki kamera mengambil gambar dengan merapat ke panggung sehingga bunyi gamelan tidak terdengar karena di depan panggung penuh pengambil gambar, karena itu Buta Cakil yang seumur-umur belum pernah menjadi penari internasional, kalang kabut, guling-guling ingin segera “mati kena tusuk” keris Janoko. Tetapi dokter Tan dari Karang Anyar yang bertindak sebagai sutradara di belakang layar teriak-teriak “durung-durung” dalam bahasa Jawa, artinya belum waktunya mati. Teriakan itu menambah dramatisnya suasana pertunjukan sehingga penonton menjadi histeris, seakan itu semua adalah bagian dari drama Buto Cakil yang lepas dari tusukan. Penonton yang tidak mengerti memberikan sorak gemuruh, Buta Cakil bisa bertahan dan puncak tarian makin menarik. Buta Cakil tidak jadi mati, berpolah tingkah lincah keliling lagi, ambil acang-ancang, baru kemudian menyabet keris Janoko, mati tersungkur, ambruk di panggung berkeringat. Biarpun hanya menari selama tujuh menit tetapi sungguh menjadi suguhan yang mengundang tepuk tangan yang gemuruh. Layar ditutup dan para pemain turun panggung mendapat salam hangat dan pemotretan seakan bintang tari yang luar biasa. Hanya peserta dari Indonesia yang tahu, bahwa Buto Cakil hampir mati sebelum waktunya, tetapi karena teriakan “durung-durung”, Buta Cakil bisa hidup lagi mengembangkan “putaran terakhir” yang penuh pesona. Suatu pengalaman menjadi penari internasional yang memberi kesan hiburan yang sangat monumental.

Cakil2.png

Kisah menjadi pengelola pendidikan internasional yang sangat ketat dan berhasil disertai diplomasi Buta Cakil Janoko itu merupakan pengalaman sebagai modal untuk menggalang popularitas agar tetap dikenal dan dikenang oleh banyak sekali Pimpinan Program KB Dunia dan akademisi, pejabat internasional dan penggerak KB Dunia yang ternyata berguna dalam menggalang kerja sama internasional sehingga dalam tugas selanjutnya dalam karier sebagai pejabat BKKBN selalu diingat dan kadang disapa, Sir, were you the one who did me lectures in Chicago? Were you the dancer who oerformed in the closing ceremony in Chicago? Dan cairlah formalitas menjadi persahabatan yang mempererat hubungan antar bangsa. Suatu kerja keras yang membawa manfaat dan keuntungan kerja sama antar negara. Tuhan memberikan pertolongan agar Program KB Indonesia menjadi makin tenar di seluruh dunia.

 

 

Haryono SuyonoComment