Adopsi Gagasan Baru Gaya Negara Berkembang

MA.jpg

Menyambung cerita sebelumnya, pada tahun 1970 setelah mengikuti kuliah sejak Summer tahun 1969 saya telah menyelesaikan semua syarat guna mendapatkan gelar MA dalam Bidang Kependudukan dan Aplikasi Komputer pada Program Studi Master Kependudukan pada Universitas Chicago. Setelah berhasil mengikuti kuliah selama musim Summer, gelar yang saya miliki dari Akademi ILmu Statistik (BSt), dimana para Dosennya kebanyakan adalah Tenaga Ahli PBB yang membantu BPS, rupaya gelar BSt yang saya sandang, diakui sebagai gelar S1, sehingga untuk kuliah pada Universtas Chicago selanjutnya, saya langsung diterima sebagai mahasiswa S2. Setelah selesai pada tahun 1970, berarti saya resmi memperoleh gelar MA yang setaraf dengan gelar S2 dalam Ilmu Demografi yang handal dibawah asuhan dua Guru Besar, yang pada jaman itu adalah “kampiun kependudukan Dunia”, Prof. Dr. Houser dan Prof. Dr. Donald Bogue. Sehingga,  karena kuliah dan semua tugas kedua guru besar dan semua asistennya mendapatkan nilai “A” dan kemampuan melalukan analisis kependudukan seperti membuat perencanaan penelitian, analisis hasil penelitian, proyeksi penduduk, membuat tabel bermacam sampai mengarang berbagai model kependudukan termasuk analisis hasil survey pengetahuan, sikap dan tingkah laku penduduk tentang masalah keluarga berencana telah diikuti dalam kuliah dangan hasil baik, maka oleh Penasehat Akademis saya dianggap siap menerima gelar MA. Tetapi kalau ijazah itu diberikan, maka menurut perjanjian, saya harus kembali ke tanah air. Guru Besar saya sangat keberatan sehingga ijazahnya ditahan dan secara resmi dianggap belum diluluskan.

Setelah perjuangan yang gigih dari Guru Besar dan beberapa tokoh kependudukan dari Ibu Kota Amerika, Washington, yang setiap Summer datang pada acara Summer Workshop di Universitas Chicago di mana Haryono selalu mengajar pada Acara Summer itu, para pejabat itu “merasa” mendapat “kader Kependudukan KB” untuk program KB yang baru mulai di Jakarta. Mereka ikut mengecam lambannya tanggapan dari Jakarta tentang permintaan perpanjangan ijin dan beasiswa untuk Haryono. Apa lagi mereka mengetahui bahwa jalannya program KB pada tahun pertama sangat lamban dengan “target” tahun pertama untuk program KB di Indonesia “hanya 50.000 Akseptor”. Setelah didesak dari berbagai kalangan dan dijanjikan bantuan, targetnya naik menjadi “sekitar 100.000 Akseptor”. Padahal kalau mereka bicara dengan saya dan para ahli lainnya, Indonesia hanya akan berhasil kalau targetnya sekitar 4.000.000 sampai 5.000.000 akseptor KB baru setiap tahun.

Perjuangan yang gigih ditambah pendekatan kekeluargaan dari seluruh kawan-kawan dan isteri di Jakarta langsung kepada Bapak M Abdul Majid (almarhum), Kepala BPS, yang dengan sangat simpatik menyetujui program studi saya, setelah hampir satu tahun, Pemerintah Indonesia menyetujui program Doktor saya pada Universitas Chicago. Sementara itu, dengan dukungan Penasehat Akademis yang kemudian diperluas menjadi Penasehat Akademis untuk Program Doktor saya, saya mengikuti kuliah pada Program Doktor secara intensif termasuk kesempatan mempersiapkan penulisan Desertasi.

Karena itu, begitu persetujuan pemerintah datang dari Jakarta, pada tahun 1971, saya segera di wisuda dengan gelar MA dalam bidang Kependudukan dan Aplikasi Komputer dan resmi dicatat pada program doktor Universitas Chicago di Amerika. Pada saat yang sama sudah mengantongi beberapa mata kuliah yang sudah lulus. Semula pada Program Doktor, saya ditugasi mengambil Program Social Psychologi, tetapi belum dua minggu saya merasa kurang cocok dan minta pindah pada Program Study Sosiologi dengan Spesialisasi Komunikasi dan Perubahan Sosial, suatu pilihan yang saya anggap diperlukan di Indonesia. Pilihan itu ternyata cocok bagi pekerjaan saya selama puluhan tahun kemudian karena memberikan bekal ilmu yang sangat berguna pada pekerjaan saya membangun budaya keluarga Indonesia yang baru dan modern serta masyarakat Indonesia modern.

Kuliah dan perjalanan Akademis selanjutnya berjalan lancar, saya tetap diserahi tugas sebagai Asisten Dosen guna membimbing, utamanya dalam bidang statistik dan metodologi penelitian, bagi mahasiswa dari Korea, Jepang dan  Bangladesh. Bahkan dalam setiap liburan selalu diserahi tugas memimpin misi kunjungan tukar menukar persahabatan Mahasiswa tingkat Doktoral pada Universitas Ohio dan Universitas Kansas di Amerika, yang menghasilkan penghargaan Warga Kehormatan pada dua kota tersebut.

Menjelang Summer tahun 1972 saya sudah siap dengan desertasi lengkap dan menunggu ujian. Setelah para penasehat menanda tangani dokumen, saya siap dan diuji. Pada awal Summer 1972, semua persyaratan sudah lengkap, saya menempuh ujian akhir dengan judul Desertasi “Adoption of New Innovation in Developing Country” yang menurut istilah kita disebut Ujian Terbuka. Saya lulus dengan sedikit lucu karena setelah ujian, para penguji rapat di Ruang tertutup. Para penguji sangat lama tidak keluar dari Ruang Rapat, sehingga bersama beberapa teman, saya yang “menunggu di luar” tambah gemetar, takut tidak lulus. Begitu mereka keluar sambil ketawa ketiwi, para penguji terkejut dan bertanya kenapa saya dan teman-teman menunggu, belum pulang atau pesta-pesta? Serentak kami jawab belum ada keterangan hasil ujian. Mereka ketawa karena ternyata antar Dosen Fakultas dan Pimpinan Lembaga Riset tempat saya bekerja, saling berebut untuk menerbitkan Desertasi saya untuk publik.

doktor.JPG

Akhirnya mereka sepakat mengajak kita semua mampir ke Restoran di Kampus minum bir atas tanggungan para guru besar yang berebut membayar minuman. Untuk pertama kalinya mereka tidak mau dipanggil Professor, tetapi minta dipanggil dengan nama kecilnya, karena sama sama memiliki gelar doktor, berubah status menjadi teman sejawat. Professor saya minta dipanggil “Don”, “Terry” dan nama kecil lainnya. Bagi saya agak aneh, tetapi kata mereka, harus berubah. Segera selesai minum-minum saya pulang memeluk isteri sambil berlinang air mata terharu, apalagi selama ini yang mengetik berulang ulang desertasi saya, termasuk mengulang lagi manakala ada coretan, atau tambahan dari seorang penasehat Akademis, adalah isteri saya tercinta. Maklum jaman dulu belum ada komputer sehingga semua harus di ketik ulang manakala ada perbaikan pada naskah yang ada. Sambil berpelukan haru, malam itu kita ancang-ancang untuk segera pulang ke tanah air. Semua jerih payah dan pengorbanan waktu, dan utamanya berpisah dengan empat anak-anak tercinta, keluarga dan handai taulan sahabat yang baik hati teringat kembali menghiasi malam yang sangat indah di Apartemen yang terasa sangat nikmat. Sebelum tidur larut malam itu, kami berdua memanjatkan Doa Syukur yang sangat khusuk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pemurah.


Haryono SuyonoComment