Harapan Pasien dan Layanan Rumah Sakit Kita
Oleh: Aam Bastaman
Berhubungan dengan rumah sakit tentu bukan hal yang baru bagi kami sekeluarga. Mulai urusan kontrol kandungan istri sampai melahirkan 2 orang anak (pernah pula istri saya keguguran, sehingga perlu dirawat di rumah sakit), cek kesehatan anak secara periodik, pengobatan anak saat mereka sakit, sampai mereka mandiri. Kemudian kunjungan ke dokter rumah sakit terus berlanjut saat kami berdua harus berobat. Sampai sekarang hubungan dengan rumah sakit masih berlanjut, selain karena kami melakukan medical check up kami juga memang harus kontrol kesehatan secara berkala.
Suka duka berhubungan dengan insan tenaga medis di rumah sakit kami alami. Pernah berhubungan dengan dokter di sebuah rumah sakit swasta di Tangerang yang arogan, gaya komunikasinya seperti preman, memeriksa sambil marah-marah. Ingin sembuh malah nambah sakit. Akhirnya terpaksa kami laporkan secara tertulis. Segelintir perawat yang judes pun sudah tidak aneh. Pernah pula mengalami mal praktek, saat operasi gusi oleh dokter gigi yang bukan spesialisnya. Ini pengalaman seperti mimpi buruk, menakutkan. Tapi itu kasus, banyak pula dokter dan perawat yang profesional, yang menentramkan, sehingga ketemu saja kami merasa lebih baik.
Baru-baru ini mendampingi istri kontrol kesehatan di sebuah rumah sakit Daerah, namun kemudian setelah antri lama dengan alasan perlengkapan yang belum memadai kami dirujuk ke rumah sakit besar milik Pemerintah yang menjadi rujukan nasional, di bilangan Jakarta Timur. Karena khawatir perlu pemeriksaan berkelanjutan dan memerlukan uji lab plus pemeriksaan radiologi, serta kemungkinan operasi kami memutuskan memakai BPJS.
Prosedur biasa yang kami ikuti, mengambil antrian nomor, registrasi kemudian menunggu panggilan dokter. Namun antrian untuk sampai diperiksa dokter membutuhkan waktu setengah hari. Istri saya baru selesai pemerikasaan jam 2.00, setelah antri mulai jam 7.30. Banyak pasien yang sakit harus sabar antri. Sebagian berkeluh kesah mengenai lamanya antrian. Untung sebagian perawat menunjukan layanan yang baik, mengabdi kepada peran mereka untuk memberikan pelayanan. Namun tidak jarang sebagian perawat (termasuk dokter) menunjukkan sikap cuek dan kurang perhatian, yang menambah derita banyak pasien. Banyak dokter umumnya melayani dengan profesional, namun ada juga segelintir yang mengeluh dan kurang memiliki empati - “waduh bisa lembur nih…” ungkap seorang dokter, sambil agak menggerutu melihat banyaknya antrian pasien. Bisa dimaklumi dokter juga manusia, punya rasa capai, namun kalau boleh menyarankan jangan mengeluh di depan pasien. Apalagi menunjukkan sikap ingin mengejar jadwal sore, untuk pasien kelas eksekutif dengan bayaran tinggi.
Tidak mudah juga bagi perawat dan dokter sehari-hari melayani orang-orang yang sakit, banyak dari mereka sungguh-sungguh melakukan pelayanan yang baik, mengabdi kepada kepentingan kesehatan masyarakat banyak. Hanya saja kontrol kualitas layanan ini juga perlu dicermati, karena layanan prima yang ditunjukkan belum merata oleh semua insan medis di rumah sakit. Segelintir Perawat atau dokter yang tidak memberikan empati bisa berbekas di hati pasien yang sedang sakit. Mungkin pelatihan mengenai kualitas pelayanan, termasuk komunikasi dan empati perlu digalakkan terus sebagai bagian dari standar pelayanan. Tentu saja dokter dan perawat yang betul-betul punya komitmen pelayanan prima harus diacungi jempol, ditengah rutinitas dan kesibukan mereka yang padat.
Melihat banyaknya antrian di rumah sakit milik pemerintah, yang umumnya pasien menggunakan fasilitas BPJS, tidak salah kalau pemerintah perlu memikirkan penambahan personil insan tenaga medis, disesuaikan dengan banyaknya pasien, sehingga rasio pasien:petugas medis menjadi lebih seimbang. Karena kasihan juga insan tenaga medis yang bekerja sungguh-sunguh dihadapkan pada banyaknya masyarakat yang perlu layanan kesehatan. Juga kasihan kepada orang-orang sakit yang mengantri lama.
Di rumah sakit swasta kelas atas, mungkin kondisi seperti yang saya tuliskan di atas tidak terjadi, tapi justru ini yang dikhawatirkan, bahwa layanan kesehatan bersifat ekslusif dan kurang merata, akhirnya kembali ke hukum kapitalis, siapa yang punya uang, berhak mendapat layanan lebih. Kembali terjadi ketimpangan sosial yang mengkhawatirkan.
Tapi ada hal lain yang perlu juga dipikirkan insan rumah sakit, yaitu banyaknya warga kita, tidak hanya kelompok kaya, tapi juga masyarakat kelas menengah sudah menoleh pada layanan rumah sakit negara tetangga, antara lain di Malaysia dan Singapura. Banyak yang menyampaikan alasan tertarik berobat ke negeri jiran karena layanan yang lebih baik, bukan semata-mata fasilitas. Banyak para petinggi kita sering memberi contoh yang saya rasa kurang tepat sebenarnya, berobat ke negeri tetangga, padahal rumah sakit dan dokter kita tidak kalah qualified. Tapi barangkali itu, rumah sakit kita perlu bercermin untuk perbaikan kualitas layanan - selain profesioanl dan kompeten, perlu kemampuan komunikasi, empati dan komitmen. Sehingga berobat beul-betul dengan ijin yang maha kuasa bisa menyembuhkan, bukan menambah sakit, atau sakit hati. Seperti pengalaman banyak pasien di Tanah Air.
Soal pengobatan di Tanah Air, mungkin kita perlu berkaca pada almarhum pak Harto, yang lebih mempercayai rumah sakit dan insan medis Tanah Air, tidak berobat ke luar negeri. Sehingga di era komptetisi yang ketat ini rumah sakit kita perlu didorong untuk meningkatkan kualitas layanannya. Kalau tidak maka devisa kita banyak yang “lari” ke luar negeri.
Negara tetangga kita banyak yang menawarkan program piknik kesehatan, berobat sambil wisata dengan layanan hospitality yang mereka janjikan sebagai pengalaman yang menyenangkan. Sesuai dengan namanya, rumah sakit (hospital) berasal dari kata hospitality - keramahan. Sakit saja bisa dikemas menjadi pariwistata, itulah hebatnya mereka. Kita jangan kalah tentunya.
Aam Bastaman, Penulis kolom.