BUMDes Tawangsari, Oase di Tengah Kerontang

Tawang.png

Tim Kementerian Desa PDTT melaporkan bahwa Badan usaha milik desa tidak hanya berorientasi ekonomi. BUMDes Tawangsari di Desa Ketawang, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, menimbulkan kebanggaan dan menghidupkan desa dengan karyanya. Kini, kondisi tersebut mulai berubah. Orang dari luar daerah berdatangan untuk belajar dari Desa Ketawang, yakni membuat badan usaha milik desa (BUMDes).

”Kondisi serba terbatas di Desa Ketawang membuat kepala desa saat itu berpikir untuk membangun BUMDes yang bermanfaat bagi masyarakat desa. Tahun 2016, BUMDes Tawangsari diuji coba dengan usaha pengelolaan air,” kata Direktur BUMDes Tawangsari, Kharisma Kevin Iskandar (24). Semula, BUMDes Tawangsari membuat unit usaha pengelolaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan air warga. Dengan modal Rp 120 juta dari dana desa, dilakukan pengeboran untuk mencari air dan pembangunan tandon air.

”Sumur dengan kedalaman 65 meter itu menghasilkan air yang bisa digunakan untuk seluruh desa,” ujar Kevin yang juga staf Pemerintahan Desa Ketawang.

Saat ini ada 200 pelanggan air BUMDes Tawangsari. Tarif air BUMDes Tawangsari Rp 2.000 per meter kubik. Tarif itu lebih murah dibandingkan tarif air PDAM yang hampir dua kali lipat. Tak sampai satu tahun (Maret-Desember 2016), unit usaha pengelolaan air bersih mampu menghasilkan omzet Rp 45 juta. Unit itu dikelola oleh lima karyawan dengan model penggajian persentase.

”Jika kinerja unit usaha tersebut bagus, gaji karyawan juga bagus. Sebaliknya, jika kinerja dan pendapatan biasa, gaji juga biasa saja. Ini memacu karyawan untuk bekerja keras agar unit usaha mendapat hasil bagus,” ucapnya.

Swalayan desa

Seiring waktu, BUMDes pun berkembang. Idenya membuat toko eceran. Namun, dari hasil survei lapangan diketahui, di desa itu ada 114 kios kecil. ”Tak ingin bersaing dengan warga, kami bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Malang dan diarahkan membuat toko swalayan grosir,” tutur Kevin. Pembangunan toko selesai September 2017 dengan biaya Rp 213 juta dari dana desa. Sebulan kemudian, kepengurusan unit usaha terbentuk. Tantangannya, kata Kevin, adalah cara mendapat barang untuk mengisi toko. DPMD menyarankan untuk bekerja sama dengan pihak ketiga. Unit usaha tersebut pun berutang barang pengisi toko dan biaya konsultasi sistem pengelolaan dengan jumlah total Rp 318 juta ke pihak ketiga.

Februari 2018, kerja sama dengan pihak ketiga ditandatangani. Maret 2018, unit usaha swalayan BUMDes diluncurkan. Menurut Kevin, ini unit usaha BUMDes berbentuk swalayan yang pertama di Kabupaten Malang. Hari pertama peluncuran, swalayan desa meraup pendapatan Rp 10 juta. Selanjutnya, omzet toko swalayan desa itu Rp 16 juta per hari. Unit ini dikelola enam orang. Toko buka pukul 07.00-22.00. ”Jika musim kunjungan wali santri, omzet kami bisa Rp 18 juta sehari. Di dekat toko ada pondok pesantren yang santrinya dari daerah-daerah di Indonesia,” kata Kevin.

Rata-rata omzet swalayan desa per bulan Rp 100 juta-Rp 150 juta. Utang ke pihak ketiga terbayar dalam waktu enam bulan. Harga barang di swalayan desa dibagi dalam empat kategori. Orang umum membeli dengan harga toko. Adapun harga kulakan warga bervariasi, mulai kategori 1 sampai 3, tergantung jumlah pembelian.

”Dalam setahun, swalayan desa ini mendapat untung dan menyumbang pendapatan asli desa (PADes). Pendapatan ini disalurkan untuk masjid dan mushala. Keberadaan toko memiliki nilai sosial,” ujarnya.

Pada tahun 2018, nilai PADes swalayan desa Rp 15 juta, sementara pada 2019, nilai PADes ditargetkan jadi Rp 20 juta. ”Kami membangun swalayan desa dari nol. Saya datangi rumah-rumah warga untuk sosialisasi dan mengenalkan toko. Saya menjelaskan, keberadaan swalayan desa tidak akan mematikan toko-toko kecil, tapi justru menjadi partner,” kata Basori, manajer swalayan desa Tawang Gross.

Basori, mantan pekerja pabrik tripleks, kini mengurus operasional toko. ”Dulu toko ini didemo. Banyak orang khawatir dengan keberadaannya. Kini mereka merasa memiliki toko ini,” katanya. Pelanggan swalayan desa bukan hanya warga setempat, melainkan juga warga desa sekitar.

Kelola sampah

Kini, BUMDes Tawangsari juga memiliki dua unit usaha lain, yaitu pengelolaan sampah dan simpan pinjam. Unit usaha pengelolaan sampah merupakan salah satu cara mendorong warga untuk menampung sampah domestik ke kantong plastik. Kemudian, pengelola unit usaha sampah akan mengambil dan membuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Talangagung, Kepanjen. Tarif untuk membuang sampah Rp 10.000 per keluarga per bulan.

Kevin menyatakan, tujuan usaha ini adalah mencegah orang membuang sampah ke sungai. Karena bersifat sosial, unit usaha ini tidak digenjot dari sisi pendapatan.

Saat ini, unit pengelolaan sampah melayani 350 keluarga di Desa Ketawang. Usaha tersebut juga melayani beberapa pondok pesantren. Unit usaha ini dirintis tahun 2016. Saat itu pemerintah desa mengalokasikan Rp 80 juta dari dana desa untuk membeli sebuah truk sampah.

Keberadaan BUMDes Tawangsari dengan empat unit usaha memiliki beberapa manfaat bagi masyarakat setempat. Empat manfaat itu adalah mereka tidak perlu kulakan jauh-jauh, warga bisa memberikan sumbangan pada masjid dan mushala melalui PADes, warga tidak lagi kesulitan mendapatkan air bersih, serta lingkungan desa terjaga karena warga tidak lagi membuang sampah di sungai. Karena manfaat itu, tahun 2018, BUMDes Tawangsari meraih juara ketiga BUMDes terbaik kategori penggerak ekonomi masyarakat di Kabupaten Malang. Tahun 2019, Tawangsari menjadi juara ketiga BUMDes terbaik se-Provinsi Jawa Timur.

 

Haryono SuyonoComment