Kisah "Lampu Antik IGGI" dari Amsterdam
Lampu antik yang bernuansa tradisional yang terlihat di gambar ini adalah lampu buatan luar negeri, tidak di beli di Jalan Surabaya tempat barang-barang antik dijajakan karena tidak dibutuhkan lagi oleh pemiliknya, tetapi di beli dan dibawa langsung dari toko modern di luar negeri, pastinya dari Negeri Belanda yang memang menjual perabotan, alat-alat listrik segala macam di Amsterdam. Mula-mula kami tertarik pada lampu ini dalam perjalanan dengan naik mobil Mercy, sebagai anggota Delegasi Pemerintah RI menghadiri acara Pertemuan IGGI di Amsterdam, yang dipimpin oleh Menko Perekonomian Kepala Bappenas Bapak Prof. Dr. Wijoyo Nitisastro, ymg sangat berpengaruh pada jaman Presiden RI Bapak HM Soeharto. Anggota Delegasi IGGI lainnya adalah pejabat sangat senior seperti Gubernur Bank Indonesia Bapak Rahmat Saleh, yang banyak senyum tetapi sangat berwibawa, Menteri Koperasi Bustanil Arifin yang suka traktir Restoran mewah dan para Menteri Ekonomi lain serta pejabat senior dari Bappenas, Bank Indonesia dan jajaran Departemen Luar Negeri. Kami sendiri di minta oleh Pak Wijoyo secara khusus untuk “dipamerkan” sebagai “hasil pinjaman Bank Dunia” yang dianggap meluas kepada pendekatan kemasyarakatan yang berhasil.
Rombongan Delegasi RI di mata Kedutaan RI dianggap sangat terhormat karena setiap anggota Delegasi mendapat mobil Mercy pribadi yang setiap kali siap mengantar ke tempat Sidang dan selalu ada pada waktu Sidang usai setiap sorenya mengantar anggota kembali ke hotel atau memenuhi keperluan pribadi masing-masing anggota Delegasi. Karena itu agak kikuk, sebagai Deputy Operasional BKKBN yang anggota Delegasi, kami mendapat mobil pribadi seorang diri diantar bersama anggota lain ke tempat Sidang. Sialnya di sekitar Gedung tempat Sidang IGGI ada segerombol Demo anti Sidang IGGI mondar mandir membawa poster. Sebagai “orang baru” dalam Delegasi IGGI, kami merasa takut dan segera turun mobil langsung mendekat kepada Para Delegasi lainnya. Anggota Delegasi lain santai-santai saja dan tidak ada yang merasa takut sama sekali. Setiba dalam Gedung, Bapak Bustanil Arifin berkomentar, “jangan takut, mereka hanya dibayar untuk mondar mandir”, tidak lebih dari itu.
Pada Sidang hari Pertama setelah basa basi pembukaan, seperti telah diberikan briefing sebelumnya, kami ditugasi “bercerita panjang lebar”, kalau mungkin seluruh waktu sesi pagi bisa digunakan, tentang keberhasilan awal program KB, termasuk perluasan pendekatan masyarakat yang pada tahun 1980-an sedang marak di banyak desa dan kebutuhan banyak bantuan luar negeri, utamanya pinjaman Bank Dunia. Barulah kami sadar kenapa kami yang ditugasi ikut dalam “rombongan Delegasi” yang terhormat, bukan Kepala BKKBN, karena mereka perlu diyakinkan oleh “pelaku langsung” yang bisa mengulku-ulur cerita agar waktu sidang “habis mendengarkan cerita” dan tidak utak atik alasan kena apa Indonesia masih perlu utang karena memiliki dana melimpah dari sumber lain.
Cerita pagi dilanjutkan siang setelah makan siang untuk membahas kebutuhan program KB untuk lima tahun mendatang. Dengan persetujuan Ketua Delegasi Bapak Wijoyo Nitisastro kami usulkan untuk dibantu guna pendirian Pabrik Pil dan Pabrik Kondom. Untuk Pabrik Pil pada siang itu tidak ada komentar dari para peserta Sidang yang adalah negara-negara Donor. Tetapi untuk Pabrik Kondom ada komentar langsung dari Delegasi Jepang yang membuat suasana Pertemuan siang hari itu menjadi ramai, lucu dan penuh gelak ketawa karena para anggota Delegasi minta di demokan bagaimana Program KB di Indonesia menjelaskan kepada rakyat di desa cara penggunaan kondom yang segera menimbulkan gelak ketawa dan membuat suasana menjadi sangat meriah. Bapak Gubernur BI Rahmad Saleh menggamit dan berkata, “keep joking and take your time”, beliau senang dan minta kami mengulur waktu dengan menambah “joke” agar waktu sidang siang habis tanpa pembahasan substansi lain yang dianggap sensitif.
Selesai Sidang siang itu kami mendapat “ucapan selamat” karena bisa menggunakan waktu dengan baik dan ‘suasana meriah” karena banyak joke KB yang asalnya dari desa masuk menghiasi suasana Sidang IGGI yang dihadiri oleh para pemimpin keuangan Bank Dunia dan Diplomat penting utusan negara-negara IGGI yang kami yakin “tidak atau jarang” bertemu rakyat banyak di desa. Segera Sidang di tutup dalam perjalanan pulang kami tidak naik mobil yang disediakan secara pribadi, tetapi diajak pak Bustanil Arifin karena paginya merasa takut Demo bayaran yang muncul lagi pada waktu Delegasi kembali ke Hotel.
Sesampai di kamar telpon berdering, ternyata dari Bapak Wijoyo yang mengucapkan terima kasih atas paparan kami yang mengena karena berhasil meyakinkan Delegasi Jepang yang siap membiayai Pabrik Kondom dan utamanya suasana Sidang IGGI yang sangat beda dengan sidang-sidang di masa lalu. Ada embel-embel tambahannya bahwa kamar hotel tidak perlu dibayar karena ditanggung Panitia. Alhamdulilillah, kalau begitu “uang untuk hotel” bebas untuk keperluan lain. Karena itu pagi-pagi sebelum sorenya kembali ke Jakarta, kami langsung menuju Toko Lampu yang kami lihat dalam perjalanan menuju Tempat Sidang. Dan ternyata “uang hotel” cukup untuk membeli “lampu tradisional” yang kami incar sebagai “lampu kenangan IGGI” yang sejak sampai di Jakarta selalu kami bawa ke mana saja kami pindah dari satu rumah dinas ke rumah dinas lainnya sampai sekarang. Suatu kenangan yang indah dalam perjuangan untuk membantu peningkatan kesejahteraan keluarga Indonesia.