Persahabatan erat antar Negara Asia
Di masa lalu, seperti juga pada masa kini, persahabatan antar negara Asean atau negara-negara di wilayah Asia Tenggara sungguh sangat erat, khususnya dalam Program Kependudukan dan KB. Dua negara besar dalam jumlah penduduknya, Indonesia dan Republik Rakyat Cina (RRT) dimasa lalu sungguh seperti dua negara yang selalu menjadi “bulan bulanan” dalam berbagai Konperensi Dunia. Akibatnya, kedua Negara menjadi sangat akrab karena selalu menghadapi “serangan” atau “anjuran dunia” untuk “sungguh-sungguh menangani masalah penduduknya”. Karena sering mendapat “tekanan” dalam berbagai Konperensi Dunia, maka kedua negara makin akrab dan bersahabat, ”saling berkunjung, atau saling bertukar tenaga ahli, bertukar tenaga lapangan dan saling bertukar strategi lapangan yang kiranya menguntungkan dalam menolong rakyat kedua negara menikmati pelayanan yang terbaik dalam program KB dan Kependudukan.
Biarpun Cina menganut program satu anak dan Indonesia lebih bebas dengan anjuran dua anak, tetapi kita tidak pernah berdebat tentang kebijakan. Kita mencari cara terbaik bagaimana kebijakan setiap negara bisa diterima rakyat banyak dengan tenang, tidak menimbulkan gejolak dan menjadi suatu budaya baru yang dinikmati masyarakat luas.
Persahabatan antar Menteri dan para pejabat tingkat lapangan begitu akrab sehingga masing-masing bisa mendalami dan merasakan suka duka bagaimana menurunkan tingkat kelahiran dan berusaha keras agar setiap anak yang dilahirkan bisa menjadi sumber daya manusia yang bermutu dan siap membangun tanah air dan keluarganya. Pada tahun 1994, setelah berkenalan dengan baik selama Konperensi Kependudukan Dunia di Cairo, dimana Menteri Kependudukan/Kepala BKKBN seakan menjadi salah satu “bintang lapangan” karena keberhasilan program KB yang luar biasa, kita diundang ke Beijing untuk meninjau persiapan Konperensi Dunia Wanita di Kota dekat dengan Beijing. Pada saat kunjungan itu, satu tahun sebelum Konperensi dilaksanakan, “hanya ada” satu komplek dengan beberapa gedung dengan kamar sederhana untuk pertemuan terbatas, kalau di Jakarta tempat itu adalah Kota Bogor, yang bakal menjadi tempat Konperensi Dunia yang sangat besar. Jalan dari Kota Beijing ke Kota itu seperti jalan dari Jakarta ke Bogor sebelum ada jalan tol. Pihak PBB dan Negara besar ragu-ragu bahwa jalan dari Beijing ke kota itu bisa dan sanggup menampung tamu yang bakal datang.
Rupanya undangan ke Beijing itu karena kebetulan Menteri KB Beijing yang mempersiapkan Konperensi, akan menerima tamu dari Sekretariat PBB meninjau persipan Beijing. Kami diundang guna memberikan dukungan moril bahwa Cina bisa biarpun belum kelihatan “Gedung Besar” untuk menampung peserta Konperensi, jalan dari Beijing sempit dan padat, serta fasilitas lainnya sama sekali belum kelihatan. Dalam pertemuan dengan Tim PBB dan wakil negara Barat, kami diikut sertakan dan diminta pendapat apakah tempat Konperensi perlu dipindah ke negara lain karena persiapan belum kelihatan, tidak sesuai harapan dan perhitungan Tim PBB.
Kami dari Jakarta datang lebih dulu, sudah bicara panjang lebar dengan Menteri dan staf tentang rencana Gedung Pertemuan dan ruang sidang untuk Kelompok kecil yang akan diskusi. Di jelaskan bahwa lapangan yang luasnya dua kali lapangan bola akan ditutup dengan layar menjadi ruang Sidang di bawah tenda raksasa yang megah dan akan segera siap pasang jauh hari sebelum Sidang Dunia itu dimulai. Jalan antara Beijing dan Kota tempat acara akan ditutup untuk umum sehingga peserta yang menginap di Beijing dalam waktu kurang dari tiga puluh menit akan sampai di ruang sidang. Sebagai orang Indonesia pada waktu itu saya langsung percaya, karena kita biasa menutup jalan dan biarpun di masa lalu belum ada jalan Tol, bisa sampai Bogor dalam waktu singkat. Saya juga percaya akan adanya atap layar lebar karena kemampuan Cina sudah terbukti dengan dalam berbagai proyek yang serba raksasa. Mereka sangat senang atas kepercayaan itu, langsung dalam diskusi dengan Tim PBB saya “diangkat” menjadi konsultan, ikut nimbrung memberi komentar “keyakinan bahwa Cina bisa”.
Setalah perundingan dan peninjauan lapangan, Delegasi Cina diundang langsung ke Kantor PBB New York untuk mempertahankan posisi agar Konperensi Wanita Dunia tidak dipindah karena Cina telah mempersiapkan segalanya dengan cermat dan tuntas. Dengan ijin pak Harto saya, sebagai mantan Ketua Delegasi Konperensi Kependudukan Dunia yang terhormat di Cairo pada tahun 1994, ikut sebagai Delegasi Cina untuk menjadi saksi dan menjamin bahwa Cina bisa menyelenggarakan Konperensi Dunia Wanita tersebut dengan baik. Suatu kehormatan biarpun tidak bisa bicara langsung dengan Menteri Cina yang sangat berwibawa, Peng Pei Yun, kecuali dengan “Bahasa Tarsan” tetapi selalu didampingi pendamping yang mahir bahasa Indonesia.
Diskusi di New York berjalan lancar, saya gambarkan bahwa Indonesia, dibawah Pimpinan Pak Harto, bisa menulap jalan macet menjadi lancar, bisa juga bahwa sehari sebelum ada Gedung Konperensi, hari berikutnya lapangan bola bisa disulap menjadi Gedung Konperensi yang mewah. Kalau Indonesia bisa, Cina pada waktu itu pasti bisa. Keterangan itu dianggap meyakinkan dan akhirnya rencana Konperensi Dunia Wanita di Beijing tidak dipindah ke Kota atau Negara lain, suatu sumbangan diplomasi untuk sahabat yang sangat membanggakan. Persahabatan kami makin akrab dengan para petinggi program KB dan Pemberdayaan Perempuan dari Cina.
Pada saat Konperensi Dunia berlangsung, kami dengan antara lain Deputy Umum BKKBN/Sekretaris Menteri Kependudukan Dr. Loet Affandi, yang kini terkena stroke, di undang khusus ke Beijing. Dalam kesibukan sebagai “Tuan Rumah” dan “Pimpinan Konperensi Dunia” Menteri Peng Pei Yun bersama pejabat seniornya mengundang makan siang bersama di Restoran mewah Di Beijing. Ketua Delegasi Indonesia, Almarhumah Ibu Mien Sugandhi dan rombongan Delegasi dari Indonesia diundang dalam “gala dinner” bersama 17.000 peserta dari sekitar 189 negara di dunia. Undangan khusus bagi kami itu merupakan suatu kehormatan yang luar biasa karena ada alasan khusus yang tidak banyak diketahui publik. Suatu persahabatan yang sampai hari ini selalu di kenang pejabat yang dulu muda dan kini sangat senior, yang pada saat itu bertindak sebagai pengantar berkeliling Beijing dan sekitar sebagai rasa hormat atas “pertolongan kecil” yang diberikan oleh Indonesia.
Konferensi di Beijing itu dihadiri oleh perwakilan dari 189 pemerintah, badan-badan PBB, organisasi antar pemerintah seperti Uni Eropa dan Liga Arab, serta aktivis dan organisasi dari seluruh dunia. Ada 17.000 peserta, dengan 30.000 aktivis lainnya menghadiri Forum paralel.