Setelah Pendidikan Tinggi Pulang ke Rumah Besar Kemendikbud

Di era Presiden Jokowi jilid dua, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) dipulangkan ke rumah besanya yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dibawah komando Nadiem Makarim, sang menteri milenial (usianya baru 35 tahun), yang juga seorang praktisi bisnis.

Pendidikan Tinggi sebelum era Pemerintahan Jokowi memang berada di rumah besar Kementerian Pendidikan Nasional, namun di era Jokowi jilid satu, dipisah dari Kementerian Pendidikan Nasional, menjadi Kementerian tersenidiri dengan menggabungkan Riset dan Teknologi, menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Penggabungan di era presiden Jokowi pertama tersebut disambut positif oleh kalangan pendidikan tinggi, dengan alasan antara lain, kementerian ini bisa lebih fokus dalam pengembangan riset dan aplikasi hasil riset. Sehingga peluang kerjasama dengan Dunia usaha dan Dunia industri (DUDI) terbuka lebar. Dengan dipisah dan menjadikan kementerian tersendiri Pendidikan Tinggi bisa lebih fokus dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga keputusan pendidikan tinggi harus dipisah dari pendidikan dasar dan menengah menjadi sebuah keniscayaan.

Di lain pihak, Pendidikan Dasar dan Menengah bisa lebih fokus pada pendidikan karakter, sebagai dasar pembangunan manusia Indonesia, melalui pembangunan budi pekerti, dan pengembangan kecakapan dasar, sebagai bekal untuk menapaki pendidikan lanjut, antara lain ke ke perguruan tinggi. Didapat pandangan waktu itu bahwa pendidikan dasar dan menengah memiliki fokus yang berbeda dengan pendidikan tinggi. Oleh karena itu pemisahan Pendidikan Tinggi (Dikti) dengan pendidikan dasar dan menengah disambut gembira banyak pihak, termasuk DUDI dan kalangan akademisi sendiri.

Di Era presiden Jokowi jilid kedua, keputusan penyatuan kembali nampaknya tidak banyak penolakan, atau komentar miring, meski dulu upaya pemisahan dilakukan dengan semangat menggebu-gebu. Kini bukan hanya digabungkan kembali ke rumah besar Kemendikbud, plus kemudian presiden Jokowi mengangkat Nadiem Makarim yang tidak memiliki latar belakang praktisi pendidikan sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang sekaligus membawahi eks Kementerian Ristek dan Dikti yang dulu sempat dipisahkan.

Para akademisi di pendidikan tinggi terkesan pasrah dan menerima saja, hanya banyak keinginptahuan yang mendalam bagaimana kelanjutkan dari penggabungan ini dari perspektif kebijakan, kinerja serta hasil. Tentu semua berharap dunia pendidikan tinggi harus lebih maju dalam sistem satu atap dengan pendidikan dasar dan menengah ini.

Apakah pada era Kemenristek dan Dikti pencapaian hasilnya tidak sesuai dengan harapan presiden? Nampaknya iya. Meskipun ada banyak kemajuan di beberapa sektor, seperti meningkatnya pubikasi karya ilmiah para dosen kita di tingkat ASEAN, namun rupanya itu saja tidak memuaskan harapan presiden.

Ada dugaan, presiden tidak terlalu suka dengan konsep-konsep yang terlalu teoritis, dan sulit diimplementasikan. Banyak karya penelitian dilingkungan Dikti, tidak terimplementasikan, apalagi bisa bekerja sama secara erat dengan DUDI. Adaptasi perguruan tinggi dengan lingkungan yang berubah, seperti kemajuan teknoologi digital, sering dinilai lambat, termasuk dalam penyesuaian program studi yang sesuai dengan kebutuhan kekinian. Masih lambatnya proses-proses yang ada di perguruan tinggi juga nampaknya kurang memuaskan presiden.

Secara informal, saat ada kesempatan diskusi dengan beberapa kolega guru besar, terkesan presiden ingin hasil nyata, tidak terlalu banyak wacana dan pembicaraan yang berbelit-belit. Konon, pembicaraan yang berbelit-belit dan memakan waktu lama adalah gaya diskusi para akademisi, sehingga dianggap minim implementasi atau penerapan. Ini barangkali yang tidak sesuai dengan misi presiden : Kerja, kerja, kerja…

Tidak heran kemudian presiden lebih mementingkan kebijakan program vokasi yang bisa berdampak langsung dengan pembentukan kompetensi yang sesuai dengan bidang pekerjaan yang membutuhkan. Tapi vokasi juga masih menjadi masalah, karena juga pengembangannya tidak sesuai dengan harapan. Seperti banyak lulusan SMK yang tidak terserap dunia kerja menjadi kegundahan presiden tersendiri. belum lagi pendidikan vokasi masih belum kuat konsep “link and match”-nya dengan dunia industri, disamping masih minimnya keterlibatan industri dalam pendidikan vokasi, plus keterbatasan pelatih dan pengajar yang memiliki pengalaman kuat di industri.

Apapun, nampaknya keputusan presiden ini harus menjadi cambuk bagi insan akademisi, sehingga bisa lebih produktif, dan kompetitif. “There are always rooms for improvement”, selalu dibilang dalam pelajaran manajemen. Tidak ada kata puas, bekerja untuk selalu lebih baik. Filosofi semangat perubahan di pendidikan tinggi dalam pembelajaran sangat banyak, dan menggunung, tapi seperti harapan presiden - bagaimana implementasinya? Karena kalau hanya didiskusikan dan diperdebatkan, tapi hanya dengan sedikit implementasi, maka tidak sesuai dengan misi: Kerja, kerja, kerja.

Semoga ini bukan berarti atau tidak ditafsirkan pemerintahan Jokowi kurang mendukung pengembangan teori dan ilmu pengetahuan secara umum.

(Aam Bastaman, praktisi Pendidikan Tinggi)

Photo: Istimewa

Pendidikan tinggi.jpg
Aam BastamanComment