Refleksi: ‘Life is not Flat’
Saya membaca tulisan Life is not Flat tertera dalam sebuah T Shirt yang dikenakan oleh seorang anak muda di Commuter Line arah Tangerang. Hidup tidak membentang datar, tapi juga tidak linear. Benar juga, selalu ada dinamika yang membuat hidup seperti naik turun, layaknya gelombang.
Ada cerita trenyuh yang barangkali bisa diambil hikmahnya untuk pembelajaran bersama. Cerita seorang teman, yang saya kenal baik. Seorang ibu, yang hidupnya relatif mulus, mapan secara ekonomi, suami pejabat tinggi disuatu lembaga keuangan di Republik ini. Semua anggota keluarga berpendidikan tinggi. Pernah tinggal lama di AS. Punya anak-anak yang pinter-pinter dan baik-baik, semua berprestasi. Ganteng- ganteng dan cantik. Yang sulung lelaki lulusan FK UI, sekolah idaman para calon dokter; yang kedua lulusan FEB UI (pernah mengikuti program exchange student di AS), juga impian banyak orang di negeri ini, dan yang bungsu fresh graduate lulusan ITB, yang juga kampus impian banyak orang. Keluarga yang bahagia, dengan dilimpahi rejeki yang cukup, kehidupan yang mapan di ibu kota, liburanpun serba luar negeri, anggaran tersedia memadai. Suatu kehidupan seperti impian para kaum urban di ibukota ini.
Namun seperti tulisan tadi, life is not flat, kalau boleh saya tambahkan, not even linear. Baru-baru ini saya mendapat kabar anaknya yang ketiga lelaki lulusan baru ITB ditangkap polisi Belanda, karena melakukan kekerasan dan penyerangan terhadap polisi (Belakangan saya ketahui bukan di Belanda tapi di Spanyol). Kabar yang kami anggap aneh, bagaimana mungkin menyerang polisi di negeri orang? Sekeluarga memang mereka berkunjung ke Belanda, untuk suatu urusan keluarga, kemudian liburan di Spanyol, sampai mengalami peristiwa yang tidak diharapkan ini. Ibunya (lewat teman saya yang lain di kantor) mengatakan anaknya kemasukan jin, karena sorot mata dan suaranya lain, bukan suara anaknya. Ia menjadi beringas. Jadi menyerang polisi pasti kena pengaruh jin. Itu yang diyakini ibunya.
Polisi Spanyol akhirnya mengirim anaknya untuk dilakukan pemeriksaan di rumah sakit setempat. Kalau terbukti sehat maka ancaman hukumannya tidak main-main, kecuali kalau dia sakit. Namuns sakit apa?
Dua hari kemudian baru mendapat kabar (melalui teman saya lagi) satu kantor. Ia terkena radang yang menyerang otak, akibat virus, namanya encephalitis, tergolong penyakit langka, virus tersebut menyebabkan gangguan sistem kekebalan tubuh (autoimun). Jadi dugaan sang ibu kemasukan jin tidak tepat.
Penyakit ini menjadikan sang anak untuk harus mendapatkan perawatan ekstra, karena sering bertindak di luar kesadarannya, kadang agresif dan bisa berulah. Di RS pun sampai harus diobsersvasi penuh. Sang ibu mengatakan akan tinggal menemani anaknya di Spanyol sampai sembuh, bersama suaminya, sambil berharap bisa dipindahkan ke rumah sakit di Belanda. Namun pihak RS Spanyol tidak mengijinkan, karena harus melalui keputusan pengadilan (status anaknya ditangkap dan menjadi tahanan polisi karena melakukan kekerasan dan penyerangan terhadap polisi).
Sang ibu tentunya tidak akan mengira kejadian ini menimpa anak kesayangannya. Setelah sekian lama hidup dalam kedamaian dan serba mulus. Sebelumnya tidak pernah ada masalah dengan anaknya ini. Semua baik-baik saja. Kini sebuah cobaan datang. Di negeri orang nun jauh di sana, Spanyol. Di RS itu anaknya diinfus, makan melalui hidung, diobservasi. Namun belakangan dikabarkan perlahan mulai terkendali. Mereka akhirnya memutuskan tinggal sementara di Eropa, menyewa apartemen dan fokus mendampingi putranya untuk proses kesembuhan. Penyakit ini memerlukan perawatan ekstra yang cukup lama.
Kembali, life is not flat, saya tahu sang ibu akan menjalani semua ini dan mendapatkan kekuatan untuk menjalaninya. Cobaan yang belum dialami sebelumnya, namun Tuhan berkehendak lain, harus ada cobaan untuk menguatkan, harus ada cobaan untuk mendapatkan hikmah dari perjalanan kehidupan. Tidak ada manusia yang tidak diberi cobaan. Namun life must go on. Semua harus dihadapi dengan kesabaran.
Sang ibu pastinya memiliki kekuatan dan bisa menjalani semua ini, nampaknya juga memiliki kesadaran bahwa life is not flat.
Aam Bastaman (Universitas Trilogi). Penulis buku serial Traveler Tic Talk.