Refleksi: Kebahagiaan dan 'Mindfulness'
Dalam perjalanan di pesawat Cathay Pacific sepulang dari Hong kong (sebelum demonstrasi besar-besaan baru-baru ini), saya duduk bersebelahan dengan seorang wanita muda berumur masih di bawah 30-an, berwajah campuran Asia Eropa. Rupanya wanita ini beribu China (Hong Kong) berayah Eropa Timur, kini tinggal di Hong Kong. Ia bercerita mau ke Bogor ikut suatu program retret yang informasinya ia terima dari seorang kawannya di jakarta. Semata-mata ia ingin menyehatkan pikiran dan jiwanya.
Ia bercerita risau dengan dunia materialistik yang menghinggapi masyarakat Hong Kong, semua hal diukur dengan materi (uang), ia merasa tidak nyaman hidup dalam kungkungan dunia materi. Hidup di Hong Kong seperti terjebak dalam kompetisi perolehan materi. Semua orang sibuk, terburu-buru, sampai lupa waktu, lupa terhadap manusia lain, bahkan terhadap kesadaran dirinya sendiri. Ia merasa sampai ke tahap merasa muak dengan tuntutan dunia materialistik.
Makanya ia memilih berkarir sebagai penulis lepas, yang memberikan kebebasan waktu dan kemerdekaan berpikir, meskipun tidak menghasilkan uang yang banyak. Ia lebih menghargai nilai-nilai non-materialistik, kebebasan waktu, pertemanan, menikmat hidup secara alami, tidak dburu-buru waktu dan masih menikmati hubungan sesama secara langsung dengan tulus, tanpa motif timbal balik ekonomi.
Ia ke Bogor untuk menjalankan program retret dari suatu yayasan spritual. Hidup terisolasi selama dua minggu tanpa bicara, tanpa melihat televisi ataupun handphone, hidup bersama alam, menahan diri dari syahwat duniawi, bahkan berbicara sekalipun, kecuali berbicara dengan diri sendiri. Ia bilang untuk mencapai taraf penemuan diri. Sementara memisahkan diri dari dunia materialistik. Ia berharap juga, dengan retret ini bisa mendapatkan mindfulness (kesadaran diri secara utuh) dalam rangka penemuan diri sendiri, untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Pertemuan ini mengingatkan saya saat membaca tulisan tentang kebahagiaan dan mindfulness di harian Kompas hari ini (26/08/2019), mengenai negara Bhutan, kerajaan kecil yang teretak di pegunungan Himalaya, yang mencoba menyeimbangkan kehidupan materi dengan kehidupan spiritual. Ukuran kesejahteraan tidak lagi dihitung dengan ukuran Gross National Product (GNP) tapi degan Gross National Happiness (GNH). Nilai-nilai materialistik diimbangi dengan nilai-nilai batiniah non-materilistik. Kebahagiaan menjadi fokus, bukan hanya perolehan akumulasi materi ataupun kemajuan pembangunan.
Pendekatan kebahagiaan ini diajukan oleh raja Bhutan keempat, Jigme Singye Wangchuck (1972-2006). Rupnya raja Bhutan ini punya visi jauh ke depan, bukan hanya pembangunan materi, yang tentu akan kalah dengan negara-negara lain yang lebih maju, namun Bhutan membangun aspek kehidupan spiritualitas untuk menjaga keseimbangan hidup. Oleh karena itu pembagunan materi bukan hal yang utama, namun lebih ditekankan kepada pembangunan yang sustainable dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem. Ringkasnya, sang Raja menerapkan pendekatan pebangunan yang berkelanjutan dan holistik, mengharmoniskan aspek material dan non-material, untuk tujuan kebahagiaan rakyatnya.
Jangan salah pula, hidup mencapai kebahagiaan di Bhutan ini bukan berarti hidup lepas dari masalah. Masalah akan selalu ada sepanjuang kita masih bernafas. Namun bukan masalah itu sendiri yang menjadi “masalah”, namun seringkali karena sikap dan cara pandang kita terhadap masalah itu. Adanya kesadaran bahwa akan ada masalah, seperti halnya perputaran hidup yang penuh dinamika, dengan upaya pemecahan masalah yang penuh kesadaran, diyakini tidak akan menghalangi perjalanan kebahagiaan.
Gagasan luar biasa raja Bhutan yang visioner (dari sebuah Negara kecil, yang bahkan banyak orang tidak mengenalnya), serta pertemuan saya dengan wanita muda (yang sedang mencari jati dirinya) asal Hong Kong tersebut, menjadi bukti semakin tingginya kebutuhan keseimbangan materi dan non-materi, dalam dunia yang dirasakan terlalu berat orientasi pada materi, tanpa mengindahkan keberlanjutan ekosistem, serta berdampak pada hubungan antar sesama manusia yang dipisahkan oleh adanya strata sosial, akibat penguasaan sumber ekonomi yang jomplang.
*Aam Bastaman (Universitas Trilogi). Senior Editor Gemari.id