Dosen Merdeka
Ulang tahun RI ke 74. Kita menjadi bangsa yang merdeka. Merdeka! Pekikan yang akrab di telinga kita setiap tanggal 17 Agustus. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, demikian kita meyakini. Proklamasi kemerdekaan hakekatnya adalah deklarasi menjadi manusia merdeka. Dosen sebagai salah satu unsur masyarakat, harus menjadi bagian dari insan yang merdeka.
Hakekat dosen merdeka adalah adanya kerelaan dan kebesaran hati atas panggilan tugasnya, untuk fokus berkontribusi pada Tri Darma Perguruan Tinggi – pengajaran, penelitian dan pengabdia kepada masyarakat, dengan segala macam turunannya. Berkiprah untuk mencapai tujuan adanya peningkatan kualitas dalam berkehidupan, membangun institusi sekaligus mengembangkan diri. Betul, ada ukuran kinerja, ada target yang harus dicapai, termasuk harapan pribadi atas kecukupan pendapatan secara ekonomi untuk menghidupi keluarga. Tapi dengan jiwa merdeka dosen bisa bekerja dengan sepenuh hati.
Tugas dan peran dosen tidak mudah karena bertanggung jawab terhadap pembangunan SDM yang kompetitif, yang adaptif, yang kompeten, di tengah perubahan yang dihadapi institusi pendidikan tinggi, karena kemajuan teknologi informasi yang telah merubah banyak hal dalam kehidupan kita. Masyarakat memiliki harapan besar kepada para dosen untuk berkontribusi memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup melalui peran pendidikan tinggi. Tugas yang tidak ringan, tapi sering kita tidak sadari, ada tanggung jawab yang besar di pundak pengemban profesi dosen.
Namun tantangan dosen juga tidak mudah, selain tuntutan yang berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya, sambil memikirkan kecukupan ekonomi untuk keluarga, biaya untuk mengemban tugaspun tidak sepenuhnya tersedia. Tuntutan meneliti dan publikasi ilmiah besar, tapi minus anggaran. Ini jadi seperti buah simalakama.
Dilain pihak, terutama buat dosen dalam payung PTS, relasi dengan yayasan bukan hal mudah pula. Apalagi yayasan telah menjadi atasan para dosen PTS, para pengurusnya memiliki kewenangan yang teramat besar dalam pengeololaan universitas. Ini terkadang membuat para dosen sering menjadi inferior. Relasi yang timpang, seperti hubungan pekerja dan pemilik modal. Relasi ini bisa menjadi belenggu kebebasan akademik dosen. Di PTN mungkin tidak terlalu terasa, namun hubungan dengan atasan birokrat nampaknya sama saja. Karena di PTN pun ada kepentingan kekuasaan yang dapat mempengaruhi pola dan dinamika kampus.
Belum lagi menghadapi birokrasi kementerian induk, ini tantangan lainnya. Tidak semua aparat kementerian sudah tersentuh reformai birokrasi. Business as usual. Jadi momok pula dalam pengurusan jenjang jabatan akademik (JJA) dosen, yang sebenarnya selalu didorong, diingatkan, karena kementerian punya target guru besar 20% dari jumlah dosen, namun kesiapan birokrasi melayani ternyata tidak sebesar harapan kementerian terhadap dosen. Faktanya hanya ada 5.463 guru besar dari hampir 300.000 dosen yang ada. Di bawahnya ada lektor kepala, tapi jumlahnya juga hanya 32.419 dosen. Sangat sedikit. Sebagian besar dosen masih berkutan di lektor dan asisten ahli, bahkan banyak yang belum memiliki kepangkatan akademik. Mengapa? Saatnya melihat dua sisi: Antara kompetensi dosen kita dan kemampuan serta kualitas layanan birokrasi yang membuat banyak dosen menjadi malas mengurus JJA. Semoga kementerian terkait tidak hanya melihat dan menyoroti sisi kemampuan dosen saja. Minimal perlu menelusuri secara jernih dan objektif akar permasalahannya, termasuk komitmen terhadap janji reformasi birokrasi.
Semoga dengan ulang tahun kemerdekaan yang ke 74 ini juga memberi kemerdekaan kepada dosen dalam berkiprah di ruang panggilan hidupnya, memiliki kepercayaan dan kebebasan untuk berkarya dan mengekspresikan diri, sehingga kontribusi untuk masyarakat bisa dilakukan dengan besar hati, karena telah menjadi dosen merdeka.
(Aam Bastaman).