Refleksi: Perbudakan Modern
Banyaknya wanita anak bangsa, termasuk yang dibawah umur yang terlibat dalam perdagangan manusia sungguh sangat memprihatinkan. Di era modern ini perbudakan masih terus berlangsung dengan aneka macam cara dan modus, bukan hanya diperjualbelikan atau dipekerjakan dengan paksa, namun dijadikan budak nafsu seksual. Mereka adalah anak-anak bangsa yang menjadi mangsa dan korban para pelaku sindikat kriminal antar negara.
Sulit dibayangkan bahwa jaringan perdagangan manusia sampai saat ini masih leluasa melakukan aksinya dengan rapih, namun mengakibatkan kepiluan dan kesedihan mendalam bagi para korban dan keluarganya. Akar dari penyebab semua ini adalah terutama kemiskinan. Kemiskinanlah yang menyebabkan banyak wanita di Tanah Air, di Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan lainnya yang akhirnya luluh memenuhi bujuk rayu para calo untuk diberangkatkan “bekerja” di luar negeri: Malaysia, Hong Kong, Singapura, Taiwan, Cina, Timur Tengah dan lainnya, dengan penuh harapan akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Sebenarnya modus operandi perdagangan manusia lintas negara sangat mudah terbaca: Ada korban yang ingin keluar dari jerat kemiskinan, ada calo lokal, ada pengantar, penjemput, penerima (pengelola) dan akhirnya pemakai. Seringkali nama dan usia korban dipalsukan, meskipun bisa saja dengan menggunakan KTP atau Paspor asli, dengan data yang dipalsukan.
Betulkah pengawasan negara dan masyarakat lemah? Bisa jadi, karena proses pembuatan KTP sebenarnya melalui pengecekan dan pengawasan berlapis, mulai dari tingkat RT, RW Kelurahan dan Kecamatan. Namun harus diakui tidak semua aparat amanah, banyak juga yang menyalahgunakan kewenangan demi uang, bahkan menjadi bagian dari sindikat.
Proses rekrutmen-pun harusnya mudah tercium, karena ada keluarga, tetangga dan aparat setempat, sampai petugas di tempat keberangkatan. Di negara tujuan pun sebenarnya terjadi pembiaran. Bagaimana hotel dan karyawannya tidak bisa mengendus terjadinya perbudakan dan pelayanan seksual secara paksa di kamar hotelnya? Padahal kalau melihat berbagai kasus, korban dipaksa, bahkan menjerit, minta tolong. Namun siapa yang peduli? Hampir tidak ada. Saatnya negara memberi perlindungan bagi warganya. Tindakan hukum dan sangsi yang berat terhadap para pelaku (bukan terhadap korban) perlu diberlakukan.
Namun akar masalah harus ditemukan pemecahannya – kemiskinan. Sehingga para wanita calon korban tidak dengan mudah terbujuk rayuan para calo. Jika pekerjaan di dalam negeri cukup, jika kesejahteraan mereka baik, maka pintu untuk perdagangan manusia akan semakin menyempit. Salah satu kuncinya memang perlu meningkatkan kemajuan ekonomi yang adil dan merata. Tentunya, berbeda kalau kepergian ke luar negeri untuk bekerja sebagai tenaga profesional yang kompeten, negara pun pasti akan bangga. Namun alih-alih tenaga profesional yang membanggakan – ini perbudakan yang merendahkan harkat martabat manusia.
Dalam kasus lain, kemiskinan pula yang menyebabkan banyak wanita tertarik untuk “dijodohkan” dengan pria asing, diberangkatkan ke negara tujuan melalui perantara, yang merupakan sindikat internasional, diiming-iming akan mendapatkan kehidupan yang layak, padahal kembali lagi, tidak sedikit yang ujung-ujungnya menjadi budak, dipekerjakan dengan paksa.
Masyarakat bisa berpartisipasi dalam menekan tingkat perdagangan manusia, bisnis haram yang sudah ada sejak peradaban awal manusia terbentuk, sampai kini, dengan bersikap waspada dan peduli lingkungan. Mari kita cegah perbudakan ini demi kehormatan bangsa, dan masa depan anak-anak kita, yang lebih sejahtera.
Aam Bastaman: Dari Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN).