Refleksi: Regenerasi Petani
Sering disebutkan bahwa bidang pertanian merupakan garda pertahanan negara, karena berpengaruh terhadap kemampuan kemandirian pangan. Saat ini Indonesia belum mandiri pangan. Banyaknya aneka buah-buahan masih diimpor dan juga produk pertanan dan bahan makanan lainnya, menunjukkan tingkat kerawanan dalam upaya kemandirian bangsa.
Sebut saja apa yang kita konsumsi sehari-hari dipastikan ada kandungan impornya, tidak terkecuali kandungan makanan tradisional kita yang khas, yaitu tempe. Ternyata kedelainya masih diimpor dari Amerika Serikat, karena produksi dalam negeri masih belum mencukupi.
Meskipun tanah kita subur makmur, ternyata belum memberikan kecukupan hasil buah-buahan. Kalau buah-buahan non-tropis, seperti anggur, buah kiwi atau pir, bahkan apel, wajar kita impor, meskipun sebenarnya bisa diupayakan ditanam di lahan dataran tinggi kita, namun ternyata tanaman dan buah-buahan tropispun kita impor, seperi durian, lengkeng, buah naga, antara lain dari negara penghasil tanaman tropis utama dunia, yaitu Thailand, juga durian dari negara tetangga Malaysia.
Kondisi ini menjadikan lampu merah, karena di jenis makanan lain, mulai dari daging sapi sampai susu ternyata kita masih impor juga, termasuk jagung, dan aneka jenis kacang-kacangan, bahkan aneka bawang-bawangan. Padahal kita mampu menanamnya, dengan kualitas tanah yang memungkinkan tumbuh untuk itu. Tapi kemudian kenapa kita tidak mampu menghasilkannya secara produktif?
Diyakini bahwa Pertanian kuat, negara kuat, sebailknya pertanian lemah menjadi sumber ketergantungan kepada negara lain. Saatnya kita memprioritaskan produktifitas pertanian kita, supaya mampu menghasilkan produk-produk pertanian yang cukup dengan harga yang lebih kompeteitif dan kualitas yang bersaing. Oleh karena itu perguruan tinggi dapat mengambil peran untuk terus mendukung pertumbuhan pertanian kita. Kalau tidak, maka pertanian kita dalam ancaman. Upaya pencapaian kemandirian panganpun dipertanyakan.
Masalah lain adalah kurangnya minat generasi muda kita untuk menekuti pertanian, sebagai profesi. Walhasil, jumlah petanipun mulai berkurang. Oleh karena itu, regenerasi petani perlu disiapkan, kalau tidak pertanian akan semakin terpuruk lagi. Bukan itu saja, bisa jadi ini ada kaitannya dengan minat generasi muda lulusan SMA ke program studi (prodi) pertanian yang menunjukkan gejala berkurang. Prodi pertanian bukan lagi dianggap prodi favorit, sehingga kurang dilirik sebagai prodi yang menjanjikan. Banyak anggapan profesi petani tidak menarik, tidak memiliki masa depan, kotor dan tidak bergengsi. Terjadi paradigma yang salah dan salah kaprah dalam memandang profesi petani. Apalagi sering dianggap profesi yang tidak punya masa depan.
Urbanisasi dituding sebagai sumber ketidaktertarikan masyarakat khususnya generasi muda ke bidang pertanian. Generasi muda pedesaan lebih suka masuk ke bidang industri non-pertanian yang dianggap lebih cerah, kemudian melakukan urbanisasi ke kota-kota. Regenerasi petani di pedesaan menjadi mengkhawatirkan. Oleh karena itu perlu kebijakan yang mendukung untuk menghidupkan desa, sehingga menjadi lebih menarik untuk hidup dan memiliki masa depan. Penting sekali komitmen kita semua untuk menyelematkan masa depan pertanian Indonesia.
Peran sekolah pertanian besar sebenarnya, pembelajaran pertanian bisa dikemas menjadi kegiatan yang menarik sebagai profesi masa depan yang menyenangkan. Sehingga para pelaku pertanian bisa lebih termotivasi dan lebih bangga lagi. Jangan seperti sekarang, banyak kalangan sering mempertanyakan lulusan sekolah pertanian dan sarjana pertanian kita, apa kabar? Meskipun begitu urusan pertanian adalah urusan kita semua.
Aam Bastaman: Dari Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN).