Refleksi: Tiket Pesawat yang Mengawang

Belakangan  ini, sejak sebelum lebaran lalu  kita  diributkan oleh tingginya harga tiket pesawat terbang domestik kita.  Harga tiket pesawat  dalam negeri jauh lebih mahal dibandingkan tiket ke  beberapa negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura. Bahkan seorang gubernur sempat meminta ijin ke pemerintah pusat bagi para Aparatur Sipil Negaranya (ASN) didaerahnya untuk terbang melalui Kuala Lumpur saat perjalanan dinas ke ibukota Jakarta, karena lebih murah, lebih hemat, lebih efisien.

Sebagai contoh tiket ke Kuala Lumpur kita bisa mendapatkan harga sekitar Rp. 500.000 - Rp.600.000-an. Begitu  juga ke Singapura. Dengan jarak yang tidak terlalu berbeda, sedikit lebih jauh, yaitu terbang ke Medan harga tiket bisa mencapai Rp. 2-3 jutaan,  harga paling murah dengan maskapai berbiaya rendah sekitar Rp. 1.5 – Rp. 1.75 Jutaan.  Bahkan lebaran lalu bisa mencapai diatas Rp. 3 jutaan. Begitu pula ke Padang.    

Mengapa harga tiket domestik menjadi semakin mahal belakangan ini? Terdapat banyak argumentasi dan analisis, antara lain “dicurigai” adanya kartel  dalam industri penerbangan nasional, mengingat penguasan industri ini hanya oleh dua korporasi besar,  yaitu grup Garuda, milik pemerintah (Garuda, Citilink, Sriwijaya Air) dan grup Lion, milik swasta nasional   (Lion, Batik  Air,  Wings). Diyakini karena pemain di industri  ini hanya dua, maka kedua  pemain ini dapat leluasa mengatur bersama harga tiket sesuai dengan kepentingannya. Namun analisis ini tidak  sepenuhnya tepat, karena  Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)  juga belum dapat membuktikan hal itu.

Analisis kedua, mahalnya infrastruktur penerbangan di Tanah Air, seperti sewa parkir bandara, sewa peralatan dan fasilitas pendukung penerbangan di bandara dan infrastruktur lainnya, biaya perawatan pesawat, serta biaya operasional di darat. Mahalnya biaya-biaya infrastruktur pendukung  ini  menyebabkan biaya operasional maskapai melonjak tinggi.

Ketiga, pengenaan tarif penerbangan sebelum ini terutama saat peluncuran perdana penerbangan berbiaya rendah kelewat murah, ini karena misi supaya “semua orang bisa terbang” dapat dicapai, dengan mengorbankan keuntungan jangka  pendek perusahaan. Kondisi sekarang maskapai nampaknya sudah tidak  mampu lagi bertahan dengan keuntungan yang tipis, mengingat semakin tingginya biaya operasional. Apalagi maskapai-maskapai nasional tersebut tidak memiliki kondisi keuangan yang kuat dan sehat, mengingat juga besarnya beban utang akibat pembelian pesawat yang sangat mahal.

Alasan yang kedua dan ketiga tersebut yang paling dimungkinkan kenapa harga tiket saat ini menjadi mahal. Mengapa pemerintah tidak turun tangan langsung meggingat Garuda  group milik pemerintah? Kebijakan penetapan harga memang sepenuhnya kewenangan  korporasi, pemerintah pun tidak bisa secara langsung melakukan intervensi. Yang dapat dilakukan  adalah menerapkan kebijakan untuk  membuat atmosfir usaha penerbangan (yang sulit dan kompetitif ini) lebih mendukung, sehingga maskapai dalam negeri lebih efisien, dengan tetap memprioriaskan aspek keselamatan penumpang.

Salah satu kebijakan pemerintaah yang sedang ramai dibicarakan adalah mengundang masuknya maskapai  asing untuk melayani  rute domestik di Tanah Air. Kebijakan ini didasarkan pada beberapa tujuan, diantaranya: Mendorong maskapai  dalam negeri untuk bisa lebih efisien dan kompetitif; kemudian, melayani kebutuhan jasa penerbangan masyarakat dengan biaya yang lebih murah, dan selanjutnya, persaingan yang sehat dapat memicu maskapai dalam negeri untuk lebih profesional dalam pengelolaan perusahaannya.

Namun kebijakan mengundang maskapai asing bukan tanpa resiko. Diantaranya adanya azas cabotage  (kedaulatan negara), sesuai ketentuan Undang-Undang No. 1, tahun 2009, bahwa penerbangan domestik harus  dilayani oleh maskapai dalam negeri. Hal ini terkait dengan kedaulatan udara di Tanah Air.

Bagaimana jalan keluarnya?

Pemerintah dapat mendorong maskapai domestik untuk lebih profesional dan efisien. Kalau maskapai di luar negeri  bisa, kenapa kita tidak? itu harapannya.  Terkait dengan “undangan” kepada maskapai  luar negeri untuk melayani pasar domestik maka dipastikan maskapai luar negeri memiliki  kerjasama kepemilikan usaha, jadi  maskapai luar negeri yang memiliki bagian kepemilikan dengan pihak Indonesia dapat dijadikan acuan, seperti Indonesia Air  Asia untuk maskapai Air Asia. Layanan ke luar negeri juga dicontohkan oleh  grup Lion dengan Malindonya, atau Lion Thai untuk pasar internasional lainnya. Faktor kepemilikan bersama ini  dapat menjadi prioritas sehingga isu kedaulatan udara dapat ditangani.

Sebaiknya pemerintah hati-hati dalam menggandeng  maskapai  luar negeri, untuk mengurangi  dampak  yang kurang sehat serta tidak  diinginkan, seperti menambah beban industri penerbangan nasional. Kehadiran maskapai asing  juga harus dipastikan harga tiket dapat berpihak pada konsumen nasional.

Alternatif lain, seperti  yang  teman  saya usulkan, membangun sarana transportasi di luar transportasi udara, seperti kapal laut, bus dan kereta api. Apalagi sekarang berkembang kesadaran lingkungan masyarakat yang semakin tinggi. Industri  penerbangan dianggap berkontribusi paling besar terhadap kerusakan lingkungan akibat tingginya karbon yang dihasilkannya, sehingga diyakini menjadi biang keladi terjadinya perubahan iklim.

Semoga “penerbangan untuk semua  orang” dapat terus  berlangsung. Tapi juga alternatif tranportasi lain dapat tersedia dengan baik untuk mendukung perekonomian nasional yang terus bertumbuh seperti yang kita harapkan.  Tentu  kita tidak lupa bahwa lesunya industri tranportasi bisa berdampak pada kelumpuhan sektor ekonomi lain, yang justri kita harapkan dapat berkembang,  seperti industri  pariwisata, yang sekarang terkena dampaknya. 

 Aam Bastaman: Akademisi di Universitas Trilogi, Jakarta.  Penulis  dan pelancong global.

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment