Refleksi: Distrust

Alangkah mengerikannya kalau sesama anak bangsa sudah tidak ada lagi  saling percaya, hilang trust atau terjadi distrust. Pemilu kali ini  menghasilkan sesuatu yang bangsa  ini tidak harapkan: Semua orang terpolarisasi, kalau bukan kawan maka itu adalah lawan. Pemilu sudah usai namun perseteruan yang mengarah kepada distrust masih terus berlangsung.

Kawan diskusi saya bilang, para elit itu sungguh gila, mengacaukan tatanan berbangsa dan bernegara, pandai menciptakan kemasan-kemasan konflik untuk kepentingannya. Perseturuan saat ini bahkan masuk ke level keluarga, yang seharusnya menjadi tempat bersemayamnya benih-benih kasih. Perpecahan dan ketidak-akuran terjadi antar kakak-adik, saudara, bahkan pasangan suami istri dan juga hubungan pertemanan. Sehingga pertemanan sekarang diukur oleh siapa memilih calon yang mana? Negara diambang perpecahan, dan itulah yang diharapkan pihak-pihak yang tidak ingin melihat NKRI maju berdaulat dan makmur. Dalang-dalang perusak seolah gentayangan menyebarkan roh kebencian, perpecahan dan konflik dengan berita palsu dan upaya adu domba. Mereka ada di wilayah negara kita sendiri, juga berdomisili di belahan bumi lain, sesuai dengan kepentingannya.

Politik tahun 2019 ini sungguh mahal ongkosnya, bukan hanya berbiaya super besar, sehingga menguras keuangan negara, namun mahal pula ongkos sosialnya, menciptakan iklim baru: Rivalitas dan perpecahan, yang kemudian tercipta distrust diantara sesama anak bangsa. Siapa lagi sekarang yang bisa dipegang untuk diajak sama-sama bahu membahu memperkuat fondasi persatuan? Bahkan tempat-tempat ibadahpun sempat dipakai menyuarakan kebencian. Padahal  Allah tidak meridoinya. 

Kalau tidak disadarkan bangsa ini akan terus dilanda saling curiga dan distrust sesama anak bangsa, sampai masuk ke level keluarga, masyarakat profesi,  dan hubungan pertemanan yang seharusnya mengayomi. Maka bijaksana untuk saat ini belajar melupakan pilihan  01 atau 02, jangan terlalu terpancing tarik menarik politik yang memecah belah. Sebaliknya mari kita perkuat gerakan 03 untuk  persatuan anak bangsa. Persatuan itulah yang diperlukan bangsa  ini sekarang.

Politik itu memecah belah dan politisi sebagai elit seringkali juga menjadi biang keladinya. Jangan terlalu percaya pada janji-janji politisi, itu nasihat bijak sahabat saya.  Terbukti sebagian besar janjinya adalah upaya jualan kecap, begitu berkuasa atau diberi kesempatan jadi lupa. Tidak terkecuali para oposan yang menghalalkan segala cara untuk dapat menikmati madu kekuasaan. Toh kalau sudah dipuncak kekuasaan sama  saja. 

Budaya kita kuat, memegang nilai-nilai kerukunan dan tepo seliro. Kita masyarakat cinta damai, untuk terus menata kehidupan yang lebih baik lagi, maju dan berkembang. Yang menjadi ganjalan adalah para elit sendiri yang kelihalangan akal sehat, saat tahu kesempatan tidak lagi memihak kepadanya, maka  sibuklah menghembuskan retorika menyesatkan: jangan bayar pajak, jangan percaya pada perangkat hukum, serta ajakan membuat kegaduhan.

Saatnya kita memperkuat kohesi sosial kita sesama rakyat.  Bulan-bulan lalu telah menguras energi kita, tersedot pada  kepentingan politik. Kita lupa urusan kesejahteraan dan kemajuan tidak bisa  ditinggalkan oleh urusan politik, yang semu. Jangan sampai karena politik kita jadi terpuruk.

Kini terang benderang sumber masalah adalah para elit sendiri, kata sahabat saya lagi. Kalau rakyat sudah jauh lebih matang, apalagi  tidak punya  kepentingan kekuasaan. Bersyukur rakyat kita lebih dewasa dibandingkan para politisi kita yang (jadi ingat Gus Dur) mengatakan ini: Kekanak-kanakan.

Saatnya kita Ciptakan lagi trust diantara kita, untuk salling percaya. Negara-negara maju umumnya memiliki tingkat trust yang sangat tinggi: Jepang, Selandia Baru,  Denmark, Norwegia. Rakyat bisa, tapi para politisi  wallahu’alam. Bukankah  kita ingin menjadi negara maju yang warganya sejahtera, baik  di dunia maupun di akhirat, dengan melakukan  amal baik di dunia?

“Janganlah kamu menciptakan kerusakan”, seperti yang pernah Nabi sampaikan. “Musuhmu terbesar adalah hawa nafsumu sendiri.”

Saatnya kita bekerja kembali, dan  jika tidak menyuarakan kebaikan, kita abaikan saja para elit…

 

 Aam Bastaman: Dosen Pascasarjara Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Lembaga Produktifitas Nasional (LPN). Penulis dan Pelancong.

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment