Refleksi: Pergeseran Nilai-Nilai
Banyak pertanyaan muncul, mengapa perilaku kriminal korupsi yang tidak terpuji oleh para pemuka masyarakat seolah menjadi bagian dari kehidupan bernegara kita dan menjadi biasa?
Profil para koruptor, apakah ia anggota DPR, Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati/Walikota, para birokrat, ataupun guru besar, jenderal dan pihak swasta yang turut kong kalikong tentunya bukanlah orang-orang sembarangan. Pendidikan: Tinggi; status sosial: Tinggi; kekayaan: Tidak kere-kere banget; tingkat religiositas: Banyak diantaranya justru pemuka agama, orang-orang yang tahu banyak urusan hubungan manusia dengan Tuhan. Tapi mengapa tetap saja nekad melakukan perilaku kriminal korupsi?
Pergeseran nilai-nilai (values)
Nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat kita saat perjuangan kemerdekaan, pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan sampai akhir tahun 1960 an sarat dengan nilai-nilai yang memberikan makna luhur: Berani mati membela Tanah Air (nilai-nilai perjuangan), kejujuran, integritas, setia kawan, kebenaran, bahkan kesederhanaan. Orang-orang yang berjuang tanpa pamrih dipandang tinggi dalam status sosial masyarakat kita.
Di era pembangunan, kata teman saya seorang Sosiolog, setelah berakhirnya Orde Lama dan kemunculan Orde Baru, pemerintah dan masyarakat mulai fokus pada pembangunan fisik dan materi: Jalan-jalan, jembatan, penataan perkotaan, gedung-gedung, pembangunan industri manufaktur, berdirinya berbagai institusi bisnis yang menunjang perekonomian nasional, mengalirnya bantuan asing dalam bentuk berbagai proyek dan utang, pembangunan beragam proyek nasional dan daerah dalam rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Ekonomipun mulai menggeliat.
Dalam urusan pembangunan tersebut ada sekelompok orang yang punya akses terhadap beragam proyek dan pembangunan bisnis yang begitu besar (melahirkan orang-orang kaya baru), ada pula kelompok masyarakat yang tidak kebagian, akhirnya terpinggirkan secara ekonomi. Para birokrat yang kurang bersih dan aji mumpung beralih fokus dari pelayanan ke birokratisasi dan komersialisasi jabatan. Urusan perijinan harus melibatkan sejumlah uang pelicin. Segala urusan menjadi UUD (ujung-ujungnya duit). Munculah kemakmuran ekonomi jenis birokrat ini yang melahirkan orang-orang kaya baru birokrat di semua sektor dan di semua tingkatan.
Materi seolah menjadi Tuhan baru, yang dapat menunjukkan status sosial seseorang. Bukan seberapa jujur dan seberapa berintegritas, tapi orang dipandang dari seberapa banyak kepemilikan harta dan kekayaan. Asal usul kekayaan dan bagaimana kekayaan diperoleh tidak lagi dipermasalahkan. Mulailah, pada era ini perilaku korupsi menjadi lebih permisif. Orang lebih suka dengan proses yang instan untuk mendapatkan kekayaan daripada proses dengan bekerja keras.
Dalam birokrasi banyak atasan sengaja membiarkan para bawahannnya untuk sedikit-banyak mengambil harta negara yang bukan haknya, atau melakukan komersialisasi jabatan. Atasan seringkali juga mendapatkan bagian. Jadilah korupsi yang sistematis dan berjamaah. Pembuktian korupsi menjadi sulit, dan semua pihak saling melindungi. Karena satu dipersalahkan, keseluruhan anggota organisasi akan terseret.
Walhasil, tidak banyak kementerian dan lembaga negara di Tanah Air yang betul-betul bersih. Tudingan tidak bersih ini termasuk pada lembaga-lembaga penegak hukum, malah seringkali dianggap parah. Yang lebih parah lagi kementerian dan lembaga yang berurusan dengan kepentingan ibadah umat, yang mengurus kepentingan rohani dan religiousitas justru ditemukan paling korup. Indikasinya: Komersialisasi dan korupsi kegiatan ibadah yang memerlukan pengumpulan dana umat. Di era setelah akhir 1960 an tidak ada lagi profesi yang imun terhadap korupsi. Para koruptor berasal dari semua kalangan, termasuk justru orang-orang yang sebelumnya terlihat saleh, karena kepakarannya dalam soal agama, ketokohannya atau penguasaan keilmuannya, meski tak sedikit pula yang dari sononya sudah kelihataan memiliki mentalitas tidak terpuji . Rupanya, pemahaman terhadap agama, keilmuan dan tingginya status sosial bukan lagi menjai benteng yang kuat terhadap perilaku koruptif. Pemahaman terhadap agama yang tinggi seolah tidak berpengaruh terhadap mentalitas saleh untuk menjauhi korupsi. Jadilah semua lembaga negara, semua profesi, semua kalangan seolah permisif terhadap suburnya perilaku koruptif. Termasuk dilingkungan dunia pendidikan.
Mungkin ada yang membantah, perilaku korup itu oknum, bukan keseluruhan. Betul, tidak salah, tapi manakala sedikit orang-orang bersih menjadi terpinggirkan dan tidak diterima lingkungan, hal ini bisa menjadi indikasi perilaku umum.
Ada pula yang berpendapat perilaku korup terjadi akibat biaya politik yang tinggi di Tanah Air, namun faktanya perilaku korup bukan hanya dilakukan oleh para politisi, tapi hampir oleh semua elemen masyarakat di berbagai strata. Meskipun perilaku korup para politisi terlihat lebih menonjol.
Perjuangan melawan korupsi
Kegelisihan terhadap penyimpangan dan pergeseran nilai-nilai ini juga muncul dikalangan berbagai elemen masyarakat. Puncaknya adalah dukungan pembentukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena lembaga penegak hukum yang ada dianggap tidak lagi mampu melakukan penegakkan hukum tindak pidana korupsi. Namun pembentukan lembaga ini yang powerful , sangat galak dan tidak pandang bulu, juga tidak menurunkan perilaku korupsi, malah seolah korupsi semakin berkembang, tidak ada lagi ketakutan para pelaku (indikasi: Ditangkap KPK senyum-senyum, seolah menjadi selebriti baru) dan masyarakatpun bersifat permisif. Tidak ada sangsi sosial yang berarti. Para koruptor bahkan bisa danggap pahlawan, asal bisa berbagi sebagian rejeki. Bahkan mantan koruptor bisa terpilih kembali sebagai bupati atau walikota.
Perjuangan melawan korupsi tumbuh sering dengan tumbuhnya rasa muak dari sebagian masyarakat terhadap perilaku korup para elit. Namun masalah baru muncul, yaitu masalah kepercayaan. Siapapun yang bicara anti korupsi tidak jarang ditanggapi sinis: “Ah lu aja yang kagak ada kesempatan, coba kalau ada kesempatan, pasti korupsi juga…”. Mengapa ada anggapan yang demikian? Rupanya dari profil para koruptor, tidak sedikit dari mereka yang sebenarnya sering berbicara mulia, bahkan berbicara mengenai anti korupsi, korupsi sebagai perbuatan yang laknat, (meskipun seperti sudah dituliskan di atas, ada juga yang sudah dari sononya kelihatan sudah memiliki perilaku yang tidak terpuji). Tapi tokoh-tokoh ini korupsi juga. Dari pengalaman ini maka muncullah aroma ketidak percayaan (distrust). Namun hal ini jangan menyurutkan perang melawan korupsi, sambil tetap mawas diri, karena siapapun akan dihadapkan pada godaan korupsi.
Apakah pergeseran nilai-nilai ke arah pemuajaan materi ini, dengan menghalalkan segala cara bisa diluruskan? Tentu saja (harusnya) bisa. Teman saya yang lain dengan sinis mengatakan generasi kita ini harus habis terlebih dulu, baru kita bisa menata lagi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Sehingga pada generasi berikutnya indeks korupsi kita di dunia bisa tidak memalukan lagi, karena selalu juara, kalau tidak nomor satu, kita selalu ada dalam 3 atau 5 besar.
Apa sebegitunya? Tapi argumentasi teman saya itu bisa dibantah pula, karena belum tentu generasi berikutnya yang lebih baru terbebas dari pardigma permisif terhadap perilaku korup ini, kalau tidak ada pedidikan karakter dan upaya-upaya yang terprogram, terpadu dan melembaga. Teman-teman saya di LPN, bahkan dari beberapa profesi yang berbeda justru mengatakan kita harus fokus pada pembangunan manusia. Kalau tidak, dikhawatirkan kita selalu menjadi negara juara bertahan, sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Syukurnya gagasan ini juga sudah diinisiasi oleh pemerintah. Hasilnya nanti hanya Allah yang tahu.
Aam Bastaman: Dosen Pascasarjara Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Lembaga Produktifitas Nasional (LPN). Penulis dan Pelancong.