Refleksi: Second Life

Pernahkan anda mengalami atau mendengar  kabar buruk yang berdampak pada kehidupan anda? Manusia hidup tentunya mengalami. Maka tepatnya pertanyaannya: Bagaimana anda menyikapi kabar buruk? 

Dokter spesalis jantung  yang teman dan tetangga saya baru saja memvonis: “Pak Aam, anda terkena kardiovascular – penyumbatan pembuluh darah jantung. Tidak ada jalan lain, harus operasi bypass!”. Kabar yang membikin lemas. Tiba-tiba saja saya merasa seolah-olah hidup saya akan segera berakhir. Tapi tahu respon ibu angkat saya di Australia? (saya mempunyai ibu angkat sewaktu ikut program AFS exchange student). “Good, Aam  you know the  problem  earlier so that you can anticipate it…” Beda  sekali dengan  ketakutan saya kan?

Meskipun ibu angkat saya memandang masalah ini biasa-biasa saja, bahkan bagus  saya mengetahui penyakit lebih awal, sehingga bisa  antisipasi dan terhindar dari serangan  jantung mendadak. Tapi Saya masih khawatir dengan operasi bypass!

Akhirnya, saya memilih merubah gaya hidup – makanan, pikiran, ritme kerja, hubungan sosial dan hubungan dengan Tuhan. Pada akhirnya saya memilih menerima takdir, bahwa saya punya penyakit kardiovaskular. Tapi saya minta waktu sama dokter teman saya itu untuk tidak dilakukan dulu operasi bypass, kalau ada cara lain, saya memilih cara lain. Dasar saya penakut terhadap  yang namanya operasi medis.

Setelah saya bisa menerima, bahasa kerennya ihlas, rasanya hati saya menjadi plong.  Saya mulai dengan makan makanan seperlunya, yang baik untuk kesehatan, dan menghindari makanan yang buruk untuk kesehatan. Saya lebih santai dengan ritme  pekerjan, tidak ngoyo ataupun sok jago he he he... Mencoba hidup biasa-biasa saja. Berusaha mendekat dengan teman-teman, menghilangkan perasaan-perasaan negatif, seperti iri, dengki, apalagi dendam. Seorang teman ustad mengajari untuk menghilangkan kekesalan dan dendam, menjadi pemaaf. Betul juga karena agama mengajarkan cinta kasih maka hidup harus dilandasi dengan cinta, bukan permusuhan dan dengki.

Sejak divonis memiliki penyakit jantung, saya jadi merasa hidup ini tidak ada  apa-apanya, sebentar lagi mati, sudah. Apa-apa yang sudah dikumpulkan berupa harta, uang dan barang (untungnya tidak seberapa,  tapi sedikit banyak toh tidak berbeda) tidak mungkin  dibawa mati, termasuk pangkat, jabatan, keberhasilan (saya miskin keberhasilan) dunia atau hal-hal lain yang sering menjadi incaran manusia hidup, tidak dibawa, cukup mengucapkan selamat tinggal. Tapi kalau mengingat ibu, istri dan  anak-anak bahkan bisa lebih emosional lagi, bisa mewek, kayak anak kecil. Itu tanda saya punya cinta, kata teman saya. Agama saya juga yang mengajari tidak boleh mencintai berlebihan.

Saya senang mengumpulkan tanda mata berupa suvenir kalau bepergian ke luar negeri, sebagai tanda saya sudah mengunjungi. Senang ada tanda bahwa saya sudah di negara A, negara B, benua A, Benua B, kota A, kota B, di seantero dunia (kadang ini menjadi bentuk kesombongan tersendiri, jadi mohon maaf).  Tapi koleksi dan pengalaman  itu akan dibawa ke mana kalau mati?

Saya banyak merenung, ternyata bekal yang sebenarnya, bukan harta benda, jabatan seperti itu, yang akan ditingggal dan tidak dibawa mati. Harta yang sesungguhnya adalah amal  baik. Nah, inilah kekurangan saya, ternyata kurang bekal amal baik. Saya sadar, tapi kalau lagi asyik hidup lupa lagi tuh, bahwa kita sebenarnya harus mengumpulkan amal  baik, tapi seringkali  kembali ke kondisi sediakala: Memikirkan diri sendiri, egois dan mau senang sendiri…

Tapi dengan penyakit yang dimiliki  jadi pengingat, bahwa hidup ini betul-betul sementara dan bahwa sebentar lagi, meskipun waktunya kapan tidak tahu, akan kembali ke haribaanNya…

Teman  baik saya bilang bagi saya ini hidup kedua, judul diatas  saya menuliskannya  the  second  life. Kesadaran baru  mengenai kesementaraan hidup di dunia. Jadi penyakit ini kalu dilihat dari  perspektif  seperti itu menjadi anugerah, bahwa saya bisa melihat ke diri saya sendiri secara lebih dalam dan kesadaran bahwa keberadaan saya  di  jagat raya yang maha, maha, maha luas ini, ternyata tidak ada apa-apanya….

Kabar  buruk bisa dilihat dari dua sisi, saya mencoba mengambil dari sisi lainnya -  sebuah anugerah.

 

*Aam Bastaman: Dosen Pasca Sarjana Universitas Trilogi. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN).

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment