SCOPUS

Siapa yang tidak kenal Scopus? Bagi sebagian kalangan akademisi Scopus bisa dianggap  hantu yang menakutkan, tapi bagi sebagian lainnya bisa juga dianggap sebagai pembawa kemajuan – sebagai berkah. Tulisan-tulisan yang menggambarkan Scopus sebagai momok yang menakutkan sudah banyak tersebar di media massa. Bahkan banyak akademisi yang mengkritik dan menganggap Scopus tidak perlu dijadikan sebagai salah satu persyaratan dalam penilaian publikasi ilmiah yang bereputasi, karena Scopus dianggap merupakan bentuk penjajahan baru dalam dunia akademik. Bahkan protes  yang dialamatkan ke Scopus juga pernah dilakukan oleh para akademisi, penerbit jurnal dan universitas di Jerman dan Amerika Serikat.

Namun apa itu Scopus?

Scopus adalah salah satu database (pusat data) sitasi / literatur ilmiah yang dimiliki oleh penerbit terkemuka dunia, yaitu Elsevier. Scopus didirikan pada tahun 2004. Pusat data literature  ilmiah terkemuka bukan hanya Scopus. Contohnya  Scopus harus bersaing dengan Web of Science (WOS) yang diterbitkan oleh Thomson Reuters. Namun memang Scopus masih menjadi pusat data terbesar di dunia. Meskipun WOS terbit terlebih dahulu dibandingkan dengan Scopus, namun Scopus lebih diminati dan melingkupi lebih banyak jurnal jika dibandingkan dengan WOS (Wikipedia, 2019). Selain Scopus, Elsevier juga memiliki database lainnya yaitu Sciencedirect. Kedua database ini berfokus pada 4 bidang ilmiah: Sains fisik dan teknik, ilmu hayati, ilmu kesehatan dan ilmu sosial dan humaniora. Kalau lihat promosinya Elsevier dikatakan: Scopus  is the largest abstract and  citation database of peer-reviewed literature scientific journals, books, and conference proceedings.

Saat ini Scopus mengandung kurang lebih 22.000 judul jurnal dari 5.000 penerbit di seluruh dunia, umumnya, yaitu lebih dari 20.000 di antaranya merupakan jurnal tertelaah sejawat (peer reviewed). Selain menampilkan karya ilmiah, Scopus juga menyajikan data hak paten berbagai penelitian di dunia. Keberadaan pusat data (data base) sangat penting untuk melihat tingkat perkembangan dan topik penelitian yang kita minati: Apakah sudah banyak peneliti yang melakukannya atau tidak? apakah penelitian kita ini terbarukan atau tidak? dan apakah penelitian kita memberikan dampak yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan atau tidak.

Dengan adanya pusat data tersebut, maka peneliti dapat menentukan dimana seharusnya dia menerbitkan artikel ilmiahnya. Sederhananya, Scopus dan pusat data lainnya merupakan mesin pencari artikel ilmiah dan jurnal. Database / pusat data artikel ilmiah yang lainnya selain Scopus dan WOS meliputi: Ebsco, ProQuest, SpringerLink, Wiley, Doaj, Doab, Google  Scholar dan masih banyak lagi.

Scopus juga menyediakan layanan untuk menilai apakah suatu jurnal berdampak yang signifikan atau tidak. Tingkat pengaruh ini dicantumkan sebagai Simago Journal Rank (SJR). SJR mengukur sejauh mana dampak saintifik rata-rata artikel dalam jurnal. Cara pengukuran tingkat dampak pada SJR pada prinsipnya sama dengan perhitungan Impact Factor (IF) yang dikeluarkan oleh Thomson Reuters. IF adalah rata-rata artikel pada suatu jurnal disitasi pada periode 2 tahun.

Lantas mengapa Scopus? Alasan utamanya adalah karena jurnal yang terindeks di scopus adalah jurnal internasional yang bereputasi. Sumber Kemenristekdikti menjelaskan bahwa dalam petunjuk operasional yang dikeluarkan Kemenristekdikti, jurnal-jurnal yang telah terindeks di dalam Web of Science atau Scopus, memiliki nilai angka kredit yang tinggi (bagi dosen dan peneliti). Kualitas dan kredibilitas suatu jurnal ataupun kegiatan konferensi (yang menghasilkan prosiding) akan dilihat dan dikaji secara seksama sebelum diindeks di Scopus. Sehingga tidak heran, jurnal, buku, prosiding dan terbitan karya ilmiah lainnya yang terindeks Scopus memiliki reputasi yang tinggi.

Memang, publikasi yang akan diindeks oleh setiap pengindeks memiiki persyaratan yang berbeda. Termasuk Scopus dan Web of Science yang memiliki persyaratan sangat ketat, antara lain dalam satu jurnal internasional penulis harus dari beragam negara. Editor dan mitra bestari harus memiliki rekam jejak publikasi yang baik. Memiliki kebijakan mengenai etik. Bakan, publikasi yang akan terbit dapat dinilai terlebih dulu dampaknya dari segi seberapa banyak jurnal itu dikutip di publikasi internasional.

Kelebihan lain, Scopus (danjuga Web of Science) memiliki alat ukur yang dapat membandingkan dan melakukan pemeringkatan penulis, institusi dan negara tempat jurnal itu ditebitkan berdasarkan publikasi dan dampaknya. Kedua pengindeks ini menjadi alat ukur pemeringkatan ilmiah dari lembaga riset dan perguruan tinggi di dunia, seperti QS World Class University dan the World Class University. Jadi mengapa  Scopus (dan WOS), mudah-mudahan dapat terjawab.

Nah, untuk kenaikan jenjang kepangkatan akademik (JJA) dosen dan peneliti kita memang diharuskan produktif meneliti, menuliskan hasil penelitian dan selanjutnya mempublikasikannya di berbagai jurnal bereputasi, baik nasional maupun internasional.  Dari Jumlah Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia sebanyak 4400 PT (baik PTN maupun PTS), di dalamnya terdapat kurang lebih 300,000 dosen, dengan Jumlah Mahasiswa sekitar 5,000,000. Selain PT terdapat juga  Peneliti di lembaga Litbang sekitar 10,000 orang. Dari jumlah dosen yang ada Jumlah Dosen dan peneliti pendaftar di Sinta: 157,995 dari 4,595 Institusi PT dan lembaga litbang (per Maret 2019). Namun dari jumlah guru besar yang ada sebanyak 5.366 orang, yang terdaftar di Sinta baru 4.200 orang. Secara kuantitatif kita memang memiliki ukuran sumber  daya yang banyak, namun secara kualitas masih menyisakan banyak ‘pekerjaan rumah’.

Secara nasional terdapat 2,279 Jurnal terakreditasi dengan kategori 1 sd 6 Sinta dari lebih 8,000 jurnal. Namun yang terakreditasi masih kurang dari 3,000 jurnal, yang bereputasi internasional dan terindeks Scopus bahkan baru 47 Jurnal, tapi sejauh yang saya ketahui saat ini  belum ada jurnal di Indonesia yang terindeks Web of science.

Jadi kesimpulannya terserah anda. Namun sebaiknya kita produktif meneliti dan menulis dulu dan dimana mempublikasikannya itu nanti barangkali yang menjadi pertimbangan. Namun seyogyanya tidak perlu antipati terhadap Scopus, meskipun demikian akan bijaksana kalau pemerintah mencoba untuk tidak terlalu bergantung pada Scopus, karena banyak pengindeks lainnya yang juga bereputasi, dengan segala plus dan minusnya.  Yang jelas Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menargetkan pada 2019 ini Indonesia menjadi ‘leader’ di ASEAN dalam hal peningkatan jumlah publikasi ilmiah.

 *Aam Bastaman (Universitas Trilogi). Sekjen Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI). Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN).

Aam Bastaman.jpg
Aam Bastaman1 Comment