PETUNJUK SINGKAT INTERVENSI TERPADU UNTUK ENTASKAN KEMISKINAN  


Petunjuk ini dipergunakan bersama dengan penggunaan Peta Keluarga yang dikpelihara oleh

BKKBN Pusat dan Daerah di seluruh Indonesia

Draft disiapkan oleh :

Prof. Dr. Haryono Suyono, mantan Menko Kesra dan Taskin RI

dan Dr. Mawar Nurdin, mantan Sestama BKKBN

 Jakarta, 6 Mei 2019

Pendahuluan

Upaya pengentasan kemiskinan selalu menjadi program yang menarik dan dilakukan sungguh-sungguh oleh pemerintah melalui berbagai upaya. Sebagian upaya itu dilakukan secara sendiri-sendiri dan sebagian lain dilakukan secara terpadu. Upaya yang dilakukan oleh berbagai Kementerian di masa lalu secara sendiri-sendiri telah membawa hasil tetapi dibandingkan dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan upaya sendiri-sendiri oleh masing-masing kementerian itu terhitung mahal dan membuang tenaga tetapi belum tentu membawa hasil yang diharapkan. Sebabnya adalah karena suatu kementerian biasanya terkonsentrasi pada bidangnya masing-masing dan belum tentu memberi solusi terpadu yang dihadapi oleh sebuah keluarga miskin.

Upaya terpadu melalui dua Keputusan Presiden pada tahun1900-an, yaitu upaya dengan dukungan InpresDesaTertinggal (Inpres IDT) yang dikoordinasikan oleh Menteri Ketua Bappenas, dan upaya yang didukung Inpres Pembangunan Keluarga Sejahtera (InpresPKS) yang dikoordinasikan oleh Menteri Kependudukan/ .Kepala BKKBN ternyata membawa hasil gemilang yang mendorong penurunan tingkat kemiskinan menjadi sekitar 11 persen pada tahun 1997. Berkat prestasi tersebut Presiden Soeharto mendapat penghargaan UNDP PBB pada tahun tersebut.

Upaya ini dilanjutkan oleh Presiden Jokowi dengan gegap gempita, sehingga mulai tahun 2015 dikeluarkan dana desa yang langsung dikirim kedesa-desa dalam jumlah yang sangat besar. Dana tersebut pada empat tahun pertama dipergunakan oleh hampir 75.000 desa untuk pengembangan infrastruktur desa seperti jalan, jembatan, embung desa, sarana olah raga, Bumdes dan lainnya.

Mulai tahun 2019 pembangunan diutamakan pada fokus utama infrastruktur itu dilanjutkan pada upaya membangun sumberdaya manusia dan peningkatan kemampuan serta kesempatan sumber daya manusia membangun dan mengolah sumber daya alam yang ada di desanya dalam bentuk Bumdes atau Prukades, sehingga menghasilkan keluarga yang mandiri dan sejahtera. Diharapkan dengan mutu sumber daya manusia yang meningkat kemampuan suatu desa untuk mandiri dan menghasilkan lapangan kerja bagi warganya bertambah luas dan akibat langsungnya adalah kemampuan bagi setiap keluarga meningkat sehingga terbentuk keluarga mandiri yang bahagia dan sejahtera secara lebih lestari serta siap membangun bangsa yang besar dan sejahtera.

Fungsi keluarga dan Peta Keluarga

Upayapemberdayaan keluarga secara nasional di dasarkan pada UU No. 10 tahun 1992 atau pembaharuannya sebagai UU No. 52 tahun 2009 dengan semua PP yang mendukungnya. UU itu adalah dasar hukum untuk pemberdayaan keluarga karena menurut UU tersebut keluarga Indonesia dibagi menurut posisi perkembangannya, yaitu mulai sebagai Keluarga Prasejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III dan Keluarga Sejahtera III Plus.

Untuk melihat suatu posisi keluarga maka kita perhatikan posisi keluarga tersebut menurut indikator tahapan fungsi-fungsi keluarga seperti digariskan oleh UU bahwa setiap keluarga Indonesia dalam suatu tahapan bisa naik kalau variabel tertentu dipenuhi dengan baik dan naik ke tahapan berikutnya bila memenuhi kriteria berikutnya yang disebutkan dalam delapan fungsi keluarga. Secara global fungsi keluarga itu merupakanprototype dari sasaran MDGs atau SDGs yang jumlah targetnya secara global dinyatakan memiliki 18 target yang harus diselesaikan dalam 15 tahun. Secara tingkas delapan fungsi keluarga itu adalah sebagai berikut :

Sebuah keluarga dianggap sebagai keluarga bahagia dan sejahtera kalau memenuhi delapan fungsi keluarga secara paripurna, yaitu FungsiKetuhanan Yang MahaEsa, FungsiBudaya, FungsiCinta Kasih, FungsiPerlindungan, FungsiKesehatan dan KB, Fungsi Pendidikan, FungsiWirausaha dan FungsiLingkunganHidup. Delapan fungsi keluarga itu diterjemahkan dalam “proxy indikator”sederhana yang bersifat “mutable”, artinya bisa diusahakan untuk diubah oleh setiap keluarga. Indikator-indikator itu digariskan dalam UU untuk setiap tahapan keluarga; mulai dari Keluarga Prasejahtera sampai kepada Keluarga Sejahtera III Plus. Fungsi sosial “berbagi kepada keluarga lain” misalnya, belum diharuskan bagi keluarga prasejahtera, tetapi baru dibebankan kepada keluarga sejahtera III plus, sehingga keluarga dianggap sejahtera III plus kalau keluarga tersebut telah bisa mencukupi segala keperluan hidupnya sekaligus berbagi kepada keluarga lain yang kurang mampu atau miskin.

Intervensi Terpadu

Seperti dijelaskan di muka, yang perlu mendapat intervensi bantuan terpadu atau dukungan pemberdayaan terpadu dalam proses pemberdayaan adalah keluarga prasejahtera dan sejahtera I. Intervensi itu sangat tepat kalaudatangdarikeluargasejahtera III dan keluargasejahtera III plus atau kesatuan yang adadalamkomunitas itu sendiri, sehinggaadakesempatan bagi keluarga tetangga salingmendampingisecaradekatagar intervensi yang diberikan betul-betul dikerjakan oleh keluarga sasaran dan berkelanjutan, sekaligus dapat menghidupkan kembali jiwa gotong royong antara masyarakat di akar rumput. Adanya pendamping yang sangat dekat dan akrabsangat diperlukan karena keluarga sasaran akan mengerjakan intervensi bantuan yang diberikan tersebut bagaikan seseorang yang sakit dan memerlukan “minum obat” secara teratur dan tertib tanpa ada yang kelupaan, agar efeknya dapat berlangsung dengan baik dan berhasil.

Apabila intervensi bantuan dilakukan oleh kalangan diluar komunitas terdekat, maka diperlukan adanya pendampingan, agar intervensi itu berkelanjutan, karena tanpa adanya intervensi berkelanjutan, maka intervensi itu sangat kecil manfaatnya dan tidak akan mampu mengantarkan keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I lepas dari kemiskinan, yang biasanya telah berlangsung lama.

Sesungguhnya bukan adanya pendampingan yang terpenting, tetapi keberlanjutan dari suatu intervensi yang dengan disiplin tinggi dilaksanakan oleh keluarga sasaran sendiri, seakan  seorang sakit yang tinggal dirumah dan seorang sakit yang dirawat di rumah sakit. Karena intervensi harus bersifat berlanjut maka keperluan adanya pendampingan yang sangat dekat dengan keluarga sasaran yang dibantu menjadi sangat penting. Karena itukeluarga yang dientaskan dari lembah kemiskinan atau dari posisi prasejahtera dan sejahtera I keposisi berikutnya sebaiknya diajak bergabung dalam suatu Kesatauan Pemberdayaan atau di masa laludijadikan anggota Posdaya atau anggota Kelompok PKK di desanya. Dengan demikian seluruh anggota Posdaya atau Kelompok PKK menjadi pendamping keluarga yang mendapat bantuan pemberdayaan atau mendapat dukungan intervensi terpadu dari manapun asalnya, seakan pendamping adalah petugas kesehatan atau suster pendamping bagi pasien yang sedang dirawat di rumah sakit.

Dukungan  intervensi itu ditujukan untuk memperbaiki nilai atau kondisi dari indicator utama dari setiap posisi keluarga, misalnya dibawah ini adalah indikator utama keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I yang harus ditingkatkan agar keluarga tersebut bisa naik ke posisi keluarga sejahtera II dan seterusnya, naik lagi menjadi keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus atau bebas dari kemiskinan.

Dari setiap kategori keluarga, kalau ada satu saja yang jawabnya “ya”, maka keluarga tersebut belum bebas dari posisinya dalam kelompok Prasejahtera atau Sejahtera I, sehingga melalui intervensi setiap keluarga harus bebas dari jawaban “ya” dan bisa dinyatakan naik ke posisi yang lebih baik

•         Apakah anggota keluarga makan dua kali sehari atau kurang, ya atau tidak;

•         Apakah memiliki pakaian layak pakai, ya atau tidak;

•         Rumahnya tidak berlantai tanah, ya atau tidak;

•         Apabila anak sakit dibawa ke rumah sakit atau ke fasilitas/tenaga kesehatan, ya atau tidak;

•         Seminggu sekali makan daging, ya atau tidak;

•         Apakah paling kurang memperoleh satu setel pakaian baru satu tahun satu kali, ya atau tidak;

•         Memiliki rumah dengan luas lantai sekitar 8m2 untuk setiap penghuni rumah, ya atau tidak;

•         Seluruh anggota keluarga bisa baca tulis, ya atau tidak;

•         Anak-anak bersekolah, ya atau tidak;

•         Memiliki satu anggota keluarga yang bekerja, ya atau tidak;

•         Selama satu bulan terakhir seluruh anggota keluarga sehat, ya atau tidak;

•         Keluarga melaksanakan ibadah menurut agama/kepercayaannya, ya atau tidak;

 

Apabila suatu keluarga mempunyai satu saja dari indikator tersebut diatas yang jawabannya “tidak”,maka keluarga itu dianggap sebagai keluarga prasejahtera atau keluarga sejahtera I, sehingga untuk menjadi keluarga sejahtera II, indikator yang memiliki jawaban “tidak” tersebut harus diperbaiki dan biasanya proses perbaikan tersebut berlangsung lama atau lestari, atau setidak-tidaknya bukan hanya berlangsung dalam satu dua hari saja. Misalnya anaknya sekolah dengan baik setiap hari bukan hanya sekolah pada waktu dicacah atau pada waktu di catat oleh petugas saja, tetapi benar-benar sekolah sampai ke tingkat yang tertinggi.

Sebagai contoh, pada intervensi pertama, sebuah keluarga termasuk dalam kategori keluarga sejahtra I karena“makan hanya dua kali sehari atau kurang”, maka penyelesaiannya bukan dengan cara pada saat didaftar diberi makan ekstra satu kali lagi, tetapi keluarga tersebut perlu diberi pekerjaaan, sehingga setiap hari bisa makan lebih dari dua kali.  Pada intervensi awal keluarga itu diberi tambahan makanan, sehari, dua hari, tiga hari mungkin sampai satu minggu secara cuma-cuma oleh masyarakat setempat atau oleh PKK dan kelompoknya; tetapi selanjutnya keluarga itu perlu diberi pelatihan kerja dan kesempatan kerja agar bisa membeli makanan sendiri untuk menjamin bahwa anggota keluarganya makan lebih dari dua kali sehari atau makan cukup sehingga berubah menjadi keluarga sejahtera. Dengan demikian mereka tidak makan gratis lagi dengan bantuan tetangga atau tidak lagi tergantung pada bantuan pemerintah semata. Ini artinya dengan intervensi terpadu itu esensi yang penting adalah bahwa sebuah keluarga berubah dari hidup yang menunggu bantuan menjadi hidup yang mandiri.

Contoh : Intervensi kedua, sebuah keluarga dianggap sebagai keluarga sejahtera I, karena hanya memiliki satu setel pakaian saja untuk segala keperluan sehari-hari, artinya untuk tidur, untuk bekerja, dan untuk keperluan lainnya, pakaiannya itu itu saja, maka penyelesaiannya pada tingkat pertama bisa berupa bantuan satu atau dua setel pakaian untuk berbagai keperluan, seperti untuk pergi ke sawah, pergi ke rumah ibadah, atau pakaian untuk keperluan lainnya. Setelah itu, sementara yang bersangkutan menerima bantuan pakaian, maka keluarga itu seolah-olah bebas dari kemiskinan, namun sifatnya masih sangat sementara. Selanjutnya keluarga itu harus mampu beradaptasi dengan tetangganya, sehingga perlu memiliki pakaian untuk sholat dan untuk keperluan lainnya, sehingga keluarga tersebut bisa bergaul bersama masyarakatnya. Karena itu keluarga yang bersangkutan perlu dilatih untuk bisa bekerja yang mendatangkan uang, misalnya ikut kegiatan Padat Karya Tunia, ikut pelatihan kerja, ikut pelatihan menjadi tukang dan lainnya, sehingga bisa mendapatkan kerja tetap agar dapat membeli pakaian dan  keperluan hidup lainnya.

Contoh : Intervensi ketiga, bila ada anak atau anggota keluarga yang sakit dibawa ke klinik  atau dilayani pada sarana ataupun tenaga kesehatan. Keadaan ini berarti bahwa keluarga itu sadar hidup sehat, sehingga apabila ada anggotanya yang sakit segera dibawa ke klinik atau fasilitas/tenaga kesehatan untuk disembuhkan. Keluarga yang bersangkutan sadar ,bahwa tingkat kesakitan dan tingkat kematian dalam lingkungan keluarganya dijaga dengan baik pada tingkat yang rendah.  Satu bacaan rumus makro yang dibawa kepada tingkah laku mikro oleh setiap anggota keluarga. Intervensi yang dilakukan untuk keluarga tersebut bukan sekedar menyuruh kepala keluarganya membawa anggotanya ke klinik, tetapi juga untuk memberi penyuluhan dan peningkatan pola hidup sehat, sehingga setiap anggota keluarganya yang sakit otomatis pergi  berobat, sehingga tingkat kesakitan atau tingkat kematian dalam keluarganya menjadi sangat rendah.

Contoh intervensi keempat, yaitu bila pasangan usia subur belum ber-KB, padahal masih berusia subur, maka diharapkan segera pergi keklinik KB untuk memperoleh pelayanan KB. Intervensi ini relatif sederhana,tetapi sesungguhnya pasangan keluarga itu tidak perlu menunggu, kalau perlu segera dilayani dengan baik, lebih-lebih kalau keluarga tersebut masih muda. Andaikan si istri sedang mengandung, maka perlu dicatat dengan baik, agar setelah melahirkan segera mendapat prioritas untuk dilayani dengan baik, karena kalau mereka sudah ikut KB dan bila syarat lain sudah dipenuhi,maka keluarga tersebut langsung termasuk dalam kategori keluarga sejahtera II. Masalahnya menjadi kompleks kalau keluarga tersebut tidak mau ber-KB dengan berbagai alasan, sehingga biarpun semua variabel lain sudah terpenuhi tetapi kalau syarat ini tidak terpenuhi,maka keluarga tersebut tetap dianggap sebagai keluarga sejahtera I.

Contoh intervensi keenam, apabila ada suatu keluarga dimana ada anak berusia 7-15 tahun  dalam  keluarga tersebut tidak bersekolah, maka keluarga tersebut dianggap termasuk keluarga sejahtera I atau dianggap sebagai keluarga miskin. Kasus seperti ini bisa terjadi pada keluarga kaya dengan pemilikan sawah, sapi atau ladang yang luas,sehingga anak-anaknya dianggap akan aman di hari tua,karena orang tuanya kaya. Tetapi menurut definisi, keluarga seperti ini dianggap miskin, karena kekayaan orang tua bisa saja habis  kalau anaknya tidak sekolah. Anak bisa hidup sejahtera bukan karena harta warisan, tetapi karena kemandiriannya. Perlu intervensi motivatif agar keluarga tersebut mau mengirimkan anaknya bersekolah. Apabila salah satu anak bersekolah, maka keluarga tersebut dapat dianggap mampu dan mandiri. Keluarga seperti ini sesungguhnya sudah kaya dan mampu tetapi karena kekayaan itu tidak langgeng, maka diwajibkan setiap keluarga ditingkatkan menjadi keluarga mandiri dengan membujuk agar salah satu anaknya atau anak-anaknya bersekolah dan mandiri, sehingga pendidikannya tinggi, bukan semata karena harta peninggalan orang tuanya. Upaya intervensi terpadu sesungguhnya tidak memerlukan modal atau dana pemerintah tetapi keluarga tersebut perlu dibujuk agar mau mengirim anaknya sekolah.

Keikut sertaan Keluarga Prasejahtera dan Shtera I dalam berbagai kegiatan

                Upaya pengentasan kemiskinan ini pada akhirnya mengandung makna pemberian  kewajiban kepada anggota keluarga prasejahtera dan sejahtera I untuk aktif dalam kegiatan pendidikan, kesehatan dan memanfaatkan peluang kerja yang terbuka di desa atau di sekitar tempat tinggalnya. Kesempatan yang terbuka harus segera ditanggapi dengan sungguh-sungguh dengan tekad untuk lepas dari kemiskinan, karena keluarga yang miskin dan malas tidak akan pernah lepas dari kemiskinan. Ini artinya perlu diberikan motivasi kepada siapa saja yang memiliki kesempatan membangun di desa untuk menempatkan keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I dan anggotanya sebagai target pembangunan sehingga mereka, biarpun tidak mudah, selalu ikut serta dalam pembangunan melalui pemberdayaan yang terarah.

                Kenyataannya dalam hidup bermasyarakat, ada kalanya kesempatan itu tidak pernah diberikan oleh petugas atau penanggung jawab program yang ada di lapangan. Mengurus keluarga miskin jauh lebih sulit dibandingkan dengan mengurus keluarga yang lebih mampu, karena itu ada kecenderungan untuk mengalihkan kesempatan yang terbuka di desa kepada keluarga yang lebih mampu. Dalam hal seperti ini keluarga miskin harus dibantu untuk berani memberikan pelaporan kepada atasan langsung, seperti camat dan lainnya. Melalui KKN mahasiswa, para mahasiswa dapat ikut mengingatkan para pejabat agar peduli terhadap keluarga miskin, prasejahtera atau sejahtera I.

                Karena itu pada kesempatan Padat Karya Tunai atau kegiatan Bumdes yang ada di desa keluarga miskin perlu siap untuk berlatih dan bergaul erat dengan masyarakatnya agar bisa menjadi pembantu yang dapat diandalkan pada setiap ada kesempatan terbuka. Kalau malas mengikuti pelatihan, maka selamanya akan dianggap tidak memenuhi syarat dan tidak akan pernah lepas dari belenggu kemiskinan.

Dukungan Kuliah Kerja Nyata

                Para mahasiswa KKN atau relawan tingkat desa diberi  bekal peta keluarga desa dan ringkasan desa itu menyangkut adanya keluarga prasejahtera dan sejahtera I agar peduli pada keluarga yang kurang memenuhi syarat untuk naik ke dalam kategori berikutnya. Melalui petunjuk itu, dengan mudah para mahasiswa dapat membantu memberikan dukungan melalui intervensi secara terarah. Arahan khusus itu bisa mendorong upaya pengentasan kemiskinan tepat sasaran secara murah atau mudah, karena tidak semua intervensi “harusdibeli” atau perlu biaya, tetapi cukup dengan himbauan atau dorongan yang kuat untuk mengubah sikap dan tingkah laku semata.

                Kalau perlu para mahasiswa bias mengadakan pertemuan dengan kelompok yang anggotanya memiliki kekurangan yang sama, sehingga sesama keluarga lain dapat mengadakan perundingan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bersama oleh keluarga yang nasib atau kekurangan yang dihadapinya sama.

Peran Petugas Lapangan, PKK dan para pensiunan

Petugas Lapangan KB, Pendamping Desa dan PKK, pensiunan atau petugas lapangan berbagai Instansi lainyang dekat dengan keluarga sasaran dapat menjadi jembatan atau penerus dari gerakan yang dimulai oleh para mahasiswa melalui kegiatan KKN tersebut. Kegiatan terpadu itu bias menjadi suatu rangkaian kegiatan yang berkelanjutan, sehingga kegiatan pengentasan kemiskinan tidak bersifat “hit and run” ,tetapi merupakan suatu kegiatan berkelanjutan dan menghasilkan produk akhir entasnya keluarga prasejahtera dan sejahtera I dari lembah kemiskinan

Peran TNI di Desa serta Kegiatan TNI Manunggal

Selama ini jajaran TNI memiliki kekuatan dan kepedulian yang tinggi terhadap pembinaan masyarakat di tingkat desa. Mereka juga menggarap pembuatan MCK bersama masyarakat luas. Mereka juga mengadakan Gerakan TNI Manunggal bersama rakyat membangun desa. Kepada para anggota TNI yang akrab membangun desa perlu diberi peta adanya keluarga prasejahtera dan sejahtera I agar diikut sertakan dalam berbagai kegiatan terpadu.

Kesimpulan

                Melalui model intervensi atau dukungan tersebut, yang diurai dengan contoh-contoh praktis diatas, memberi peluang kepada setiap petugas pengentasan kemiskinan dan relawan pada tingkat daerah dan desa untuk menterjemahkannya dengan contoh kasus lokal yang sederhana lainnya, sehingga setiap petugas atau relawan bisa mengadakan improviasasi yang menarik agar motivasi keluarga sasaran meningkat. Dengan demikian untuk setiap keluarga betul-betul dipergunakan peta keluarga dan indikator keluarga sejahtera sebagai road map dalam nengisi kekurangan suatu keluarga untuk “naik” ke posisi keluarga yang lebih tinggi atau dengan kata lain lepas dari kemiskinan.

Petunjuk ini adalah garis besar secara umum yang bisa ditambah dengan hal-hal khusus, sehingga biaya untuk pengentasan kemiskinan menjadi lebih murah dengan hasil maksimal yang luas. Setiap keluarga diikuti secara cermat sampai betul-betul bebas dari lembah kemiskinan serta berkembang menjadi keluarga mandiri yang bahagia sejahtera. Amin.

Haryono SuyonoComment