Traveler Tic Talk: The Killing Fields

Apa yang terpikirkan saat mendengar kata Cambodia atau Kamboja? Negara kecil di kawasan Indo China berbatasan dengan Thailand, Laos dan Vietnam? Apakah pikiran anda tertuju ke nama  Pol Pot, Khamer merah? Mungkin itu yang mengemuka dipikiran anda? Bisa jadi. Pol Pot pimpinan Khamer merah merupakan rejim komunis yang sempat berkuasa di Kamboja, saat itu ia proklamirkan sebagai negara Demokratik Kampuchea, sekitar tahun 1976-1979. Rejim ini terkenal karena kekejamannya. Tercatat lebih dari 1.5 juta rakyat Kamboja terbunuh atau dibunuh, sebagian besar dengan cara-cara sadis yang diluar nalar kemanusiaan kita. Artinya saat rejim Pol Pot berkuasa 1 dari 4 orang Kamboja (yang berpenduduk sekitar 6 juta orang) terbunuh. Orang Kamboja dibantai oleh orang Kamboja sendiri. Itulah tragedi perang saudara Kamboja. Hollywood sempat memfilmkan tragedi ini dengan judul  The Killing Fields.

Akhir pekan beberapa waktu lalu di tengah cuaca Pnom Penh yang panas (38-40 derajat celcius) saya berkesempatan mengunjungi ladang pembantaian – Killing field, di daerah Choeung Ek, kurang lebih 15 km di luar kota Pnom Penh, atau dapat ditempuh dengan mobil sekitar 30 menit, Melalui rombongan turis kami membayar 15 dollar Amerika per orang, dijemput dari masing-masing hotel di Pnom Penh untuk tour sampai ke Choeung Ek Killing field dan museum Prison S21 di Kota Pnom Penh. Masuk kawasan Choeung Ek Killing field sendiri dipungut biaya 6 Dollar Amerika, dengan dikasih fasilitas tape dan head set yang kita bisa dengar sejarah pembantaian Choeung Ek Killing field diera Pol Pot. Head seat dan tape cukup informatif (tersedia dengan ragam bahasa, namun tidak ada Bahasa Indonesia), dengan mendengar kita bisa tahu sejarah dibalik pembantaian tersebut, dan bagaimana pembantaian dilakukan, termasuk cerita-cerita sedih para korban dan keluarganya.

Choeung Ek Killing field merupakan situs pembantaian, di tengah situs persis di depan pintu masuk ada bangunan monumen yang berisi tengkorak para korban, disebut Memorial Stupa, terdiri dari 7 tingkatan pajangan kaca, dengan tumpukan tengkorak dan tulang belulang.  Beberapa tengkorak dapat memberi petunjuk bagaimana para korban dibunuh, ada beberapa tengkorak yang berlubang, indikasi bagaimana penyiksaan dilakukan sebelum terbunuh.

Agak ngeri melihatnya. Apalagi dimasing-masing lokasi pembantaian ada informasi, gambar dan kata kata bagaimana korban dibantai. Ada kuburan massal isinya ratusan jasad manusia tidak berkepala, Pemerkosaan terhadap wanita, sebelum dibunuh.  Sifat kemanusiaan kita pasti terusik, betapa kejamnya rejim ini yang membunuh bangsanya sendiri secara sadis.

Pengunjung umumnya pada terdiam terbawa emosi perasaan ngeri, kasihan dan simpati kepada para korban. Banyak orang saya lihat termenung, sambil mendengarkan cerita pembantaian  di masing-masing pos dengan perasaan simpati kepada para roh korban yang tewas.

Masih di dalam kawasan ladang pembantaian terdapat musium kecil yang berisi photo-photo peristiwa pembantaian dan photo-photo pelaku serta korban, dan cerita dibalik pembantaian. Disamping itu kita bisa melihat beberapa kuburan massal yang diisi masing-masing ratusan korban, tempat interogasi dan pembantaian, pohon pohon yang digunakan untuk menggantung dan menyiksa korban, dan lokasi penyiksaan lainnya.

Ada satu hal yang membuat saya sangat trenyuh, dimana korban bukan hanya para pria dewasa kaum intelektual dan golongan menengah yang oleh rejim Pol Pot dianggap ancaman terhadap revolusi komunisme ala Kamboja. Ternyata banyak anak-anak dan balita yang menjadi korban. Cara anak-anak dibunuh juga diluar nalar kemanusiaan, mereka diangkat, diayunkan dan dibenturkan ke batang pohon yang keras. Ada pohon yang dipelihara sebagai bukti kebejatan para pelaku.

Pol Pot terobsesi dengan dogma komunis ala Kamboja, mencoba mengangkat dan mengistimewakan ras Khamer, kemudian memperlakukan semua warga sama rata dan sama rasa, bekerja sebagai petani dan pekerja dibawah kontrol partai, pusat kehidupan ada dipedesaan (kota dianggap bukan tempat ideal), agraris sentris, tidak menghargai lagi profesi, kompetensi dan keberagaman aspirasi hidup rakyatnya. Hidup semata mata untuk negara dalam kebersamaan partai, dan yang melawan dihabisi,  tanpa pengadilan. Rejim Pol Pot akhirnya tumbang pada tahun 1979. Pol Pot Kemudian menjadi tawanan rumah, dan meninggal tahun 1998.

Kini Kamboja kembali menjadi negara kerajaan  - Kingdom of Cambodia, dipimpin oleh Raja Norodom Sihamoni sejak 2004, anak dari pimpinan Kamboja yang melegenda Norodom Sihanouk yang dikenal cakap berdiplomasi. Konon Norodom Sihamoni belum menikah di usianya yang sudah 52 tahun. Saya banyak menangkap kesan pemujaan rakyat terhadap sang ayah jauh lebih tinggi dari pada kepada sang anak yang sekarang menjadi raja.

Cerita Kamboja adalah cerita pilu. Pelajaran bagi  bangsa kita yang baru saja usai melaksanakan Pemilu. Perang saudara kadang bisa lebih sadis dibandingkan dengan perang dengan bangsa  lain. Jika ada bangsa lain menyerang, rakyat bersatu  bahu membahu, namun dalam perang saudara terjadi perpecahan, permusuhan, dendam dan saling tidak percaya, dan akhirnya dapat menghilangkan akal sehat kemanusiaan untuk mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara. Semoga kita bisa banyak belajar dari  sejarah berdarah bangsa Kamboja, dan sejarah bangsa kita sendiri, tentu saja.

 

Aam Bastaman: Dosen Universitas Trilogi. Anggota Pokja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN).

Genoside Center Cambodia.jpg
Aam BastamanComment