Refleksi: Gagal dan Ambang Batas Kekecewaan

Anda pernah merasa gagal? Kecewa? Pasti lah ya… Namanya juga manusia hidup. Gagal dan kecewa dua hal yang berbeda, tapi berkaitan. Kalau gagal bisa jadi anda kecewa. Tapi jangan salah banyak orang setelah mengalami kegagalan justru bersemangat untuk belajar kembali untuk tidak mengalami kegagalan yang sama. Jadi bisa jadi anda gagal, tapi anda tidak kecewa (berlarut-larut) dan bisa bangkit kembali atau move on, kata anak-anak muda generasi milenial.

Sudah lama saya membaca satu buku dari Malaysia, malah saya lupa nama pengarangnya, yang ingat judulnya Dare to fail. Berani gagal. Buku itu mengajarkan bagaimana gagal merupakan hal biasa, malah bisa menjadi pintu terhadap keberhasilan berikutnya. Artinya kegagalan kalau dilihat dari kacamata positif bisa menjadi peluang untuk menjadi lebih baik dan sukses ke depan. Tepat sekali dalam perspektif ini kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Kemampuan untuk bangkit juga menjadi kesuksesan tersendiri. Tipe manusia seperti apa anda bisa dilihat bagaimana reaksi anda menghadapi kegagalan anda, karena gagal bisa dijumpai setiap saat selama kita masih hidup. Kegagalan bukan untuk diratapi. Bukan akhir dunia. Makanya buku itu diberi judul “berani gagal”.

Juga sudah banyak para motivator berseru gagal bukan segalanya. Harus bisa move on. Coba lagi, karena dibalik kegagalan ada hikmah yang jadi mutiara, jika bisa menyikapinya dengan baik.  Tapi ngomong-ngomong ‘kan banyak motivator yang gagal juga, terjebak dengan kekeliruannya sendiri, sehingga tenggelam. Kembali, itulah cerita manusia hidup dan bukti kegagalan bisa dijumpai setiap orang. Artinya gagal itu biasa.

Kegagalan masih sering diartikan tidak sukses, jelek, harus dijauhi, padahal manusia itu gudangnya kegagalan. Seperti para motivator yang tersandung kasus, dan gagal, tidak lagi dipercaya sebagai motivator. Kita tunggu kalau kegagalan itu sukses yang tertunda tentu kita mendambakan mereka yang gagal bisa bangkit kembali. Seperti para tokoh besar dunia, kalau kita perhatikan sejarah hidupnya seringkali dimulai dari perjalanan yang tidak mulus, penuh liku, sering gagal.

Sebut saja para penemu yang telah mengubah kehidupan manusia saat ini. Mulai dari Thomas Alfa Edison, sampai Einstein atau para industrialis raksasa dari Jepang seperti Kiichiro Toyoda, pendiri Toyota, kemudian Soichiro Honda pendiri Honda, pendiri Yamaha - Torakusu Yamaha, atau para industrialis Amerika, sebut saja William C. Durant salah satu pendiri General Motor, Henry Ford pendiri Ford atau Harland Sanders pendiri KFC, Ray Croc pendiri McDonald, atau itu pengusaha keturunan Yunani yang menikahi Nyonya mendiang Kennedy, Jackelyn Kennedy, Aristotle Onassis. Wah, daftarnya akan sangat panjang, tapi mereka adalah orang-orang yang kenyang dengan kegagalan, sebelum sukses. Mau contoh di Indonesia? Banyak pula para tokoh di Indonesia yang merangkak dari banyak kegagalan. Saya sering terinspirasi oleh William Suryajaya yang menjual Astra yang dibangunnya dari bawah sampai menjadi perusahaan raksasa dengan kualitas manajemen yang dihormati, demi menutupi utang sang anak…. Menurut saya ia orang sukses meski kehilangan trilyunan rupiah karena membantu sang anak. Ia sukses sebagai pribadi yang kuat.

Jadi tidak salah kalau ada hipotesis bahwa orang orang sukses itu adalah mereka yang sudah kenyang dengan kegagalan. Mereka adalah orang-orang gagal di masa lalu. Tapi ‘kan sukses itu bukan tujuan, sukses adalah perjalanan, itu kata teman saya yang senang belajar filsafat. Artinya orang-orang sukses itu juga berpeluang gagal lagi. Dasar orang suka filsafat, hal inipun diutak atik dan dipikirkan mendalam. Tapi ada benarnya juga. Kesuksesan hari ini belum tentu menjamin kesuksesan esok hari, karena kesuksesan bukan tujuan, tapi perjalanan. Success is a journey, not a destination sering saya temukan sebagai kata-kata motivasi yang banyak digantung di dinding kantor-kantor di Jakarta.

Ini cerita lain, banyak para pengusaha kaya raya dan artis tingkat dunia ternyata harus mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Lha, kenapa ya? ‘Kan mereka orang sukses? Ternyata sukses di satu bidang belum tentu sukses dalam kehidupanya yang lain. Ternyata banyak orang kaya merana hidupnya. Sehingga sampai di atas ambang batas toleransi kekecewaan, akhirnya memilih jalan bunuh diri. Saya jadi teringat cerita Adolf Merckle, salah seorang pengusaha Jerman terkaya, dan orang terkaya ke 94 di dunia versi majalah Forbes yang bunuh diri, setelah mengetahui ia menderita kerugian besar dari investasinya di Amerika Serikat. Padahal sisa kekayaannya masih selangit, dengan kehilangan tersebut ia masih berstatus salah seorang terkaya di Jerman.

Jadi? Apa yang disebut sukses itu mungkin sejatinya bisa kelihatan kala tokoh tersebut sudah meninggal. Meninggalkan jejak langkah hidupnya di dunia dan terpatri tidak bisa dirubah lagi. Kalau masih hidup adanya perubahan masih mungkin terjadi. Berapa banyak orang-orang yang sukses menjadi pejabat tinggi, menjadi menteri, gubernur, bupati, walikota, anggota DPR, memimpin lembaga atau organisasi dan kedudukan tinggi lainnya, tapi kemudian harus mendekam di penjara?  Masyarakat bisa menilai, seperti: Apakah Michel Jackson, Marilyn Monroe, Elvis Presley, Whitney Houston itu sukses, mengingat masa akhir hayatnya tragis, atau penyanyi Inggris keturuan Pakistan Freddy Mercury, atau John Lenon itu sukses? Jadi sukses itu menjadi relatif, para artis dan penyanyi tersebut legenda dijagat musik dan jagat selebritas, tapi sebagai pribadi belum tentu menikmati kebahagiaan dari kesuksesannya itu.

Jadi? Kita bisa menciptakan kesuksesan kita sendiri, dengan menyadari sewaktu waktu kita bisa gagal, namun bangkit dari kegagalan bisa menjadi kesuksesan itu sendiri. Yang penting bisa menjadi bahagia, antara lain karena bersyukur, tidak perlu membandingkan, konon persepsi kita suka melihat rumput tetangga lebih hijau… itu persepsi… bisa beda dengan kenyataan. Tapi seringkali kita dipermainkan oleh persepsi kita sendiri, kemudian tidak pernah merasa puas. Jadi, sangat bijak untuk menjadi diri sendiri, sambil terus produktif berkarya. Barangkali begitu ya?

Salam produktifitas!

 

*Aam Bastaman: Dosen Senior Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Pokja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN). Editor Senior Gemari.id

Aam Bastaman.png
Aam BastamanComment