Kelompok Akseptor, Kampung KB, UPPKS dan Desa Sejahtera
Salah satu ciri dari program KB yang sejak diperkenalkan pada tahun 1850-an secara resmi oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) adalah dinamika yang tidak kunjung surut. Pada awal KB diperkenalkan pada ibu hamil dengan risiko tinggi oleh dokter ahli kandungan, program ini menaik, tetapi tidak laku keras Banyak Ibu hamil dengan risiko tinggi biasa tidak dikenal oleh khalayak, bahkan yang hamilpun tidak tahu bahwa kehamilannya beresiko tinggi.
Perkenalan itu diperluas sehingga Pengurus PKBI yang mayoritas dokter ahli kandungan dirombak dan ditambah dengan ahli hukum atau ahli di bidang lain sehingga KB diperkenalkan dengan sasaran yang lebih luas, termasuk menghimbau kalangan pemerintah agar membantu mengembangkan komitmen lebih tinggi. Perhatian masyarakat makin tinggi dan pada tahun 1960-an Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mulai menggagas program pemerintah yang disambut baik oleh Pj. Presiden Soeharto yang secara berani melihat KB sebagai bagian dari upaya pengurangan kelahiran sefara lebih nyata.
Pak Harto melihat program KB sebagai bagian awal dari upaya membangun sumber daya manusia untuk pembangunan dengan mengajak semua keluarga Indonesia sebagai basis yang luas untuk bersama-sama mempersiapkan SDM secara nasional. Untuk memberi dukungan pengembangan SDM Nasional itu pak Harto mempersiapkan dua komponen pokok nasional yaitu mengeluarkan Inpres Kesehatan dan Inpres Pendidikan. Atas dasar Inpres tersebut dimana-mana dibangun Puskesmas agar keluarga Indonesia hidup lebih sehat, menyekolahkan anak-anaknya sehingga komponen SDM bertambah banyak, sehat dan cerdas untuk membangun bangsa dan seluruh kebutuhan infrastrukturnya. Selanjutnya dikeluarkan juga Inpres Pasar agar keluarga yang berkembang itu aktif dalam kegiatan ekonomi menghasilkan produk pertanian dan industri laku jual k ke pasar domestik di desanya atau ke kota dan menguntungkan.
Sejak tahun 1970 target KB berkembang dari mengajak pasangan usia subur menjadi Akseptor KB kemudian diajak bergabung dalam Kelompok Peserta KB yang setia, belajar kegiatan ekonomi, bergabung dalam Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) dan bergerak serentak dalam kegiatan mengakses kredit dari Bank dan lembaga keuangan lainnya. Kelompok Peserta KB tersebut mulai menggagas tujuan KB bukan sekedar pasang spiral atau minum pil dan hidup sehat, memenuhi salah satu dari delapan fungsi keluarga yaitu fungsi hidup sehat dan ber-KB, tetapi bergabung dalam pengajian bagi yang beragama Islam, mengirim anaknya ke sekolah sejak dini, berlatih bekerja, bekerja dan mencari nafkah lebih getol dengan sayang pada lingkungannya melalui upaya mengolah Kebun Bergizi dan sayang pada lingkungan lebih luas agar lestari untuk anak cucu.
Program KB memasuki wilayah yang dalam istilah internasional disebut sebagai masuk era “beyond family planning”mulai merambah wilayah seperti Yogyakarta, Jakarta, Sulawesi Utara, Bali dan kemudian Jawa Timur. Karena kepeloporan itu, Indonesia menjadi incaran dunia dan pada Konperensi Kependudukan Dunia di Kairo, Mesir, tahun 1994 pengalaman Indonesia mewarnai medan Konperensi yang menghasilkan rumusan yang berbeda dengan rumusan Konperensi Dunia sebelumnya. KB sebagai program kontrasepsi dalam dokumen Kairo hanya 14 persen dan sisanya adalah keputusan tentang bahasan pembangunan keluarga dan masalah kependudukan dalam rangka keseimbangan antara penduduk dan daya dukung lingkungan agar kehidupan planet bumi makin sejahtera untuk anak cucu cicit di masa depan.
Karena besarnya negara kita dan daya tangkap masyarakat yang berbeda-beda, penerimaan upaya penurunan tingkat kelahiran dan penurunan tingkat kematian tidak sama di semua desa. Kawasan Barat, kawasan dekat wilayah perkotaan umumnya lebih cepat sehingga segera memperoleh penurunan tingkat kematian dan tingkat kelahiran lebih cepat, akibatnya daerah-daerah tersebut mendapatkan “bonus demografi” lebih cepat dan penduduk produktif dengan pendidikan tinggi di daerah tersebut membangun daerahnya lebih cepat sehingga keluarga di daerah tersebut relatif lebih sejahtera dibanding keluarga di wilayah lainnya.
Ketimpangan dalam pembangunan itu terjadi juga dalam bidang lain sehingga tidak setiap keluarga di seluruh Indonesia berada pada posisi yang sama, banyak keluarga Indonesia berada pada posisi keluarga sejahtera, atau sejahtera I, tetapi banyak daerah tidak memiliki keluarga sejahtera III atau IIII plus, sehingga daerah itu tertinggal dalam pembangunan. Kesenjangan antar keluarga sangat mengangga.
Pada masa Presiden Soeharto diusahakan mengatasi kesenjangan itu melalui program delapan jalur pemerataan, termasuk upaya pengentasan kemiskinan melalui Program IDT di 20.000 desa tertinggal dan IPM di 40.000 desa tidak tertinggal. Kedua program ini pada tahun 1987 berhasil menurunkan angka kemiskinan secara nasional menjadi 11 persen dan Indonesia mendapatkan penghargaan UNDP PBB yang diserahkan langsung oleh Dirjen UNDP kepada Presiden Soeharto di Jakarta.
Program itu belum selesai. Presiden Jokowi melanjutkan program tersebut dengan menempatkan desa sebagai titik sentral pembangunan dan pemerintah menyediakan dana yang besar dikirim langsung untuk pembangunan desa mulai tahun 2015. Sampai tahun 2019 dana yang diserahkan langsung ke desa itu berjumlah tidak kurang dari Rp. 250 trilliun. Seperti juga pak Harto, upaya membangun desa dan masyarakat desa itu dibarengi dengan pengembangan sumber daya manusia, biasa diukur dengan ukuran IPM, antara lain mengharapkan program KB bergerak lebih cepat dan program kesehatan menjangkau melindungi seluruh rakyat sampai ke desa. Kepada program KB, khususnya desa-desa tertinggalnya diperintahkan agar dibentuk Kampung KB sebagai stimulan mendongkrak program KB. Melalui bidang kesehatan digerakkan Germas, Gerakan Masyarakat Sehat dan kepada Menteri Desa PDTT diharapkan agar Desa Tertinggal segera di tingkatkan menjadi Desa Mandiri.
Setelah fungsi keluarga dalam bidang kesehatan dan KB makin sempurna, diikuti oleh sebagian besar keluarga muda, maka keluarga segera mengirim anaknya ke pendidikan agama, Posyandu untuk ditimbang secara teratur, dan segera dimasukkan dalam PAUD agar menjadi terbiasa untuk sekolah. Selanjutnya diteruskan ke sekolah SD, SMP, SMA sampai ke pendidikan tertinggi agar mudah bekerja. Fungsi pendidikan harus disiapkan sejak anak usia dini sehingga pada saat anaknya dewasa tidak sukar memenuhi fungsi kerja dan mencari uang dengan pekerjaan yang halal dan menghasilkan.
Ini artinya Kampung KB harus menjadi Kampung Sejahtera karena kebutuhan keluarga tidak lagi hanya KB, Kesehatan, atau Posyandu dan Klinik, tetapi fasilitas agama, lapangan kerja dan pasar serta perhatian yang tinggi terhadap lingkungan agar terpelihara kelestarian lingkungan untuk anak cucu dan cicit di masa depan. Ini berarti Kampung KB bukan sesuatu yang permanen, tetapi kampung awal agar kesadaran ber-KB mengantar keluarga bergerak lebih lincah karena tidak sering hamil dan siap bekerja cerdas dan keras membangun keluarga sejahtera yang cinta lingkungan yang lestari. Semoga.