Selamat Datang MRT Jakarta
Selamat datang MRT. Itulah kira-kira berita yang ramai di media baik media mainstream maupun media sosial saat diresmikannya MRT Jakarta tahap pertama rute Lebak Bulus – Bundaran HI oleh Presiden Joko Widodo, hari Minggu 24 Maret 2019. Peresmian beroperasinya MRT tersebut disambut dengan antusias oleh masyarakat.
Setelah masa penantian lumayan lama, lebih dari 30 tahun akhirnya Jakarta memiliki MRT (Mass Rapid Transit) yang di dalam Bahasa Indonesia dipakai padanan Moda Raya Terpadu (MRT). Hanya meskipun sudah ada padanan bahasa Indonesia, pengucapannya masih eM aR Ti, bukan eM eR Te. Biasa, kadang kebiasaan menyebut atau mengucapkan sesuatu bisa menjadi biasa sesuai pengucapan awal, namanya juga kebiasaan. Ini persis dengan sewaktu kita mulai mengoperasikan Trans Jakarta (Te Je), masih banyak orang menyebut Bus Way, mungkin sampai sekarang. Tidak bisa disalahkan karena kebiasaan, dan nampaknya bagi masyarakat mungkin lebih mudah mengucapkan Bus Way daripada Trans Jakarta, tapi sekarang pelan-pelan nama Trans Jakarta sudah mulai lebih banyak dipakai. Maka untuk MRT biarlah dulu, sementara eM aR Ti.
Bagi mereka yang suka melancong pasti sudah paham moda transportasi yang seperti ini dapat ditemui di kota-kota utama dunia seperti Singapura, Tokyo, London, atau bahkan Kuala Lumpur, yang sudah beroperasi jauh hari sebelum kita. Moda transportasi MRT biasanya menjadi catatan penting para pelancong kita, karena mereka merasakan kenyamanan transportasi publik di kota-kota tersebut. Makanya tidak aneh, dulu kita sering berpikir kok di Jakarta ga ada ya…? Atau kenapa ya di Jakarta ga ada..?
Moda transportsi MRT Jakarta tahap pertama ini melayani rute Lebak Bulus – Bundaran HI, dengan jarak sekitar 16 km (jalur bawah tanah 6 km, dan jalur layang 10 km), melayani 12 stasiun pemberhentian sebelum mencapai Bundaran HI, dengan jarak tempuh sekitar 30 menit. Adanya moda transportasi baru ini tentu saja diharapkan menjadi salah satu solusi kemacetaan di Jakarta. Tapi betulkah moda transportasi ini akan mengurai kemacetan kota Jakarta? Tentu saja ya, jika orang-orang yang biasa mengemudikan mobilnya sendiri beralih menggunakan moda tranportasi pubik ini. Masalahnya seberapa banyak para pemiik kendaraan pribadi yang akan beralih ke moda transportasi ini, itu yang menjadi pertanyaan besar.
Dioperasikannya MRT juga membutuhkan perubahan budaya, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke atas dari cenderung mengemudi sendiri menjadi budaya bertransportasi publik, bergabung dengan masyarakat lain untuk menempuh perjalanan kota. Di Luar negeri misalnya Tokyo, Singapura, London atau Istanbul, hampir semua strata sosial masyarakat menggunakan tranportasi publik, dan biasa-biasa saja, mulai dari para eksekutif perusahan swasta, pejabat pemerintah, mahasiswa, para pegawai kelas menengah, bos pemiliki usaha UKM atau usaha lainnya, juga para wanita yang modis. Di Indonesia kalangan eksekutif yang tidak terlalu kaya kaya amat malah banyak yang belum terbiasa dengan angkutan umum. Ada masalah lain juga, ini masih berkaitan dengan budaya, banyak eksekutif yang ingin dilihat berhasil sukses, tanda keberhasilan seringkali ditunjukkan dengan kepemilikan mobil, apalagi mobil mewah. Faktor gengsi di angkutan publik juga kadang terjadi, masyarakat yang menganggap dirinya sudah berhasil, sudah mampu secara ekonomi tidak mau bergabung beramai-ramai menggunakan moda transportasi publik. Apalagi dulu ada paradigma yang salah kaprah, bahwa moda transportasi publik dioperasikan hanya untuk melayani masyarakat umum, masyarakat biasa, masyarakat yang secara ekonomi belum dianggap mampu.
Kalau dulu jaman kereta api Jabodetabek masih berjubel, sampai menutupi atap kereta api (kita pernah mengalami masa-masa seperti itu), dan angkutan publik lainnya belum sebagus sekarang, maka sangat dimaklumi para eksekutif, direktur, manajer senior, masyarakat yang secara ekonomi cukup mapan atau para pejabat papan menengah kita masih enggan naik angkutan publik. Dulu angkutan publik identik dengan waktu tunggu yang lama, kotor dan bau, keamanan yang meresahkan (isu copet, penodongan dan lain-lain), apalagi aspek kenyamanan, jauh dari harapan. Angkutan publik saat itu belum bisa diandalkan.
Ini baru permulaan, mudah-mudahan dalam waktu dekat kita juga bisa menyaksikan beroperasinya LRT (Light Rail Transit atau sekarang dipopulerkan dengan nama Lintas Rel Terpadu) Jabodetabek yang melayani Cikarang dari arah tol Cikampek dan Cibubur dari arah tol Jagorawi Bogor sampai Jakarta (plus tambahan banyak rute lainnya), serta perluasan MRT tahap II. MRT Melengkapi sarana transportasi publik yang sudah ada yang diakui berbagai kalangan masyarakat sangat membantu yaitu Comuter Line, Trans Jakarta dan yang terbaru kereta Bandara yang optimalisasi penggunaannya masih perlu ditingkatkan.
Mudah-mudahan di era efisiensi dan produktifitas ini, masyarakat mampu juga lebih rasional, bukan masalah gengsinya yang dikedepankan, tapi eisiensi dan efikitifitas moda transportsi. Kadang saya salut melihat orang orang necis berjas dan berdasi ikut bergelantungan di Tube, kereta api bawah tanah, atau jenis kereta lainnya di jalanan kota London. Atau para wanita necis bersama para pria eksekutif berdiri di kereta bawah tanah kota Tokyo, mereka biasa-biasa saja. Mudah-mudahan angkutan umum atau angkutan publik sesuai namanya dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan kita memiliki paradigma baru yang lebih positif dalam berkebudayan tranportasi kota.
Selamat buat warga Jakarta, semoga bisa memanfaatkan MRT secara optimal.
*Aam Bastaman, dari kampus Universitas Trilogi. Senior Editor Gemari.id