Membangun Kampung KB sebagai awal Pembangunan Desa dan Keluarga Sejahtera
Haryono Suyono
Segera setelah tahun 1965 pak Harto membebaskan kita dari cengkeraman Bahaya komunis, maka lahirlah program-program utama pembangunan dalam bidang pemberdayaan manusia dengan mencuatnya Program Inpres Pendidikan Sekolah Dasar, disusul wajib belajar kemudian meningkat ke SMP dan selanjutnya ke tingkat pendidikan SMA dan seterusnya. Pada saat yang bersamaan dilakukan Inpres Kesehatan disusul dengan Inpres Pasar dan dengan mengejutkan pak Harto bergabung dengan Gerakan para Pemimpin Dunia pada tahun 1969 memberi perhatian pada upaya keluarga berencana menurunkan tingkat kelahiran dengan pendekatan hati-hati menurunkan angka kematian ibu hamil, melahirkan dan angka kematian bayi dan anak balita. Hanya kemudian pada tahun 1973 program pendekatan medis di perluas menjadi pendekatan masyarakat. Pada tahun 1975 terbukti bahwa pendekatan masyarakat dapat diterima oleh kaum ulama dan para pemimpin agama lain sehingga program KB menanjak bukan hanya untuk kesehatan ibu dan anak tetapi membangun keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, suatu upaya membangun Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS), suatu gerakan perubahan sosial budaya pada tingkat keluarga dan masyarakat di Indonesia.
Pada tahun 1980 program ini makin meluas ke seluruh Indonesia dan mendapat penghargaan yang mengejutkan dari dunia Internasional. Tiga tahun berikutnya secara resmi pendekatan itu di syahkan sebagai pendekatan nasional dan secara berani BKKBN mengumumkan bahwa upaya menurunkan tingkat kelahiran menjadi separo dari keadaan di tahun 1970 menjadi separonya pada tahun 2000 dipercepat sepuluh tahun, yaitu menjadi separonya pada tahun 1990. Melalui pendekatan masyarakat yang menempatkan para peserta KB tidak saja sebagai sasaran tetapi pemain utamanya, maka pelayanan KB, termasuk pemasangan alat KB yang bisanya hanya dilakukan di klinik, bisa dilakukan di rumah penduduk di desa atau di kampung-kampung.
Indonesia mengejutkan dunia dan kabar pendekatan “aneh” itu menyebar ke berbagai penjuru dunia sehingga banyak tamu belajar dan mengutip pendekatan kemasyarakatan yang menempatkan para peserta KB dan penggerak masyarakat di desa sebagai tokoh sentralnya. Secara terbuka masyarakat desa membuka dirinya dalam peta keluarga menyatakan tanpa malu-malu di kelompoknya cara KB apa yang digunakannya sehingga para petugas dari klinik dengan mudah bisa mengajak masyarakat desa ikut serta memberi dukungan pada para peserta KB di desanya. Bahkan dengan kesadaran yang tinggi para peserta membentuk kelompok yang bisa memberikan dukungan moril secara pribadi kepada para peserta sesuai alat atau cara KB yang digunakannya.
Pada tahun 1989 melalui berbagai studi, penelitian nasional dan internasional dampak program KB di Indonesia melompat lompat dan ada kecenderungan bahwa target penurunan fertilitas akan dicapai pada tahun 1990 bukan sesuatu yang mustahil. Ahli-ahli PBB dan dunia internasional silih berganti mengadakan berbagai pertemuan global di Jakarta, Bali atau di kota lain di Indonesia karena banyak para ahli dari berbagai negara di dunia ingin melihat kegiatan operasional di desa yang dianggap “aneh”, yaitu pendekatan kemasyarakatan yang melibatkan Presiden, para Gubernur, Bupati Walikota dan Kepada Desa serta banyak tokoh dan komponen pembangunan, termasuk guru besar, mahasiswa dan TNI ke desa dan wilayah lain yang tidak terjangkau oleh Rumah Sakit, Klinik KB atau pusat Pelayanan Medis KB yang terbatas dengan jumlah tenaga bidan yang hanya sekitar 8.000 orang untuk sebanyak 60.000 desa di seluruh Indonesia.
Keberhasilan di tahun 1980-an itu mengejutkan dan mendatangkan tenaga tehnis dari berbagai negara berlatih di Indonesia. Tidak terkecuali Menteri-menteri Kesehatan dan Kepala Negara terkejut bahwa seorang Presiden dengan mudah tidak perlu menjadi seorang dokter bisa menjadi pemimpin yang terhormat pada suatu perubahan sosial yang membawa dampak sangat tinggi terhadap masa depan bangsanya. Akibatnya pendekatan kemasyarakatan di Indonesia itu ditiru oleh berbagai negara yang mengirim staf seniornya sehingga para pejabat senior KB dari Indonesia memiliki pekerjaan rangkap, sebagai petugas untuk rekan-rekannya dari dalam negeri, dosen untuk pelatihan internasional dan akhirnya terpaksa “tugas ke luar negeri” sebagai tenaga “konsultan ahli” di berbagai negara. Aparat BKKBN di kenal akrab dan di undang membantu Duta Besar Indonesia di berbagai negara berkembang.
Pimpinan BKKBN menjadi sangat sibuk melayani berbagai Seminar Internasional dan undangan untuk menjelaskan pendekatan kemasyarakatan KB atau “FP Community Aproach” pada berbagai Pertemuan Internasional. Akhirnya kepada Kepala BKKBN diberikan penghargaan sebagai Inovator Dunia oleh Universitas John Hopkins yang sangat ternama di Baltimore, Washington DC, Amerika Serikat, berupa suatu Trophy Innovasi khusus serta pencantuman nama pada salah satu Ruang Pertemuan sebagai “Haryono Room” secara terhormat. Tidak lama setelah itu, pada 8 Juni 1989, Indonesia mendapatkan penghargaan UN Population Awards dari PBB yang diterima langsung oleh Presiden HM Soeharto, yang selama menjabat Presiden RI belum pernah berkunjung ke PBB di Amerika Serikat. Artinya kunjungan ke PBB di New York itu adalah kunjungan pak Harto yang pertama ke Amerika Serikat secara langsung karena sebelumnya pak Harto dianggap tidak layak berkunjung karena dianggap melanggar Hak-hak Azasi manusia karena peristiwa G30S.
Sejak saat itu Program KB memasuki babak baru sebagai pembangunan keluarga sejahtera secara bertahap. Untuk itu mulai dikembangkan UU khusus yang pada tahun 1992 di terima DPR sebagai UU Keluarga dan Pembangunan Kependudukan. Atas dasar UU itu setiap tanggal 29 Juni, bertepatan kembalinya keluarga Indonesia dari pengungsian bergerilya, ditetapkan sebagai “Hari Keluarga Nasional” yang selalu diperingati setiap tahun.
Program KB memasuki babak baru sebagai program pembangunan keluarga dan menjadi inspirasi bagi dunia untuk mengubah program KB sebagai program Pokok Pembangunan Keluarga. Keberhasilan Indonesia mewarnai Konperensi Kependudukan Dunia tahun 1994 di Cairo, Mesir. Pada saat yang sama Indonesia menggagas upaya pengentasan kemiskinan secara sistematis. Presiden HM Soeharto mengeluarkan Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk menggerakkan pembangunan Infra Struktur, seperti halnya dengan dana desa dewasa ini, pada 20.000 desa tertinggal di Indonesia.
Kepala BKKBN mengembangkan analisis bahwa jumlah keluarga miskin di 20.000 desa jauh lebih sedikit dibanding jumlah keluarga prasejahtera dan sejahtera I di 40.000 desa tidak tertinggal karena desanya lebih padat dan mengusulkan agar BKKBN dan unit pelaksananya diserahi upaya mengentaskan keluarga miskin di 40.000 desa itu. Untuk itu Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Keluarga Sejahtera (IKS) untuk 40.000 desa. Dengan menggunakan peta keluarga, akhirnya kedua upaya pengentasan kemiskinan itu menghasilkan angka kemiskinan yang menurun secara drastis menjadi sekitar 11 persen pada tahun 1997 dan Presiden RI mendapatkan penghargaan UNDP pada tahun 1997. Alhamdulillah.