Aam Bastaman: “Surga” untuk Kaum Manula
Pagi ini saya mendapat berita dari salah satu stasiun radio Jakarta. Berita dari Jepang, yaitu (semula agak mengherankan) tentang keinginan sebagian manula Jepang untuk menghabiskan hidupnya di penjara. Lantas apa yang dilakukan untuk mengejar “impiannya” tersebut. Wow, melakukan tindak pidana ringan sebagai cara untuk bisa masuk penjara. Tentu para manula ini tidak benar-benar berniat melukai korban, hanya cara untuk bisa masuk penjara…
Pertanyaannya mengapa penjara? Ternyata penjara di Jepang menurut anggapan mereka jauh lebih nyaman daripada tinggal sendirian di luar penjara. Di penjara mereka terjamin makan dan hidupnya. Di penjara tidak menyakitkan, malah memperingan kehidupan mereka, karena segala sesuatunya sudah disiapkan oleh Negara. Wah…
Komentar mereka tentang hidup di masyarakat “normal”? Jauh lebih sulit. Selain hidup sendirian, harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan pribadi, seperti makan dan minum sendiri. Belum lagi perasaan kesepian, terisolasi dan perasaan tercampakkan karena sudah tidak dipakai lagi oleh masyarakat. Kesimpulannya hidup di tengah-tengah masyarakat di luar penjara jauh menjadi tidak berdaya.
Jepang memang Negara dengan tingkat populasi para manulanya tinggi. Apalagi tingkat kelahirannya sangat rendah (konon konsep perkawinan bagi wanita Jepang saat ini kurang popular), dan umumnya orang-orang Jepang panjang umur. Jadilah struktur penduduknya seperti (tidak persis sama) piramida terbalik. Berbeda dengan di negara kita, dimana jumlah penduduk produktifnya lebih besar (sehingga dikatakan Indonesia mulai menikmati bonus demografi). Kondisi ini akan berlangsung sampai kira-kira tahun 2045. Jadi persoalan kaum manula di negara kita tidak seheboh seperti di Jepang.
Namun, apa yang terjadi di Jepang tersebut bisa menjadi pembelajaran bagi kita untuk memikirkan masa depan para manula (semua dari kita akan masuk ke fase kehidupan seperti itu) jika panjang umur. Meskipun persentase jumlah manula kita tidak sebanyak di Jepang, golongan manula ini sudah saatnya mendapat perhatian untuk membantu menata kehidupannya menjelang akhir hidupnya. Beruntung kondisi sosial masyarakat kita masih relatif kuat, keluarga masih menempatkan orang tua kaum manula di tempat yang terhormat. Seringkali keluarga masih menginginkan para manula hidup bersama mereka dan dalam perawatan keluarga. Namun ke depan tentu saja harus diantisipasi perubahan-perubahan yang akan terjadi dalam struktur sosial kita, tuntutan dinamika pola kerja dan keterbatasan waktu anggota keluarga, yang tidak menutup kemungkinan waktu untuk merawat manula sudah semakin berkurang atau tidak ada. Faktanya kondisi seperti ini sudah dirasakan. Iya kan?
Tentu harapan kita apa yang terjadi di Jepang dimana sebagian kaum manula merasa terisolasi, kesepian dan berada dalam keputusasaan (sehingga memilih penjara sebagai tempat akhir hidup mereka) tidak terjadi di Negara kita.
Salam produktifitas!
*Aam Bastaman: Dosen Universitas Trilogi/Anggota Tim Kerja LPN RI.