Aam Bastaman: Ekonomi Biru dan Pembangunan Ekonomi (3)

Ini tulisan ke tiga dengan judul yang sama, menjadi Trilogi Ekonomi Biru (Tiga seri Ekonomi Biru). Mudah-mudahan pembaca sudah membaca dua tulisan sebelumnya.

         Blue Economy vs. Green Economy

:     Banyak pertanyaan diajukan kepada saya, apa bedanya ekonomi biru dengan ekonomi hijau?  Ekonomi Hijau mendorong transformasi ekonomi ke arah investasi ramah lingkungan dengan karbon rendah, efisiensi sumber daya, dan kesejahteraan sosial, serta mendorong terciptanya pola konsumsi dan pertumbuhan produksi secara berkelanjutan. Pada level paradigma, Ekonomi Hijau dipengaruhi aliran modernisasi ekologi, sebuah aliran yang berusaha menyinergikan ekonomi dan lingkungan dengan pendekatan yang cenderung positivistik. Seolah proses sosial ekonomi dan ekologi ialah linier dan universal.

       Green Economy is “…  one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities.” Dengan kata lain “… a green economy can be thought of as one which is low carbon, resource efficient, and socially inclusive.” Pengertian lain lain tentang green economy dapat dipandang sebagai “…is one whose growth in income and employment is driven by public and private investments that reduce carbon emissions and pollution, enhance energy and resource efficiency, and prevent the loss of biodiversity and ecosystem services.” (UNEP, 2008).

         Kesimpulan utama dan esensi dari green economy (Ekonomi Hijau) adalah mengurangi karbon, efisiensi sumber daya alam, tenaga kerja efisien dan termasuk sosial. Sedangkan Ekonomi Biru menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam  secara berkelanjutan dan didukung oleh   sistem produksi efisien dan bersih tanpa    merusak lingkungan untuk kemakmuran umat  manusia masa kini dan masa yang akan datang. Menggali sumber alam, belajar dari alam dan  menggunakan proses-proses yang terjadi di alam.

       Dengan demikian perbedaan mendasar Ekonomi Hijau penekanan pada : Investasi yang tinggi untuk membersihkan lingkungan; rendah karbon, bersih, mengurangi sampah, menggunakan tenaga kerja terbatas. Terdapat konsekwensi terhadap harga (lebih mahal). Sedangkan Ekonomi Biru: membangunkan semangat kewirausahaan, melibatkan partisipasi semua kalangan, memberikan keuntungan kepada perusahaan dan masyarakat bersamaan dengan lingkungan bersih dan penggunaan tenaga kerja efisien berbasis tenaga kerja dan sumber daya lokal yang ada. Keduanya bicara soal keberlanjutan.

         Pendekatan ekonomi hijau ini saat ini banyak dianut meski harus diakui terdapat sejumlah kelemahan, seperti menghasilkan produk yang mahal (ekolabel) sehingga tidak terjangkau oleh orang miskin, perdagangan karbon yang tidak adil untuk dunia ketiga, dan sering kali hanya menyentuh solusi permukaan saja, tidak menyentuh upaya perubahan perilaku manusia. Ekonomi Hijau sering kali digolongkan sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai ekologi-dangkal (shallow ecology) (Lihat: www.oxfordreference.com).

         Gunter Pauli berusaha mengoreksi praktik Ekonomi Hijau  dan mengembangkannya menjadi Ekonomi Biru. Ada mimpinya untuk menciptakan langit dan laut yang tetap biru dan menyejahterakan. Laut dan langit biru itulah simbol lingkungan yang bersih. Secara paradigmatik, Pauli mengakui Ekonomi Biru terinsipirasi aliran ekologi-dalam (deep ecology) sebagaimana diperkenalkan Naess tahun 1973 (Lihat: Arne Naess: at the roots of deep ecology (downtoearth.danone.com>2012/07/05) dan Naess (1997).

         Aspek pendekatan pertama yaitu ramah lingkungan. Pendekatan yang kedua adalah keberlanjutan. Pendekatan ketiga yaitu, multi revenue, yakni memiliki banyak keuntungan dari segi lingkungan, sosial, dan ekonomi. Pendekatan keempat yaitu sistem produksi bersiklus. Pendekatan kelima yaitu prinsip nirlimbah (zero waste). Pendekatan keenam yaitu inovasi berwawasan ekosistem, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendekatan ketujuh yaitu partisipasi  pemerintah.  Lalu pendekatan terakhir yaitu partisipasi masyarakat.

       Dengan demikian, aliran ini menekankan pentingnya tata nilai baru, cara berpikir dan tindakan kolektif baru yang tidak menempatkan alam sebagai obyek. Selain itu, menekankan pentingnya memahami prinsip bagaimana alam bekerja, yang populer dengan istilah kembali ke alam (back to nature). Aliran ini lebih konstruktivistik dan nonlinier sehingga kekhasan lokasi sangat diperhatikan. Namun diakui bahwa tak ada resep tunggal untuk mengatasi masalah lingkungan.                 

        Paling tidak, gagasan Gunter Pauli ini membawa harapan baru - langit biru, laut biru, dan masyarakat sejahtera. Harapan kemandirian lokal akan tercipta, termasuk dalam meningkatkan kesejhteraan masyarakat Indonesia, kuncinya: kreativitas.

 

 *Aam Bastaman dari Kampus Universitas Trilogi, Jakarta.

 

*Tulisan ini merupakan bagian dari makalah Ekonomi Biru (Blue Economy) dan Peluang Dunia Penerbitan Universitas (Aam Bastaman), disampaikan pada Mukernas Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI), Banjarmasin 25-27 September 2018.

Aam Bastaman.png
Aam BastamanComment