Aam Bastaman: Sampah dan Kita
Pernahkah anda memperhatikan bekas makanan dan minuman: Piring, gelas, sampah makanan berserakan ditinggal para tamu usai pesta? Atau ini, bekas gelas minuman plastik, kotak kardus konsumsi berserakan di meja ruangan kantor usai rapat? Seolah kotak kardus maupun gelas plastik menjadi bukti telah diselengarakan sebuah rapat di kantor.
Di kelas-kelas mungkin para dosen bisa melihat juga bekas makanan dan gelas minuman plastik atau botol plastik ditinggal mahasiswa usai perkuliahaan, begitu saja. Memang ada sebagian kampus yang memiliki kebijakan tidak makan di dalam kelas, kecuali minum. Tapi praktek meninggalkan sampah makanan dan sampah-sampah lainnya di dalam kelas kerap terjadi. Padahal, itu di tempat kaum terdidik lho? Urusan sampah seringkali kita serahkan ke cleaning service dengan pikiran toh nanti ada yang membersihkan…
Urusan pembiaran sampah juga terlihat di jalan-jalan Jakarta (yang jadi ibukota), kadang-kadang para pengemudi (atau pemilik?) tak terkecuali mobil mewah membuang sampah ke jalan. Ini layaknya sebuah SOP kaca dibuka dan plung apa itu kertas tisu, plastik pembungkus atau bahkan botol minuman plastik bekas dilempar keluar jendela, mendarat di jalanan, dan selanjutnya jendela mobil ditutup kembali…
Jalan tol juga seringkali menjadi korban sampah kertas print out tiket yang tidak diambil pengemudi, dibuang begitu saja di pintu tol sehingga berserakan. Hal seperti ini jamak ditemui di pintu-pintu tol di ibukota. Tapi jangan salah, beberapa saat kemudian bersih kembali, karena ada tukang sapu jalanan. Pikiran toh nanti ada petugas yang membersihkan seperti sudah menjadi logika umum. Sehingga pikirnya mungkin tidak usah repot-repot memperdulikan sampah kita sendiri.
Kejadan-kejadian “kecil” yang keliru tersebut konon berasal dari sikap mental yang salah, menunjukkan ketidakpedualian terhadap lingkungan. Teman yang sangat kecewa dengan kondisi ini bahkan menyebutkan perlakuan terhadap sampah ini sebagai ukuran tinggi rendahnya budaya kita. Banyak sampah terutama sampah plastik bertebaran disekeliling kita, bukan di tempatnya, seperti pemandangan biasa saja.
Kritik orang asing kadang kita dengar, kenapa kita tidak peduli terhadap sampah kita sendiri, dan lebih mengandalkan pedugas kebersihan, seperti cleaning service, pembantu ataupun tukan sapu di jalan, padahal orang-orang jepang menomorsatukan kebersihan sebagai bagian dari ketertiban hidup. Ada sampah di jalan tidak jarang mereka memungut dan membuangnya ke tempat sampah, padahal bukan sampah mereka.
Ada pandangan dan kebiasaan yang keliru di masyarakat kita dalam urusan persampahan ini. Tentu perlu diluruskan. Sampah kita adalah tanggung jawab kita, untuk kebersihan kita dan lingkungan kita sendiri. Semboyan buanglah sampah pada tempatnya, rupanya harus terus disosialisasikan, tapi yang terpenting adalah bagaimana merubah mind set masyarakat mengenai sampah ini. Tentu saja perlakuan kita terhadap sampah bisa menunjukkan siapa kita. Kita adalah bangaimana kita memperlakukan sampah kita…
Salam produktifitas!
*Aam Bastaman@Universitas Trilogi. Anggota Tim Kerja LPN.