Aam Bastaman: Sampah Plastik dan Masa Depan Bumi Kita
Video tentang sampah plastik di lautan yang merusak ekosistem lautan dan membunuh ikan-ikan besar seperti paus merebak di jagat media sosial kita. Bahkan ada video ikan paus yang terkapar dipantai Selatan pulau Jawa, dan ternyata didalam perutnya ditemukan timbunan plastik melilit organ percernaan dan organ-organ lain dalam ikan paus tersebut. Ada pula video operasi penyelamatan seekor penyu yang hidungnya kemasukan sedotan plastik yang lumayan panjang, sehingga sewaktu dicabut bisa diukur sekurang-kurangnya 10 cm masuk ke dalam hidung sang penyu. Ada juga video wajah lautan yang dipenuhi sampah plastik, kotor, membunuh ikan-ikan, sehingga menimbulkan pandangan yang tidak sedap sampai mengkhawatirkan…
Itu pemandangan di lautan lepas, belum lagi pemandangan sampah plastik di daratan, mulai dari desa-desa sampai perkotaan, di sungai-sungai sampai selokan, di dapur-dapur sampai tempat sampah, di pekarangan sampai jalanan, sampah plastik bertebaran di mana-mana, tidak kalah mengkhawatirkan dengan kondisi sampah plastik di lautan. Apalagi kesadaran kebersihan masyarakat kita masih kurang, masih perlu ditingkatkan (info dari para aktifis lingkungan).
Plastik yang telah memuat kehidupan manusia semakin praktis dengan biaya murah ini kini menjadi masalah lingkungan yang akut. Masalahnya adalah bahan plastik tidak bisa terurai secara alami dalam waktu pendek. Beberapa jenis plastik tertentu baru bisa terurai setelah berumur ratusan tahun! Bisa dibayangkan bagaimana menumpuknya sampah plastik, karena tidak bisa punah dalam waktu cepat. Padahal kita sudah terbiasa dengan hal-hal berbahan plastik. Sampai-sampai bungkus ketupan (kupat dalam B. Sunda) yang biasanya digunakan daun kelapa dibungkus plastik pula. Tadi pagi saya melihat di pasar bungkus tempe pun kini pake plastik.
Selain masalah lingkungan plastik juga memunculkan isu kesehatan, terutama plastik yang digunakan untuk bungkus makanan panas. Teman saya yang seorang dokter menyoroti kandungan kimia plastik yang berbahaya bila bercampur dengan makanan (panas) bisa menimbulkan konsekuensi ancaman kesehatan, seperti kanker, masalah pencernaan dan penyakit kronis lainnya. Saya mengacu pendapat teman dokter tersebut biar lebih dipercaya, dari pada mengatakan “menurut saya…” atau “pendapat saya…”.
Kondisi ini menimbulkan gerakan masyarakat dunia untuk mengurangi konsumsi bahkan menghentikan pemakaian plastik, seperti kantong plastik (ini betul, pengamatan saya). Ya melakukan demarketing plastik. Menteri luar negeri Kita Retno Marsudi bahkan mengawali tahun baru 2019 dengan kampanye pemakaian wadah minum air yang permanen untuk menggantikan air minum dalam kemasan botol plastik. Kalau melihat tekadnya, jika anda berkunjung ke Kementerian Luar Negeri dipastikan air minum yang dihidangkan kepada anda bukan air dalam kemasan botol plastik (diperkuat oleh pernyataan teman saya di Kemlu), yang dengan bangga menyatakan Kemlu peduli dengan masalah sampah plastik yang menjadi isu dunia.
Nah, syukur kebangkinan kesadaran masyarakat untuk melakukan demarketing plastik sudah muncul di mana-mana. Sekarang misalnya, ada kampanye untuk tidak menggunakan sedotan plastik, bawa botol sendiri yang permanen untuk diisi air menggantikan air minum dalam kemasan botol plastik, belanja membawa wadah sendiri yang terbuat dari bahan non-plastik, sampai gerakan kembali ke pemakaian bahan dari alam, seperti daun untuk bungkus makanan…
Plastik memang murah dan praktis, inilah yang membuat banyak pihak terutama produsen menggunakan plastik untuk kemasan atau bungkus, bahkan bahan untuk banyak produk yang dihasilkannya (alasan kepaktrisan, efisiensi dan keuntungan), sehingga hidup kita sekarang seperti tidak bisa lepas dari ketergantungan pada plastik atau sesuatu yang berbahan plastik. Namun melihat bahayanya bagi lingkungan maka sudah saatnya kita berpikir ulang tentang penggunaan plastik dalam keseharian kita. Bayangkan wajah bumi kita, baik daratan maupun lautan yang dipenuhi sampai plastik. Harus ada solusi, dan bisa mulai dari perubahan perilaku kita (nah, ini kata para social marketer).
Mungkin kita bisa dimulai dengan hal-hal kecil, seperti dicontohkan teman saya di Kemlu: Mengurangi ketergantungan pada plastik, mulai botol minuman dalam kemasan, kantung plastik sampai sedotan. Sekali lagi, syukur sekarang banyak suara menggema dari berbagai kelompok masyarakat untuk melakukan demarketing plastik demi kelestarian lingkungan, menjaga bumi tetap lestari. Tanpa plastik pun harusnya hidup kita tetap produktif. Ya kan?
Salam produktifitas!
*Aam Bastaman@Universitas Trilogi. Anggota Tim Kerja LPN RI.