Manajemen: BUMN antara Tata Kelola dan Etika

 

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seringkali dianggap penghasil pundi-pundi bagi segelintir elit, termasuk para direksi dan komisaris serta pejabat dan partai politik afiliasinya. Terutama BUMN kelas kakap, yang memiliki cashflow luar biasa besar. Penghasil uang yang sering dituding menjadi sapi perah. Sehingga banyak kalangan masyarakat sebenarnya geram, operasional BUMN sering direcoki oleh banyak pihak, sehingga BUMN seringkali sulit mandiri, dan sulit menjadi perusahaan-perusahaan yang sehat.

Pemerintah memiliki total 142 BUMN, namun hanya 25 perusahaan yang mampu meraih laba menguntungkan) pada tahun 2018 lalu. Selebihnya merugi, sehingga menjadi beban pemerintah. Meskipun BUMN memiliki misi sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam rangka mendukung program pembangunan, namun tetap harus prudent, sehat dan tidak menjadi beban. Bahkan sebagian BUMN terjerat hutang besar. Total utang BUMN Indonesia per akhir 2018 mencapai  Rp. 1.960 Triliun, yang berpotensi menjadi beban perusahaan dan negara. Masalah lemahnya tata kelola disinyalir sebagian ahli menjadi penyebabnya. Disamping praktek korupsi yang marak  oleh direksi dan jajarannya, moral hazard, lemahnya tanggung jawab manajemen, dan orientasi terhadap kepentingan pribadi di atas kepentingan perusahaan plus lemahnya pengawasan. Sehingga kinerja BUMN jauh dari harapan masyarakat.

Belum usai masalah korupsi di Garuda Indonesia, PLN, Pertamina, kini muncul pula masalah kronis akibat korupsi dan mismanajemen  yang menimpa Asuransi Jiwasraya, yang berpotensi mengakibatkan kerugian perusahaan lebih dai Rp. 13 triliun. Padahal diluar itu masih banyak perusahaan BUMN tercatat memiliki rapor merah dan tengah 'Sakit', seperti: PT Kertas Leces, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Industri Gelas, PT Industri Sandang Nusantara, PT Survai Udara Penas, PT Dirgantara, Indonesia, PT PAL Indonesia, PT Industri Kapal Indonesia, PT Kertas Kraft Aceh.

Disamping “sakit” banyak juga perusahaan BUMN yang mengalami kerugian, seperti Garuda Indonesia, bahkan juga Bulog (meski banyak pihak memaklumi, karena peran Bulog juga sebagai stabilisator harga dan pasokan).

Dalam banyak kasus, kondisi perusahaan yang tidak “favourable’ ternyata tidak menyebabkan direksi BUMN bersikap empati terhadap perusahaan dan karyawan. Banyak direksi yang masih berperilaku hidup mewah. Pengalaman menteri BUMN Erick Tohir diajak makan malam oleh direksi suatu BUMN sambil melakukan pertemuan di sebuah restoran mewah, padahal kondisi keuangan perusahaan tersebut sangat memprihatinkan. Pengakuan Menteri BUMN sendiri bahwa banyak direksi BUMN tidak memiliki empati. Tidak menunjukkan sikap prihatin saat perusahaan bermasalah. Sehingga memberikan komentar bahwa di BUMN selain harus memperbaiki kinerja keuangan perusahaan, juga perlu memperbaiki ahlak para direksinya.

Mari kita cek gaya hidup para pimpinan BUMN baik yang sehat maupun yang merugi. Bukan menjadi rahasia umum lagi banyak pimpinan BUMN yang hidup dalam gelimang harta, mengoleksi barang-barang mewah, termasuk rumah dan kendaraan mewah, dengan gaya hidup mewah. Plus dukungan fasilitas perusahaan yang luar biasa besar.  

Tidak dipungkiri beberapa BUMN juga telah melahirkan beberapa tokoh professional pembaharu, pemberani, memiliki komitmen tinggi dan konsisten, yang memungkinkan perusahaan yang dipimpinnya tumbuh baik dan berkembang, seperti: Cacuk Sudaryanto saat memimpin Telkom, Robby Johan saat memimpin Garuda (keuangan Garuda waktu itu sempat membaik) dan mergernya Bank Mandiri, serta Ignatius Jonan saat melakukan perubahan besar di PT Kereta Api Indonesia, yang hasilnya bisa dinikmati masyarakat sekarang ini.

Sayang keteladanan beberapa tokoh besar BUMN tidak diikuti oleh pimpinan-pimpinan BUMN lainnya, malah banyak tersangkut masalah etika, penyalahgunaan kewenangan, disamping mismanajemen di perusahaan yang dipimpinnya.

Tugas berat orang-orang baik saat memimpin, apalagi jika disekitarnya atau memiliki anak buah orang-orang buruk. Maju mundurnya BUMN bergantung pada ahlak para direksi dan jajarannya, bukan hanya masalah kompetensi. Kompetensi penting, tapi harus plus etis. Tentu kita mendukung pembenahan BUMN, melalui perbaikan tata kelola (governance), supaya menjadi perusahaan-perusahaan yang bersih dan sehat.

Aam Bastaman (Uni Trilogi), Senior Editor Gemari.id  

Foto: Istimewa

BUMN.png
Aam BastamanComment