Literasi dan Inklusi Keuangan Masyarakat Miskin

Survey Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti yang diberitakan Kompas/22 November 2019 menyebutkan bahwa indeks literasi keuangan (tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan) mencapai 38.03%, naik dibandingkan dengan survey serupa yang dilakukan pada tahun 2016, sebesar 29.7%. Sementara indeks inklusi keuangan naik dari sebesar 67.8% menjadi 76.19%, artinya paada tahun 2019 ini semakin banyak warga yang terhubung ke layanan keuangan, seperti perbankan.

Meskipun terdapat kenaikan dalam lierasi maupun inklusi keuangan, namun masih banyak warga masyarakat yang belum “bankable”, belum punya akses ke dunia perbankan, belum punya rekening perbankan, apalagi menikmati layanan perbankan, seperti kredit mikro. Apalagi jumlah penduduk miskin Indonesia masih sekitar 25.24 juta orang atau sekitar 9.41% dari keseluruhan penduduk Indonesia (versi BPS).

Penduduk miskin ini masih jauh dari mendapatkan layanan jasa perbankan, mereka masih bergulat dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang sifatnya harian tanpa jaminan sosial yang memadai. Semoga saja ada gagasan-gagasan inovatif dari dunia dan masyarakat keuangan untuk bagaimana literasi dan inklusi keuangan ini juga bisa menjangkau kelompok masyarakat yang kurang beruntung ini.

Keterpurukan masyarakat miskin ini juga seringkali diperparah oleh pola konsumsi yang tidak produktif secara kesehatan, yaitu merokok, sehingga alokasi pendapatan yang sangat terbatas itu sangat kurang untuk konsumsi makanan bergizi yang justru diperlukan, termasuk oleh anak-anak mereka. Tidak aneh sering ditemukan anak-anak dari keuarga miskin tumbuh dengan tidak sehat, termasuk pertumbuhan kecerdasannya.

Tentu hal ini sangat memprihatinkan, sudah terbatas pendapatannya, dialokasikan pada konsumsi orang tua (biasanya ayah) yang tidak tepat, yaitu rokok. Ironi sekali bahwa pendapatan perusahaan rokok yang besar itu banyak berasal dari masyarakat miskin, karena dari data yang ada konsumen rokok terbesar adalah kelompok masyarakat menengah bawah dan masyarakat miskin. Pola konsumsi seperti ini yang menjadi salah satu penyebab “stunting” pada anak-anak mereka, sehingga tumbuh dengan tidak sehat, baik pertumbuhan fisik maupun tingkat kecerdasannya.

Bisa dibayangkan andai alokasi untuk konsumsi rokok dipindahkan pada konsumsi makanan bergizi untuk menunjang pertumbuhan anak-anaknya. Padahal konsumsi rokok terbilang tidak murah. Sedikitnya perlu uang Rp. 25 ribu - Rp. 35 ribu untuk sebungkus rokok. Oleh karena itu dunia dan lembaga keuangan termasuk perbankan didorong untuk bisa melirik kelompok masyarakat ini untuk membangun literasi keuangan mereka, sekaligus juga membangun inklusi keuangan mereka, dengan memberikan kesempatan memiliki akses ke dunia keuangan melalui program CSR mereka atau program-program lain yang bisa berkontribusi pada kenaikan kesejahteraan masyarakat miskin. Kalau mereka mampu membeli rokok, seharusnya juga mampu untuk memiliki akses kepada dunia keuangan yang produktif, dengan mengalihkan pola konsumsi untuk masa depan anak-anak mereka yang lebih baik.

Semua pihak, tidak terbatas masyarakat keuangan saja, bisa memberikan pencerahan, dengan berbagai cara yang memungkinkan, sehingga masyarakat yang kurang beruntung ini bisa terangkat harkat martabatnya, dan diharapkan jumlahnya semakin mengecil.

Aam Bastaman (Univ. Trilogi). Anggota Pokja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN).

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment