Manajemen: “The Science of Happiness”
Kalau saya menelusuri pada sifat (nature) ilmu pengetahuan manajemen yang menekankan pada efisiensi dan efiktifitas, dan kemudian berujung pada upaya peningkatan produktifitas, maka pendekatannya sangat mengandalkan rasionalitas. Manusia sebagai subjek dalam manajemen perlu dimotivasi untuk mencapai upaya tertinggi atau maksimum dan berkontribusi pada proses yang menghasilkan output dan outcome yang diharapkan. Keberhasilan sangat bersifat kuantitatif, dengan menampilkan deretan angka-angka.
Unsur kebahagiaan (happiness) semula bukan bagian dari penelaahan disiplin manajemen. Padahal kebahagiaan bersifat esensial dalam perjalanan hidup manusia, termasuk dalam kontribusinya di tempat kerja. Unsur kebahagiaan seakan seperti terlupakan dalam pendekatan manajemen dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas ataupun pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan.
Rupanya kini sudah disadari ada kealfaan dalam melakukan kajian secara holistik mengeni produktifitas manajemen, yaitu unsur kebahagiaan. Studi dan kebijakan dalam meletakkan kebahagiaan dalam disiplin manajemen sudah mulai banyak dilakukan. Beberapa kebijakan yang lebih fleksibel dan akomodatif mulai dilakukan, seperti konsep work-life balance, flexi hours, office kid care, remote work, ataupun konsep work hard play hard. Semua kebijakan tersebut menempatkan manusia dalam pekerjaan sebagai subjek, bukan objek, konsep-konsep yang bertujuan mendapatkan jalan tengah untuk mengurangi stress karena tuntutan pekerjaan, sehingga bisa kembali ke keseimbangan dan menikmati kehidupan (dalam bekerja) dan mencapai kebahagiaan. Hal ini juga untuk mengantisipasi temuan beragam studi yang menunjukkan persentasi yang sangat tinggi para pekerja dihinggapi stress karena berbagai faktor, sehingga menimbulkan gangguan kejiwaan yang akut. Kesimpulannya banyak pekerja tidak mendapatkan kebahagiaan.
Ilmu kebahagiaan (the science of happiness) atau sebagian pakar juga menyebut sebagai psikologi positif mulai banyak mendapatkan perhatian seiring dengan semakin meningkatnya tantangan kehidupan modern. Temuan berbagai studi menunjukkan kelimpahan materi ataupun kemashuran dan kedudukan yang tinggi tidak serta merta menjadikan seseorang bahagia. Ada hal lain yang perlu dimiliki, seperti kesadaran diri, keinginan untuk berbagi, kemampuan menerima dengan ihlas dan rasa syukur.
Sehingga kabar baiknya kebahagiaan tidak bersifat ekslusif hanya milik segelintir orang saja. Kebahagiaan bersifat inklusif, terbuka dan menjadi hak setiap orang, karena kebahagiaan tidak semata-mata diukur dari seberapa banyak perolehan materi bisa terkumpulkan. Fakta-fakta yang mengejutkan terhidang di depan kita, banyak orang kaya raya dan mashur mengakhiri hidupnya dalam penderitaan. Sebagian besar kasus bunuh diri bukan karena kesulitan ekonomi, tetapi kebutaan hati dan ketidakmampuan mensyukuri.
Pentingnya kebahagiaan, telah menyebabkan Uni Emirat Arab (UEA) memiliki menteri urusan kebahagiaan sendiri. Di tataran dunia internasional, berkembang pula konsep pengganti atau setidaknya padanan Gross National Product (GNP) dengan Gross National Happiness (GNH). Di negara sekecil Bhutan sang Raja menginisiasi pentingnya kebahagiaan hidup bagi rakyatnya, sehingga menjadi prioritas dalam kebijakannya. Mulai banyak pula survey-survey kebahagiaan dalam perspektif dunia, termasuk untuk mengetahui negara-negara dan masyarakat yang paling berbahagia, melalui World Happiness Report.
Perlu pula kita simak salah satu alasan Pemimpin sekaligus Perdana Menteri UEA Mohammed bin Rashid al-Maktoum mendirikan Kementerian Kemahagiaan di negaranya: “Menteri Negara untuk Kebahagiaan akan menyelaraskan dan mendorong kebijakan pemerintah untuk menciptakan kebaikan dan kepuasan sosial."
Ilmu kebahagiaan ternyata tidak bersumber dari eksternal, tidak mewah dan tidak selalu ada kaitan dengan dunia materi. Kebahagiaan bisa didapat dengan menikmati apa yang kita punya dan mensyukurinya. Hal-hal kecil yang kita miliki jika kita syukuri dengan rasa terima kasih yang tinggi kepada Sang Pemberi dapat menjadikan manusia berbahagia. Karena tidak satupun pengobatan yang dapat menyebabkan seseorang bahagia, maka “obat” itu ada dalam diri kita sendiri.
Dengan demikian kebahagiaan bukan misteri, karena potensial kita semua memilikinya.
Aam Bastaman (Universitas Trilogi). Penulis.