Diet Keto dan Demarketing Beras

Teman kampus yang sedang diet keto (ketogenic) menyarankan untuk melakukan diet ini supaya langsing dan jauh dari penyakit (kelihatannya ia sendiri sedang berjuang). Diet keto dilakukan dengan mengurangi konsumsi karbohidrat, terutama beras dan makanan berbahan dari gandum, tapi konsumsi lemak sehat (seperti alpukat, kacang-kacangan, ikan salmon) yang tinggi, dengan asupan protein sedang. Benar juga apa yang disampaikannya, obesitas sudah menjadi masalah serius... ini sebuah gejala yang menjangkiti banyak manusia di dunia termasuk Indonesia. Dunia ini penuh ironi ya, sebagian kawasan kelimpahan makanan sehingga obesitas menjadi momok karena menjadi sumber penyakit, padahal di kawasan lain kekurangan makanan, kelaparan menjadi ancaman.

Obesitas adalah Kondisi kronis akibat penumpukan kalori dalam tubuh yang sangat tinggi, kondisi tersebut dalam waktu lama menambah berat badan hingga mengalami obesitas (ini kata mbah Google).  Akibatnya kondisi fisik menjadi tidak proporsional. Salah satu penyebab obesitas  adalah kesalahan pola makan, kelebihan mengkonsumsi makanan.  Tanda tandanya mudah ditebak, kegemukan. Obesitas menjadi sumber beberapa penyakit berbahaya, seperti jantung. Secara kecantikan pun gendut juga tidak menarik, bukan? Karena cantik seringkali identik dengan langsing. Solusi? kalau menurut teman saya ini diet keto. Tapi ini masalah pilihan, selalu ada pilihan lain yang sesuai, saya kira, he he he…

Saya melihatnya begini, secara nasional diet keto ini bagus untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Diet ini bisa menjadi tools untuk demarketing beras. Dalam bahasa marketing upaya demarketing dilakukan  untuk menyesuaikan permintaan dan penawaran, supaya tidak over demand. Jadi mengurangi atau  menghentikan tingkat konsumsi baik sementara atau seterusnya untuk mengurangi overful demand. jangan salah kira, over demand bisa sangat tidak menguntungkan, baik di tingkatan korporasi maupun negara. Dalam kasus beras, kita sering kerepotan karena kurang pasokan, ujung-ujungnya mengimpor.  Karena itu tidak sulit untuk menunjukkan bahwa kita belum merdeka dalam urusan pangan terutama beras karena masih belum swasembada, walhasil masih bergantung pada negara lain. Dulu jaman Pak Harto kita sempat swasembada beras tapi tidak berkesinambungan, demand terus meningkat sedangkan supply tidak bisa mengikutinya, jadilah kita sering direpotkan dengan kekurangan stok beras. Solusi yang diajukan para mafia beras, ya impor beras (banyak pihak mengatakan ini pikiran mencari untung). Di sisi lain, kondisi apapun petani kita sering tidak diuntungkan.

Nah,  mari kita diet keto, minimal mengurangi konsumsi beras dan makanan  berbahan terigu (karena ini juga impornya tinggi), apalagi konon beras bukan makanan yang cocok secara kesehatan untuk masyarakat Indonesia. iklim tropis memungkinkan kita membatasi gerakan karena kita mengindari panas dan keringat (naik sepeda dan jalan kaki tidak popular, termasuk jalan cepat, seperti di Jepang), padahal dalam beras terdapat sumber gula yang tinggi, sehingga masyarakat perlu banyak bergerak (seperti di negara-negara sub tropis) untuk membakar kalori.

Nah, kata para ahli gizi gejala meningkatnya penyakit diabetes salah satunya disebabkan kelebihan konsumsi beras ini. Sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum jika badan tidak obesitas bisa terhindari dari beragam penyakit mematikan, namun pengetahuan rupanya perlu terus didiseminasikan, minimal untuk mengingatkan. Maka mari kita lakukan pola hidup sehat, bisa dengan diet keto kalau anda mau dan setuju, tapi ya minimal kurangi konsumsi beras dan karbo lainnya. Kesehatan adalah investasi jangka panjang.  Kita hanya dituntut untuk disiplin dalam konsumsi.

Sehat dan fit tentu saja bisa membuat hidup dan bekerja lebih produktif.

Salam produktifitas...

 

*Aam Bastaman – Dosen Universitas Trilogi. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional/LPN.

*Aam Bastaman – Dosen Universitas Trilogi. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional/LPN.

Aam BastamanComment