Simon Oliver Sinek biara Aspirasi Warga Millennial  


simon.jpg

Pada hari Minggu tanggal 28 Oktober, seperti biasa Menteri Desa PDTT Eko Priyo Samdjojo berbagi video berisi dialog Simon Oliver Sinek, seorang penulis dan motivator British Amerikan muda, lahir 9 Oktober 1973, yang memiliki nilai sangat tinggi melalui WA yang biasa disimak para anggota Dewan Pakar yang dibentuknya. Menteri Eko secara teratur berbagi video atau artikel yang beliau baca dari berbagai sumber yang berbobot. Tidak jarang beliau memberi komentar sampai larut malam seakan tidak pernah tidur. Apabila ada video atau komentar dari rekannya dari dalam atau luar negeri, dengan sabar beliau berbagi video atau komentar itu kepada rekan lainnya. Barangkali merupakan suatu upaya agar rekan-rekannya tidak ketinggalan dalam era 4.0 yang serba cepat.

 

Video yang dishare kali ini adalah dialog Simon Oliver Sinek, yang masih muda berbagi pandangan yang menarik bersama penontonnya sesama anak muda yang selalu ketawa manakala Simon menyebut sesuatu yang mengena. Seseorang yang bertindak sebagai pemandu hanya sedikit saja memberi “hint” kepada Simon, lawan bicaranya, yang tanpa teks atau alat bantu lain berbicara dengan lancar, sistematis dan memberikan komentar yang aktual seakan anak muda tersebut sudah mempelajari masalahnya dengan tekun, siap memberi paparan, mengambil kesimpulan dan berbagi dengan khalayak yang luas dengan penuh keyakinan. Simon Sinek telah bicara pada berbagai forum yang bergengsi serta menulis empat buku yang menarik dimana buku ke lima akan segera terbit. Buku pertamanya berjudul “Start with Why” terbit pada tahun 2009, buku berikutnya “Leaders Eat Last,   termasuk dalam daftar best seller yang laris.

 

 Simon berbicara tentang generasi Millenneal, yaitu mereka yang dilahirkan sekitar tahun 1984 atau sesudah tahun tersebut. Menurut Simon biasanya para pemimpin menanyakan siapa sesungguhnya generasi Millenneal. Dijawabnya sendiri bahwa generasi tersebut adalah generasi yang biasanya sulit diatur, dituduh tidak konsisten, tidak fokus, malas, tidak peduli dan biasanya mengaku ingin bekerja dengan tujuan luhur dan mengembangkan suatu karya yang memberi makna, pada suatu cita-cita luhur. Tetapi umumnya mereka ingin roti dan sayuran gratis atau katakan segala sesuatu yang mudah diraih dan dinikmati dengan santai.

 

Menurut Simon Sinek anak muda Millenneal tumbuh dalam suasana harapan orang tua yang sangat tinggi, dikirim ke sekolah dengan harapan orang tua agar anaknya menjadi anak yang luar biasa, selalu mendapatkan nilai A tidak peduli apakah karena dosennya tidak mau berurusan dengan orang tuanya atau karena memang pandai. Setlah lus dan mulai bekerja, tidak sedikit yang tidak puas karena dunia nyata tidak seperti diimpikan, setidaknya ada empat kategori masalah yang dihadapi golongan Millenneal karena hidupnya ingin memberi makna. Empat kategori masalah besar yang menghambat kepuasan itu diurai secara mendalam dengan contoh-contoh aktual oleh Simon Sinek yang secara ringkas dibaginya dalam empat kategori, yaitu kesalahan parenting dimana karena anak-anak selalu dimanja dengan harapan yang sangat tinggi, disekolahkan dengan harapan nilai yang terbaik, dikirim untuk bekerja di lapangan kerja yang biasanya menjadi awal kekecewaan karena dunia nyata tidak seindah yang dibayangkan. Segala sesuatu tidak mudah dan bersifat instan karena perlu perjuangan yang tidak ringan.

 

Yang kedua adalah masalah techologi, dimana anak-anak muda Millenneal secara langsung berhadapan dengan kemewahan sajian sistem komunikasi modern seperti internet, Face Book, sistem komunikasi modern dengan hp yang canggih dimana setiap anak selalu tersambung dan terhibur secara luas dan instan. Seumpama setiap anak yang mengirim sepuluh pesan dan segera mendapatkan respons akan merasa puas dan senang, seakan kita kembali ke jaman dimana setiap orang dipuaskan dengan minuman alkohol, merokok atau menikmati kecanduan lainnya. Kalau seseorang segera mendapat tanggapan positif, maka kepuasan akan memancar tetapi sebaliknya kalau seseorang mendapat tanggapan negatip atau dibiarkan oleh rekan mainnya, maka frustasi akan segera menghinggapi pecantu alat canggih tersebut. Hubungan antar manusia secara langsung dengan cepat tersisih digantikan hubungan maya melalui technolgi yang mirip dengan jaman maraknya minuman keras atau penggunaan narkotik. Penggunaan technologi itu sesungguhnya baik, tetapi kalau penggunaan itu sudah sangat “menggila” tidak bedanya dengan kegandrungan yang berlebih pada alcohol atau narkotika yang kita anggap berbahaya.

 

Berikutnya adalah ketidak sabaran menghadapi lingkungan yang serba cepat. Anak-anak ingin mendapatkan segala sesuatu dengan cepat. Seseorang yang lulus dari perguruan tinggi dengan nilai baik, baru saja bekerja sudah keluar. Jawabnya sederhana, katanya dia tidak bisa berbuat banyak. Mereka tidak sabar, ingin bekerja sehari dan berjasa, sesuatu yang tidak mungkin tercapai. Mereka ingin pesan makanan, belum sampai daftar menu di letakkan sudah bertanya, mana pesananku. Begitu seterusnya, anak muda Millenneal tidak sabar sehingga banyak yang berakhir dengan kekecewaan, jauh dari harapan orang tuanya. Anak muda yang tumbuh dalam alam yang serba cepat ini perlu belajar dengan sabar dalam meniti karier sehingga tidak harus berakhir dengan tragis. Sifat tidak sabar itu antara lain karena umumnya mereka dilahirkan dalam suasana harapan orang tua yang serba gemilang sehingga tatkala mereka menghadapi kenyataan dunia menjadi sangat kecewa, sekolah dengan baik dan mendapat pendidikan tinggi ternyata bukan jawaban yang dibutuhkan. Anak muda Millennial menghadapi suatu dilema dalam hidupnya yang rumit dalam era digital, lebih-lebih era industri 4.0 yang merupakan erupsi yang serba cepat dan memerlukan kolaborasi yang ikhlas dengan segala kalangan yang sangat luas. Kalau kita tidak cepat maka kita akan tergulung habis.

 

Yang terakhir adalah lingkungan korporasi yang tidak ramah, anak muda Millenneal hidup dalam suatu korporasi yang tidak memikirkan kebutuhan individu tetapi memuaskan dirinya pada kepentingan korporasi yang makin kompleks. Anak muda Millenneal kehilangan kekerabatan dalam lingkungan korporasi, seakan suatu keadaan yang sepi dalam suatu keramian yang luar biasa. Mereka harus kerja keras tetapi tidak mendapat imbangan tegur sapa yang akrab dari sesama rekan karena terbentang persaingan yang sengit untuk maju dan mendapat penghargaan karena ukurannya adalah prestasi bukan karena berbuat baik sesamanya. Prestasi dan sukses diukur bukan lagi dari keakraban dalam suasana persaudaraan antar karyawan tetapi dari pencapaian target yang ditentukan sesuai tuntutan keuntungan yang digariskan sehingga setiap karyawan bukan lagi menjadi sahabat senasip tetapi pesaing seperti macan yang siap saling menerkam karena kalau tidak, seseorang akan mati kelaparan, atau tidak terpakai lagi dalam lingkungan yang tidak ramah. Keramahan dan saling menghargai dalam jaman Millenneal kiranya harus kita kembalikan agar harkat dan nilai kebersamaan dapat dihidupkan kembali. (Haryono Suyono, Ketua Tim Pakar Mendes PD dan Transmigrasi).

 

Haryono Suyono