Kolombo Ditengah Resesi Negara Srilanka

Tadinya mau melakukan perjalanan tunggal, ke India, dengan tujuan utama New Delhi Ibukota India dan ke Agra kota tempat lokasi Taj Mahal yang sangat terkenal itu. Tapi terpikir untuk sekalian mengunjungi Srilanka dengan tujuan utama Kolombo, ibukota Srilanka.

Saya tidak mengajukan visa Srilanka karena tahu pemegang paspor Indonesia bebas visa. Hanya saja perlu mengisi formulir Electronic Travel Authorization (ETA) secara on line, dengan pembayaran USD 50. Hanya saja itupun tidak sempat saya lakukan. Sewaktu mengisi form tersebut secara on line, ternyata akun pembayaran saya bermasalah, sehingga tidak bisa melakukan pembayaran secara on line.

Jadilah saya sedikit nekad masuk Srilanka hanya berbekal tiket pulang pergi dan akomodasi hotel yang sudah di booking. Sebenarnya saya agak was-was juga, khawatir bermasalah di imigrasi Srilanka. Namun petugas check in Air India di Bandara Internasional Indira Gandhi New Delhi membesarkan hati. Ia bilang kemungkinan besar saya bisa melakukan Visa on Arrival (VoA) di bandara Kolombo. Nampaknya tidak akan ada masalah. Petugas wanita India berkulit coklat itu membesarkan hati.

Saya mengambil perjalanan malam maskapai Air India, supaya subuh bisa sampai di Kolombo. Alhamdulillah perjalanan New Delhi-Kolombo yang ditempuh kurang lebih tiga setengah jam cukup lancar. Sempat mencicipi hidangan tengah malam makanan khas India yang kaya dengan rempah-rempah. Namun tidak terlalu selera.

Di pesawat ketemu seorang Bhante (pemuka agama Budha). Ia memberi banyak informasi mengenai kondisi Kolombo. Ia memastikan perjalanan di Kolombo sekarang relatif aman. Masalahnya adalah resesi ekonomi yang berkepanjangan dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi. Harga-harga melambung naik.

Di imigrasi bandara Internasional Kolombo ternyata tidak sesulit yang saya bayangkan. Saya masuk antrian warga asing yang berhak mendapatkan visa on arrival. Mengisi formulir di tempat, dan membayar biaya visa on arrival USD 60. Sempat ditanya macam-macam. Seorang petugas bahkan menanyakan, apakah saya orang baik (a good man?). Mungkin ia bercanda juga.

Karena ini kunjungan pertama, saya belum mendapat gambaran utuh mengenai kondisi Kolombo, umumnya Srilanka, selain dari berita dari berbagai media yang saya baca. Tapi orang-orang yang saya temui, termasuk Bhante yang ketemu di pesawat meyakinkan kondisi Kolombo sudah aman bagi turis.

Karena sudah memesan hotel sebelumnya, saya memesan taksi prabayar yang konternya ada di bandara. Biaya taksi ke hotel (Radisson hotel) Kolombo Rupee Srilanka (LKR) 7.500. Padahal Bhante sebelumnya menyampaikan sekitar LKR 4,000. Waktu saya nanya sopir, ia bilang harga-harga di Srilanka sekarang meroket, termasuk ongkos taksi. Tapi saya akui orang-orang yang saya temui pada kedatangan di bandara sangat ramah-ramah, termasuk sopir taksi ini.

Kota Kolombo dari roof top Hotel Radisson.

Kolombo tidak terbayang sebelumnya. Kota metropolitan berukuran sedang, dengan penduduk sekitar 5 juta orang. Tentu tidak sebesar dan semegah Jakarta. Keseluruhan populasi Srilanka sendiri sekitar 20 juta orang. Ternyata Kolombo cukup menarik, indah, dengan gedung-gedung tinggi sebaimana umumnya di kota-kota besar dunia. Lokasi hotel tempat menginap persis di tepi pantai, sehingga dari jendela kamar bisa memandang lautan Hindia secara lepas. Di sepanjang pantai, yang disebut kawasan pantai Galle Face membentang jalan kereta api, melayani rute-rute dalam kota Kolombo dengan tampilan kereta api yang lumayan kusam, cukup tua. Di Indonesia kereta api sekarang secara fisik lebih cemerlang, lebih bersih dan tidak kusam.

Jalan Kereta api sepanjang pantai Galle Face Kolombo.

Informasi banyak hal justru diperoleh dari supir taksi. Perosalan politik dalam negeri, hubungan kelompok masyarakat Tamil (pendatang dari India Selatan) dan suku Sinhala, yang dianggap penduduk asli Srilanka sekarang relatif lebih harmonis. Dulu beberapa tahun sempat bersitegang sampai melibatkan senjata dalam konflik yang mengancam keutuhan Srilanka.

Sopir taksi itu ternyata orang Sinhala. Berbahasa Inggris dengan baik, beragama Kristen. Mayoritas penduduk Srilanka beragama Budha, disusul Kristen, kemudian Islam dan Hindu.

Ia mengkritik perilaku para politisi di Srilanka yang menyebabkan Srilanka masuk ke jurang resesi ekonomi yang akut. Terlalu banyak nepotisme dan kepentingan pribadi yang sangat besar di kalangan politisi Srilanka, sehingga nasib rakyat terabaikan. Sipir taksi cerdas dan ramah ini menambahkan, “problemnya ada di para politisi sendiri, sehingga membawa Srilanka ke kemunduran yang besar”.

Dari perjalanan saya selalu membawa banyak cerita, sekaligus informasi langsung dari masyarakat setempat. Menambah pemahaman mengenai dinamika kehidupan sosial politik di negara tujuan.

(Aam Bastaman - Dosen di Univ. Trilogi. Pelancong global).

Aam BastamanComment