Maulid Sang Pembebas : Momentum Membersihkan Negeri dari Belenggu Ketidakadilan

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Kali ini saya akan membahas tentang Maulid Nabi: Sebuah Refleksi Tentang Cinta, Cahaya, dan Keberanian. Maulid Nabi Muhammad SAW adalah peringatan lahirnya manusia agung yang membebaskan umat dari kegelapan spiritual, sosial, dan politik. Rasulullah bukan hanya pemimpin spiritual, tapi juga reformis sosial yang mengangkat martabat manusia di tengah sistem yang rusak. Rasulullah SAW datang saat masyarakat Arab hidup dalam zaman jahiliah — penuh tirani, kesenjangan, penindasan, dan eksploitasi. Dengan cinta dan keberanian, Baginda membangun peradaban berlandaskan keadilan, solidaritas, dan kejujuran.

Cinta kepada Nabi bukan sekadar pujian atau seremonial. Cinta sejati adalah perhatian tulus dan kesiapan untuk berkorban demi nilai-nilai yang  di perjuangkan: kejujuran, kesederhanaan, keadilan sosial, dan pembelaan terhadap yang lemah.

Momentum Maulid ini seharusnya menjadi refleksi: apakah bangsa ini masih berada di jalan cahaya, ataukah kembali terjebak dalam kegelapan jahiliah baru — bukan karena tidak beragama, tapi karena memuja kuasa, harta, dan kekuasaan yang zalim.

Indonesia Hari Ini: Korupsi, Kekuasaan Oligarki, dan Krisis Kepercayaan

Indonesia saat ini tidak sedang kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan keberanian dalam memulihkan keadilan. Dalam beberapa tahun terakhir, publik terus diguncang oleh kasus-kasus korupsi dan praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh segelintir elite politik dan ekonomi.

Beberapa data penting:

•             Indeks Persepsi Korupsi (CPI) oleh Transparency International menunjukkan bahwa skor Indonesia pada 2024 meningkat ke angka 37, naik dari 34 di 2023. Meski demikian, skor ini masih jauh di bawah rata-rata global (44) dan regional Asia Pasifik (45), menandakan korupsi masih sangat mengakar dalam sistem (Transparency International, 2024).

•             Indeks Perilaku Anti-Korupsi (ACBI) dari BPS turun dari 3,92 pada 2023 menjadi 3,85 di 2024 (skala 0–5). Ini menunjukkan penurunan kesadaran dan kepatuhan publik terhadap perilaku antikorupsi (bps.go.id, 2024).

•             Kasus mega-korupsi terus terungkap:

o             Skandal sawit: Pemerintah menyita Rp11,8 triliun dari Wilmar Group terkait penyalahgunaan izin ekspor minyak sawit.

o             Kasus Chromebook: Skandal pengadaan perangkat senilai Rp9,9 triliun tanpa dasar teknis yang kuat.

o             Pertamina: Kasus dugaan kerugian negara mencapai Rp968,5 triliun, terbesar dalam sejarah korupsi nasional.

•             Kerusuhan sosial meningkat. Unjuk rasa meledak akibat gaya hidup mewah pejabat, ketimpangan sosial yang melebar, serta pajak yang mencekik rakyat kecil. Demonstrasi besar di Jakarta, Medan, dan Makassar menandakan krisis kepercayaan terhadap institusi negara, terutama legislatif, penegak hukum, dan elite politik.

Teori dan Analisis: Mengapa Korupsi Sulit Diberantas

Para ahli menyebut korupsi sebagai "penyakit struktural" dalam sistem yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan terlalu elitis. Teori yang relevan:

•             Teori Institusional (North, 1990): Lembaga yang lemah dan tidak independen akan menjadi tempat tumbuhnya korupsi. Jika aturan main bisa dinegosiasikan oleh kekuasaan, maka hukum akan tunduk pada kekuatan uang.

•             Teori Ekonomi Politik Oligarki (Winters, 2011): Korupsi dalam negara berkembang sering tidak hanya individu yang menyimpang, tetapi sistem yang dikendalikan oleh elite ekonomi-politik untuk menjaga status quo mereka. Oligarki bukan sekadar orang kaya, tapi orang yang bisa mengendalikan hukum dan kebijakan demi kekayaan pribadi.

•             Teori Korupsi Struktural (Rose-Ackerman, 1999): Korupsi tidak bisa diatasi hanya dengan penindakan. Harus ada reformasi struktural, seperti sistem gaji yang adil, transparansi anggaran, pembatasan kekuasaan pejabat, dan peran aktif masyarakat sipil.

Prabowo dan Harapan Reformasi: Antara Tekad dan Kenyataan

Prabowo Subianto, sebagai Presiden, menyatakan tekad untuk memberantas korupsi dan membersihkan negara dari praktek kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Komitmennya terlihat dalam pidato pelantikannya, yang menyebutkan reformasi sektor pertahanan, pengelolaan sumber daya alam, serta supremasi hukum.

Namun, harapan rakyat kini menuntut tindakan nyata:

•             Ambil kendali penuh atas kekuasaan: Bersihkan kabinet dari menteri yang hanya numpang nama, pangkas jumlah pos jabatan yang tidak efisien, dan pilih tokoh profesional serta berintegritas.

•             Bersihkan institusi penegak hukum: Kepolisian harus bebas dari bayang-bayang oligarki. TNI pun harus kembali ke barak dan menjauh dari urusan bisnis dan sumber daya alam. Reformasi supremasi sipil harus ditegakkan sebagaimana amanat UUD 1945.

•             Rampas aset yang diperoleh secara tidak sah: Lahan sawit, tambang, dan sumber daya lainnya harus dikembalikan kepada negara jika diperoleh tanpa legalitas atau melalui manipulasi.

•             Turunkan beban pajak rakyat kecil: Keadilan fiskal menjadi penting. Rakyat menjerit karena pajak naik, sementara konglomerat dan elite politik bisa menghindari pajak lewat celah hukum dan privilege.

•             Batasi  dan atau berikan pemahaman  agar peran jenderal-jenderal senior yang menyalahgunakan kekuasaan: Membantu agar Negara tidak lagi terkesan tunduk kepada pangkat   serta kepentingan pribadi di balik seragam, serta kembali menjadi panutan

Maulid dan Pembebasan: Prabowo-ku, Indonesiaku

Perayaan Maulid ini bukan hanya ritual. Ini adalah pengingat bahwa dalam sejarah Islam, perubahan besar dimulai dari seorang pemimpin yang berani berkata benar, menegakkan keadilan, dan berpihak pada yang lemah.

Indonesia membutuhkan "Sang Pembebas" baru — bukan dalam makna teokratis, tetapi dalam makna keberanian moral, politik, dan struktural. Prabowo memiliki ruang, kekuatan, dan legitimasi publik untuk melakukan itu. Tapi hanya jika dia berani mengambil sikap tegas dan melepaskan keterikatan pada kepentingan lama.

Saatnya Prabowo mengambil sikap. Bukan menjadi bagian dari sistem yang korup, tetapi menjadi pemutus rantai oligarki yang menjerat republik ini sejak lama. Jadilah Prabowo-ku, pembebas dari ketimpangan, pengawal keadilan, dan pemimpin sejati bagi Indonesiaku. Negeri ini terlalu besar untuk dikuasai oleh segelintir orang. Sudah saatnya kekuasaan kembali kepada rakyat. Sebagaimana cahaya kenabian mengusir kegelapan jahiliah, kita pun bisa — jika mau — menjadikan Maulid ini sebagai titik balik menuju pembebasan nasional. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment