Pembangunan Sosial di Era Presiden Prabowo, Efisiensi Anggaran Menjadi Penghalang

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto datang dengan tekad disiplin fiskal. Dengan beban APBN yang semakin berat akibat proyek infrastruktur besar, subsidi energi, dan komitmen pembangunan jangka panjang, efisiensi anggaran dipandang sebagai keniscayaan. Namun, kebijakan efisiensi yang diterapkan seragam di semua sektor menimbulkan paradoks. Sektor pembangunan sosial—fondasi kesejahteraan rakyat—justru paling terdampak. Program kependudukan, penurunan stunting, penguatan UMKM dan koperasi, hingga pemberdayaan masyarakat desa kini banyak yang terhambat, bahkan mati suri di sejumlah daerah.

Padahal, pembangunan sosial tidak bisa disamakan dengan pembangunan fisik. Jalan tol bisa dihitung panjangnya, tetapi keberdayaan masyarakat tidak bisa diukur dengan meteran. Ia butuh keberlanjutan, pendampingan, dan partisipasi. James Midgley (1995) menegaskan, pembangunan sosial adalah integrasi pembangunan ekonomi dan sosial yang saling menopang. Tanpa fondasi sosial yang kokoh, pembangunan ekonomi akan rapuh.

Teori Pembangunan Sosial dan Pemberdayaan

Amartya Sen (1999) melalui capability approach menegaskan bahwa pembangunan bukan sekadar pertumbuhan GDP, melainkan peningkatan kemampuan manusia menjalani hidup yang ia nilai berharga. Jika anggaran sosial dipangkas, maka kemampuan dasar rakyat—pendidikan, kesehatan, gizi—yang dikorbankan.Julian Rappaport (1984) dan Marc Zimmerman (2000) menekankan empowerment sebagai inti pembangunan sosial. Masyarakat harus diberi ruang berpartisipasi, membangun  , dan mengontrol kehidupannya. Ketika anggaran pertemuan kader, posyandu, dan kelompok tani dipangkas, maka ruang pemberdayaan masyarakat ikut terkikis.

Data Empiris: Potret Pembangunan Sosial

1.Stunting: SSGI 2023 mencatat prevalensi stunting 21,5%. Target WHO 14% pada 2024 hampir mustahil tercapai jika penyuluhan gizi dan kader posyandu kekurangan dukungan.

2.Kemiskinan: BPS Maret 2024 mencatat 25,22 juta jiwa atau 9,36% masih miskin, mayoritas di desa. Tanpa pemberdayaan, mereka tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

3.UMKM: Menyumbang 60% PDB dan menyerap 97% tenaga kerja (Kemenkop UKM, 2023), tetapi terhambat akses modal dan pendampingan. Rasionalisasi anggaran memperlemah UMKM.

4.Desa tertinggal: IDM 2022 menunjukkan 13 ribu desa masih berstatus tertinggal. Tanpa forum kelompok tani atau musyawarah desa yang aktif, ketertinggalan sulit diputus.

Efisiensi yang Menjadi Paradox

Terdapat tiga kelemahan utama dalam kebijakan efisiensi fiskal saat ini:

1.Bukan hanya jumlah, tapi bagaimana membelanjakannya.

Pembangunan sosial bukan soal besar kecilnya anggaran, tetapi bagaimana anggaran digunakan untuk menggerakkan masyarakat, memperkuat kader, dan membangun modal sosial.

2.Kelemahan model money follows function.K/L cenderung mengelola terlalu banyak program kecil, sehingga dana dan energi terpecah. Idealnya, fokus hanya pada 2–3 isu sosial dengan daya ungkit terbesar—misalnya stunting, UMKM, dan penguatan desa.

3.Pertanggungjawaban yang rumit melemahkan daerah. Daerah lebih sibuk dengan laporan administrasi ketimbang implementasi. Padahal, mereka adalah ujung tombak pembangunan sosial.

Reformasi Anggaran: Saatnya Block Grant

Solusi yang mendesak adalah reformasi sistem pembiayaan pembangunan sosial. Model Block Grant layak dipertimbangkan: pemerintah pusat menetapkan tujuan umum (misalnya peningkatan gizi, pemberdayaan desa), tetapi memberi keleluasaan pada pemerintah daerah untuk mengatur cara terbaik mencapainya.

Kelebihan Block Grant: Fleksibel: sesuai kebutuhan local, Pertanggungjawaban sederhana: fokus pada hasil, bukan tumpukan dokumen, Membangun kepercayaan: pusat memberi trust pada daerah, Efisiensi substantif: anggaran langsung menyasar kebutuhan nyata masyarakat. Block Grant sejalan dengan teori empowerment karena membuka ruang partisipasi lokal. Alih-alih mematikan forum kader dan volunteers, sistem ini justru menghidupkan kembali dinamika sosial di akar rumput.

 

Dapat disimpulan, bahwa disiplin fiskal memang penting, tetapi jangan sampai mengebiri pembangunan sosial. Data menunjukkan Indonesia masih menghadapi tantangan berat: stunting tinggi, kemiskinan membandel, UMKM rapuh, desa tertinggal banyak. Jika efisiensi diterapkan seragam, pembangunan sosial makin terpinggirkan. Karena itu, pemerintahan Prabowo perlu melakukan tiga langkah:

1. Menyadari bahwa anggaran sosial bukan soal jumlah, tetapi cara membelanjakannya

2. Menghapus model money follows function dan fokus pada 2–3 isu utama dengan daya ungkit tinggi.

3. Menerapkan model Block Grant untuk membebaskan daerah berinovasi dalam pembangunan sosial.

Dengan langkah ini, efisiensi fiskal tidak akan lagi menjadi ancaman, tetapi justru penopang terciptanya pembangunan sosial yang inklusif, berkelanjutan, dan berakar pada kekuatan masyarakat. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment