Politik Demokrasi Menuju 2029 Sudah Dikelola dan Dimainkan Mulai Hari Ini

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Bagi para aktor politik, 2029 bukanlah masa depan yang masih jauh, melainkan skenario yang mulai mereka sutradarai hari ini. Segala keputusan hukum, pernyataan politik, bahkan kongres partai kecil sekalipun, tampak menyiratkan satu hal: arah politik 2029 sedang dipetakan. Pertanyaan mendasar muncul: apakah segala bentuk kekuasaan dan perangkat hukumnya  hari ini sedang digunakan untuk pelayanan publik dan penegakan keadilan? Ataukah justru sebaliknya: kekuasaan dan hukum sedang dikerahkan untuk mengamankan posisi dan agenda politik jangka panjang?

Tulisan ini mencoba membedah dinamika politik dan hukum pasca-2024, mengurai aktor kunci, dan mengungkap berbagai manuver tersembunyi yang menjelaskan bagaimana Indonesia sedang mengelola demokrasi dengan segala kekuatan dan kerentanannya menjelang 2029.

Hukum yang Tidak Lagi Netral?

Hukum seharusnya menjadi panglima, alat yang netral dalam mengatur dan menertibkan masyarakat. Namun belakangan ini, kesan yang muncul justru sebaliknya. Hukum tampil seperti pedang bermata satu: tajam ke luar kekuasaan, namun tumpul ke dalam.Salah satu yang menyita perhatian publik adalah case Thomas Lembong,  banyak pihak menilai bahwa proses hukumnya  berbau politik: upaya untuk menekan, membungkam, atau setidaknya mengalihkan fokus publik dari agenda politik yang sedang dibangun oleh kekuatan di luar pemerintahan.Namun kasus ini bukan satu-satunya. Sejumlah aktivis, pegiat lingkungan, hingga pengacara publik yang bersuara lantang terhadap kebijakan pemerintah juga menghadapi masalah mulai dari pelaporan polisi hingga tuduhan ujaran kebencian. Ada kesan kuat bahwa hukum kini digunakan secara selektif: siapa yang tidak loyal, akan "diproses". Memang benar bahwa membangun untuk rakyat akan lancar bila minim gangguan.

Mega Korupsi yang Senyap dalam Kekuasaan

Berbagai kasus mega korupsi yang melibatkan aktor dalam kekuasaan justru sepi dari sorotan dan minim progres penegakan hukum. Ambil contoh kasus korupsi tambang timah di Bangka Belitung, yang diperkirakan merugikan negara lebih dari Rp271 triliun. Beberapa pengusaha dan pegawai pelaksana memang dijerat, namun aktor utama di balik aliran uang dan jaringannya yang terhubung ke elite kekuasaan belum tersentuh. Begitu juga dengan skandal Pertamina, termasuk kasus korupsi LNG, kilang, hingga proyek transisi energi yang mangkrak, juga  Proyek-proyek strategis nasional (PSN) bermasah,   hingga kini, tidak ada satu pun pejabat tinggi yang dijadikan tersangka. Inilah ketimpangan hukum yang menjadi tanda zaman: hukum bekerja keras untuk yang berada di luar kekuasaan, namun melunak terhadap mereka yang berada di dalam lingkaran kekuasaan.

PSI, Kaesang, dan Simbol Politik Baru

Di tengah suasana ini, muncul dinamika menarik dalam perpolitikan nasional. Kongres PSI secara resmi menetapkan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum, kemudian  ditutup langsung oleh Presiden Prabowo dan dihadiri hampir seluruh elite politik, termasuk partai-partai besar pendukung pemerintah.

Menariknya, dalam salah satu sesi  Ketua Dewan Pembina/Pendiri PSI Jeffrie Geovani menyebut Anies Baswedan secara eksplisit. Ia menyampaikan bahwa Anies, seperti halnya Raja Juli Nasution, pernah berkiprah pada lembaga/institut yang sama, dan memiliki sejarah yang beririsan dengan PSI. Ini membuka spekulasi bahwa PSI, meski selama ini berada dalam orbit kekuasaan, tetap menaruh perhatian  terhadap sosok Anies. Apakah ini sinyal kemungkinan ada dinamika politik baru? Atau strategi merangkul semua kekuatan menjelang 2029?

Gibran pada satu  simpul dan Anies pada simpul lain. Akankah menyatu?  Sebuah Spekulasi Awal.

Dalam politik, yang tampak mustahil hari ini bisa menjadi kenyataan esok hari. Nama Gibran Rakabuming Raka, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden,  dianggap tidak akan mungkin disatukan dengan tokoh seperti Anies Baswedan. Namun politik Indonesia selalu sarat kejutan. Jika Gibran terus dianggap "tidak diterima sepenuhnya" di lingkaran elite, dan jika Anies mampu membangun kekuatan rakyat yang cukup besar dari bawah,  apakah  mungkin dan bisakah simpul itu menyatu yang merepresentasikan dua kutub berbeda yang bertemu di tengah.

Terlebih, jika presidential threshold benar-benar dihapus, maka akan banyak poros baru muncul, dan  bisa menjadi solusi kompromi bagi kelompok nasionalis, religius, dan milenial sekaligus. Kombinasi seperti itu bisa sangat kompetitif jika dimainkan dengan cermat

Tokoh-Tokoh 2029: Siapa  Yang Masih Bertahan ?

Nama-nama yang paling sering muncul dan digiring  untuk  kontestasi 2029 antara lain: Anies : Figur kuat oposisi, dengan basis ideologi perubahan, elektoral, dan jaringan yang luas. Gibran Rakabuming Raka: Representasi dinasti Jokowi, sosok muda yang masih menyisakan kontroversi. Puan Maharani: Tokoh perempuan, syarat pengalaman, kader militan PDI Perjuangan mewakili politik kebangsaan. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY): Menko, Ketum partai, tokoh muda yang cerdas, representasi dinasti politik SBY. Ridwan Kamil: Populer, namun belum teruji di politik tingkat nasional, sayangya sedang tiarap karena kasus.

KDM /Dedi Mulyadi tokoh phenomenal yang seolah muncul menyeruduk keatas. Sebenarnya sih tidak, prosesnya panjang. Rintisan kerja politiknya  sudah lama. Cuma  timingnya tepat, setelah jadi Gubernur Jabar  cara kerjanya di sempurnakan dengan liputan sosmed yang massive. Program dan cara kerjanya nampak effektif menyentuh hati masyarakat /orang bawah, maka menjadi sangat sangat populer. Namun dari semua nama ini,  Anies nampak konsisten membangun kekuatan dari luar kekuasaan. Ia memiliki kekuatan narasi dan rekam jejak politik yang telah teruji sejak Pilgub DKI hingga Pilpres 2024.

Bagaimana dengan Prabowo? Tidak perlu diiulas oleh karena incumbent, sudah pasti kuat untuk meneruskan ke periode berikutnya. Tantangan yang dihadapi adalah dirinya sendiri, apakah mampu dan berani  membuat keputusan yang diinginkan rakyat.

Gerakan Rakyat dan Kekuatan Sipil

Anies baru saja ikut meluncurkan LSM Gerakan Rakyat, yang disebut-sebut sebagai kendaraan politik non-partai. Ini menarik karena bisa menjadi cikal bakal partai baru yang benar-benar mengakar pada aspirasi masyarakat sipil. Langkah ini mengingatkan publik pada era awal berdirinya PAN, PKS, bahkan PDI dulu: kekuatan moral rakyat yang kemudian menjelma menjadi kekuatan politik elektoral. Jika dikelola dengan baik, Gerakan Rakyat bisa menjadi saluran aspirasi yang murni, dan sekaligus sebagai mesin politik untuk 2029.

Kritik Terhadap Sistem Politik Hari Ini

Sayangnya, sistem politik hari ini masih didominasi oleh oligarki, transaksionalisme, dan politik dinasti. Partai-partai belum sepenuhnya menjalankan fungsi kaderisasi yang sehat. Perebutan posisi masih berbasis uang, popularitas, dan hubungan kekuasaan, belum sepenuhnya  pada kualitas, gagasan, dan rekam jejak. Jika tidak ada perubahan fundamental dalam sistem demokrasi, maka 2029 akan kembali menjadi pertarungan elite semata. Masyarakat hanya jadi penonton, bukan pelaku utama. Demokrasi prosedural tanpa substansi seperti ini bisa berujung pada kemandekan politik dan krisis legitimasi.

Rakyat Harus Menjadi Subyek Politik

Harusnya rakyat tidak boleh diam. Semua pihak yang peduli pada nasib bangsa harus mulai menyuarakan demokrasi yang lebih sehat. Bukan hanya menyoroti figur, tapi juga memperjuangkan sistem: pemilu yang adil, akses media yang setara, pembiayaan politik yang transparan, dan peradilan yang netral  serta memungkinkan tampilnya tokoh  mumpuni tapi minim logistik. Kalau tidak, kita akan kembali pada sirkulasi elite lama, dengan wajah baru namun agenda yang sama: kekuasaan untuk kekuasaan, bukan kekuasaan untuk rakyat.

Siapa Yang Menyusun Peta Jalan 2029?

Politik 2029 tidak akan muncul tiba-tiba. Ia sedang dirancang hari ini, lewat strategi hukum, pelemahan yang diluar kekuasaan dan atau oposisi, kongres partai, narasi publik, hingga alokasi APBN. Semuanya adalah bagian dari skenario besar yang sedang dijalankan oleh para elite.Namun sejarah politik Indonesia membuktikan bahwa tidak ada skenario yang mutlak. Rakyat selalu punya ruang untuk membelokkan arah sejarah. Syaratnya adalah,  jangan diam-speak up. Demokrasi hanya akan hidup kalau rakyat ikut menulis naskahnya. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan