Membangkitkan Kembali Peran Strategis Keluarga dalam Meningkatkan HDI dan Mengurangi Kemiskinan

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Indonesia saat ini berada pada peringkat ke-6 dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) di kawasan ASEAN, menurut laporan terbaru United Nations Development Programme (UNDP). Nilai HDI Indonesia tercatat sebesar 0,728, masih berada di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Indeks Pembangunan Manusia (HDI) ASEAN - Data UNDP 2023, Peringkat          Negara Nilai HDI, Singapura 0,946, Brunei 0,837, Malaysia 0,819, Thailand 0,798, Vietnam 0,766, Indonesia 0,728, Filipina 0,720, Laos 0,617, Myanmar 0,609 dan Kamboja 0,606. Catatan: Rata-rata HDI dunia adalah 0,756. Indonesia masih di bawah rata-rata global dan kawasan ASEAN.

Lebih mencemaskan lagi, menurut data Bank Dunia terbaru, tingkat kemiskinan di Indonesia berada di posisi kedua tertinggi di dunia berdasarkan pengeluaran per kapita harian di bawah USD 6,85. Ini adalah ambang batas baru yang digunakan Bank Dunia untuk negara-negara berpendapatan menengah atas.

Ranking Kemiskinan Dunia (Pengeluaran < USD 6,85/hari) – World Bank 2024, Peringkat Negara Penduduk Miskin (%) : Zimbabwe 84.2%, Indonesia 60,3%, Sri Lanka 24,5%, India 23,0%, Pakistan 21,9%, Nigeria 20,1%, Bangladesh 18,7%, Vietnam 18.2%, Ethiopia 16,5%, Thailand 7.1% dan Malaysia 1.3%. Angka-angka tersebut menunjukkan kontradiksi serius: Indonesia tumbuh secara ekonomi, tetapi sebagian besar rakyatnya masih hidup dalam garis kemiskinan global. Ini menuntut langkah yang lebih mendasar dan bersifat transformatif, terutama dari sektor yang selama ini kurang dilibatkan secara optimal: kependudukan dan pembangunan keluarga.

Apa Itu HDI ?                    

HDI adalah ukuran yang dikembangkan oleh UNDP untuk menilai kualitas hidup manusia secara komprehensif, berdasarkan tiga indikator utama:

1. Kesehatan (angka harapan hidup saat lahir).

2. Pendidikan (rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah), dan

3. Standar hidup layak (pendapatan nasional bruto per kapita).

Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

Tantangan peningkatan HDI dan pengurangan kemiskinan bukan hanya soal fiskal dan infrastruktur, melainkan soal kualitas keluarga. Dalam konteks ini, BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) sebenarnya memiliki posisi strategis terlebih saat ini status kelembagaannya telah ditransformasi menjadi Kementerian Kependudukan dan Pembanguan Keluarga/BKKBN.

BKKBN memiliki kekuatan berupa data mikro keluarga hingga tingkat desa, lengkap dengan petugas lapangan (PLKB), kader desa, serta sistem informasi dan pelaporan  yang sudah teruji sejak era kejayaan program Keluarga Berencana.

Sayangnya, sejak beberapa tahun terakhir, peran ini nyaris tak terlihat. Tidak ada gebrakan kebijakan atau inisiatif besar dari BKKBN. Padahal Indonesia memiliki warisan keberhasilan melalui program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yang handal,  Posyandu dan Pos KB desa,  Bidan Desa, Petugas Lapangan, mekanisme operasional program K/KB serta  strategi 8 Fungsi Keluarga yang menjadi rujukan dunia.

Saatnya Bangkitkan Kembali Program Berbasis 8 Fungsi Keluarga.                   

BKKBN punya kerangka strategis melalui 8 Fungsi Keluarga, yang jika diimplementasikan secara konsisten dan terarah, dapat menjawab langsung akar dari rendahnya HDI dan tingginya kemiskinan:

1. Fungsi agama

2. Fungsi sosial budaya

3. Fungsi cinta kasih

4. Fungsi perlindungan

5. Fungsi reproduksi

6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan

7. Fungsi ekonomi

8. Fungsi pembinaan lingkungan.

Kementerian Kependudukan/ BKKBN bisa tampil  mengajak  berbagai sektor dan swasta serta berbagai kalangan untuk bersama sama mengoperasionalkan 8 fungsi keluarga dalam rangka meningkatkan indeks pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan/pra-sejahtera.  Berbagai program pernah dirintis seperti UPPKA/AKU  untuk peningkatan ekonomi/ pendapatan keluarga, beasiswa,bantuan bibit, sanitasi dan jamban keluarga, kebersihan lingkungan,air bersih, bedah rumah dan bantuan penerangan listrik  serta program lainnya. Program itu dibiayai dengan berbagai sumber termasuk dengan  lelang kepedulian untuk memupuk gotong royong. Berbagai program dan model pendekatan tersebut  saatnya untuk dipertimbangkan dan perlu diperkuat kembali.

Melalui revitalisasi program ini, intervensi bisa difokuskan pada keluarga miskin, keluarga pra-sejahtera dengan pendekatan mikro berbasis data yang dimiliki oleh BKKBN. Hal ini akan jauh lebih efektif dibandingkan pendekatan makro yang sering kali tidak menyentuh akar persoalan di desa-desa.

Indonesia tidak kekurangan potensi maupun perangkat kelembagaan. Yang dibutuhkan adalah kemauan dan  leadership untuk melakukan transformasi dalam menggerakkan kembali masyarakat dari bawah dan di grassroots. Kepemimpinan  Menteri/Mas Wihaji dan Wamen/ Mbak Isyana akan sangat mampu untuk itu.

Keluarga adalah fondasi pembangunan manusia. Dan keluarga yang sehat, terdidik,  produktif, sadar lingkungan dan    peduli sesama serta menjalankan ajaran agama dengan baik adalah kunci untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan dan keluarga  pra-sejahtera.

Kementerian Kependudukan/BKKBN bisa menjadi pioneer untuk membangkitkan kembali gerakan pembangunan   keluarga berkualitas  oleh karena Indonesia tidak akan maju jika keluarga-keluarganya miskin dan tertinggal. Kebijakan itu sesuai juga dengan arah pembangunan Presiden Prabowo yang tertuang dalam Asta Cita ke-6. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan