Reinkarnasi Dwifungsi dalam Wajah Baru
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Tulisan ini merensponse beredarnya daftar dan informasi tentang banyaknya kalangan Polri dan TNI yang menduduki jabatan di birokrasi sipil akhir-akhir ini. Pasca reformasi 1998, salah satu pencapaian fundamental bangsa ini adalah penghapusan dwifungsi ABRI yang telah menjadi akar dari berbagai penyimpangan kekuasaan selama Orde Baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan geliat baru dari apa yang bisa disebut sebagai dwifungsi dalam rupa lain, yakni melalui skema legalisasi keterlibatan anggota TNI dan Polri dalam jabatan-jabatan sipil, yang kini didorong lewat revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Argumentasi formil yang dibangun untuk melegalkan penetrasi militer dan kepolisian ke ranah birokrasi sipil sering dibungkus dengan logika “penguatan birokrasi” atau “pemenuhan kebutuhan organisasi.” Namun, substansi dari kebijakan ini justru menggerus esensi dari reformasi birokrasi: bahwa birokrasi sipil haruslah profesional, netral, dan loyal kepada negara—bukan kepada kelompok, institusi, atau asal-usul korps.
Birokrasi sipil bukanlah tanah perdikan yang bisa dibagi-bagi kepada lembaga manapun, termasuk TNI dan Polri. Setiap jabatan birokrasi seharusnya diperoleh melalui proses kaderisasi yang jelas, merit-based, dan berjenjang. Ketika posisi-posisi penting diisi oleh personel dari luar ASN—tanpa proses berjenjang dari dalam—maka bukan hanya merusak tatanan karier ASN, tapi juga menimbulkan luka psikologis yang mendalam: ASN yang sudah lama mengabdi dari bawah, merasa disingkirkan oleh 'pendatang' yang tak melalui jalur pengabdian yang sama. Ini menciptakan ketidakadilan sistemik, penurunan semangat kerja, dan pada akhirnya birokrasi menjadi tidak sehat.
Apakah birokrasi sipil kita sudah sempurna? Tentu tidak. Tapi jawabannya bukan dengan menghadirkan aktor dari luar sistem, melainkan dengan memperbaiki sistem pembinaan internalnya sendiri. ASN memiliki kultur, struktur, dan logika kerja tersendiri, begitu juga dengan TNI dan Polri. Kultur komando yang inheren dalam militer dan kepolisian tidak serta-merta bisa diadaptasi dalam birokrasi sipil yang lebih deliberatif, partisipatif, dan berbasis regulasi sipil.
Ironisnya, justru lembaga yang kini diberi ruang masuk ke dalam birokrasi sipil masih menyimpan masalah internal yang kompleks. Publik belum lupa betapa rusaknya birokrasi dalam tubuh Polri yang terkuak dalam berbagai kasus, mulai dari skandal Sambo hingga jual beli jabatan. Bahkan TNI pun bukan tanpa masalah, meskipun sebagian besar tertutup rapat. Maka, alih-alih membawa “penyegaran,” masuknya mereka ke jabatan sipil justru bisa memperluas praktik buruk antar-lembaga.
Yang juga menimbulkan keprihatinan mendalam adalah sikap sebagian kalangan masyarakat sipil (civil society) dan lembaga-lembaga yang selama ini dikenal vokal dalam memperjuangkan demokrasi dan hak-hak sipil—termasuk organisasi proreformasi, kelompok akademisi, dan aktivis kebebasan sipil—yang justru tampak diam, atau bahkan seolah membiarkan proses reinkarnasi dwifungsi ini berjalan tanpa kontrol kritis. Setidaknya Korpri harus bersuara menyampaikan pandangan dan saran. Di mana suara mereka ketika nilai-nilai dasar reformasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah ini mulai diabaikan demi kepentingan jangka pendek politik dan kekuasaan?
Namun di tengah keprihatinan itu, kita juga perlu memahami konteks transisi kekuasaan ke Presiden terpilih Prabowo Subianto. Tidak diragukan, Prabowo memiliki niat tulus untuk mengabdi penuh kepada rakyat dan ingin menjadikan kekayaan alam Indonesia sebagai sumber kemakmuran rakyat secara maksimal. Tetapi kenyataannya, ia mewarisi warisan yang tidak ringan: sistem birokrasi yang kusut, korupsi yang akut, utang yang menggunung, serta jumlah penduduk miskin yang masih sangat besar. Ditambah lagi adanya beban psikologis untuk tetap menghormati jasa pendahulunya.
Dalam situasi ini, kita harus mendukung semua upaya beliau. Dan sangat mungkin terkait dengan apa yang dibahas ini, Prabowo merasa lebih percaya dan nyaman bekerja bersama figur-figur berlatar belakang militer dan kepolisian—yang dianggap punya loyalitas tinggi dan bisa digerakkan cepat untuk mengejar target pembangunan dalam waktu yang terbatas. Dari sudut pandang efisiensi, hal itu dapat dipahami sebagai leadership style, strategi manajerial di tengah tekanan besar untuk menunjukkan hasil nyata dalam waktu singkat.
Dengan latar belakang militer, sangat mungkin Prabowo menempatkan kedisiplinan, kecepatan eksekusi, dan soliditas komando sebagai faktor utama. Maka, keputusannya melibatkan sejumlah figur militer dan kepolisian dalam birokrasi bisa dilihat sebagai upaya membangun task force-task force yang ia anggap lebih siap kerja, lebih bisa dikendalikan, dan langsung loyal pada arah kebijakan strategis presiden.
Namun, bila pendekatan ini bersifat sementara—mirip dengan operasi militer selain perang (OMSP)—masyarakat mungkin masih bisa memahaminya. Akan tetapi, jika hal ini dilegalkan dan dibuat permanen melalui UU ASN yang membuka ruang sistematis bagi TNI dan Polri untuk mengisi jabatan-jabatan sipil, maka ini jelas menyerempet prinsip-prinsip utama reformasi birokrasi dan demokratisasi pascareformasi 1998.
Dengan demikian, jika niat Presiden Prabowo benar-benar tulus untuk mempercepat pembangunan dan menyejahterakan rakyat, maka pelibatan unsur militer-polisi dalam birokrasi sipil hendaknya bersifat darurat, selektif, dan sementara. Legalitas permanen melalui UU ASN justru harusnya ditinjau ulang. Sebab negara hukum yang sehat dibangun dengan sistem, bukan sekadar orang-orang yang bisa dipercaya.
Kita percaya bahwa Presiden Prabowo adalah pemimpin yang ingin mencatat sejarah besar bagi bangsa. Dan kita juga berharap untuk itu. Namun sejarah besar hanya bisa diwariskan oleh pemimpin yang mampu menyeimbangkan efisiensi dan demokrasi, bukan oleh yang mengulang praktik-praktik lama yang telah ditolak. Semoga Presiden bisa membawa negeri yang penuh cobaan ini menjadi negeri yang makmur berkat dukungan birokrasi baik sipil militer dan polri yang bekerja professional dibidangnya masing masing. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan