Memperingati HARGANAS Ke XXXII Tahun 2025 : Momentum Untuk Mengentaskan Kemiskinan
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Hari Keluarga Nasional diperingati setiap tanggal 29 Juni dan tahun 2025 ini merupakan peringatan yang ke-32. Tanggal 29 Juni merupakan hari dimana para pejuang kemerdekaan kembali ke rumah masing masing, berkumpul kembali dengan keluarga dari medan gerilya, tepat seminggu setelah penyerahan dan diakuinya Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh penjajah Belanda pada tanggal 22 Juni 1949. Memperingati Harganas tahun 2025 hendaknya dijadikan momentum untuk memperkuat semangat dan komitmen serta perlunya merubah strategi pengentasan penduduk miskin dan keluarga pra-sejahtera sebagai upaya membangun keluarga berkualitas. Mengingat target target yang ingin dicapai pemerintahan Prabowo Subianto sangat tinggi dan hanya bisa dicapai dengan upaya luar biasa serta kerja yang tidak biasa, keluar dari rutinitas. Target yang harus dicapai rata rata tiga kali lipat dari target sebelumnya, dengan tantangan dan masalah yang makin berat serta kompleks.
Bank Dunia me-release laporan Macro Poverty Outlook 2025, per 2024 menunjukkan bahwa 60.3 persen atau 171.8 juta penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan atau rentan miskin, dengan memakai standard pengeluaran sekitar 6.8 dolar AS per-orang per-hari. Indonesia menempati peringkat keempat tertinggi di dunia dalam hal jumlah penduduk miskin, di bawah Afsel( 63.4), Namibia(62.5), Botswana (61.9 persen). Bank Dunia kemudian menaikkan lagi standard garis kemiskinan dan bagi negara berpenghasilan menengah keatas/upper middle income country termasuk Indonesia, pengeluaran per-kapita per- hari naik dari $6.8 menjadi $ 8.3, setara dengan Rp 139.000 ( kurs Rp 16.700). Dampaknya, jumlah penduduk miskin Indonesia naik menjadi lebih dari 194 juta atau 68.2 % penduduknya miskin. Memang untuk Indonesia BPS menggunakan standard kurang dari $ 2 dengan tujuan yang berbeda dengan tujuan Bank Dunia yang ingin melihat penduduk miskin di dunia dan bisa membandingkan satu negara dengan negara lainnya. Setidaknya data Bank Dunia itu bisa menjadi acuan dalam menyusun kebijakan serta program dalam rangka pengentasan penduduk miskin dan kemiskinan merupakan permasalahan besar yang harus jadi fokus perhatian pembangunan.
Data tersebut menegaskan bahwa selama ini strategi pembangunan yang dijalankan walau terjadi pertumbuhan namun belum berdampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Saatnya untuk merubah strategi dan fokus pembangunan ekonomi nasional yang harus berorientasi pada kepentingan rakyat. Fokusnya adalah akar rumput dimulai dari titik paling bawah: penduduk miskin termasuk keluarga pra- sejahtera di desa. Masalah kemiskinan memang menjadi atensi dan perhatian Presiden Prabowo Subianto. Asta Cita dengan gamblang mencantumkan sasaran dan target yang terukur yang ingin dicapai pada tahun 2029. Penduduk miskin harus turun menjadi 0.5-0.8 persen saja dengan baseline pada 2024 penduduk miskin jumlahnya 27.5 juta dan penduduk yang hampir miskin 115 juta.
Dalam berbagai kesempatan dan forum dan yang mutakhir pada forum SPIEC/The 28 th St Petersburgh International Economy and Cooperation 2025, tanggal 26 Juni 2025 lalu beliau meyampaikan kebijakan pembangunan kedepan dengan berbagai permasalahannya. Prabowo selain menyampaikan upaya swasembada pangan dan energy , beliau juga menekankan bahwa Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 didunia, mempunyai masalah tentang kemiskinan dan permasalahan pertambahan jumlah penduduk sekitar 5 juta penduduk yang baru lahir setiap tahun, dan harus disediakan makan dan berbagai fasilitas lainnya.
Dengan demikian maka masalah kemiskinnan dan juga tentunya keluarga pra-sejahtera serta pentingnya terus menghidupkan program terkait dengan upaya pengaturan kelahiran serta pengendalian jumlah penduduk. Atensi Presiden terhadap masalah tersebut harusnya menjadi perhatian utama dari para pembantu beliau termasuk Menteri Kependudukan/Ka BKKBN beserta Kementerian dan Lembaga lainnya, untuk mengambil langkah strategik dan terukur dalam meresponse masalah kemiskinan yang menjadi perhatian utama Presiden Prabowo. Sudah saatnya para pembantu beliau secara bersama merubah strategi dengan membangun kerja “team” yang solid untuk melakukan intervensi yang efektif pada tingkat lapangan.
Kenyataan di Akar Rumput
Keluarga miskin di desa menghadapi tantangan yang bersifat multidimensional. Mereka umumnya tidak memiliki penghasilan tetap, berpendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan kerja, tinggal di rumah yang tidak layak huni, tanpa akses sanitasi, air bersih, dan listrik serta lingkungan yang tidak memadai. Lebih dari itu, mereka juga tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif karena tidak memiliki modal dan jejaring usaha. Banyak dari mereka bekerja sebagai buruh tani lepas dengan penghasilan harian tidak pasti, sementara lahan pekarangan maupun tanah desa dibiarkan tidur tak dimanfaatkan.
Kondisi ini diperparah oleh minimnya partisipasi sosial dan ekonomi. Mereka tidak tergabung dalam koperasi, kelompok tani, atau lembaga keuangan mikro. Lingkungan mereka sering kali juga tidak sehat dan rentan penyakit. Dengan kondisi seperti ini, mustahil membangun ekonomi nasional yang tangguh tanpa membebaskan keluarga miskin dari lingkaran keterpinggiran.
Intervensi Terpadu Lintas Sektor
Karena kemiskinan bersifat kompleks dan saling terkait, maka solusi pun tidak bisa sektoral. Diperlukan intervensi terpadu lintas sektor yang dirancang dan dijalankan secara kolaboratif. Di sinilah peran sentral Menteri Kependudukan/Kepala BKKBN menjadi strategik. Mengapa? Karena BKKBN memiliki data mikro keluarga yang akurat dan diperbarui secara berkala melalui pemutakhiran data keluarga nasional (PK21), serta jaringan petugas lapangan (PLKB/PKB) yang tersebar di seluruh pelosok negeri.
Berdasarkan data mikro ini, pemerintah pusat dapat memetakan secara presisi siapa yang miskin, di mana mereka berada, apa kebutuhannya, dan intervensi apa yang paling tepat. Dengan data ini pula, koordinasi lintas kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dunia usaha, TNI/Polri, serta organisasi masyarakat dan keagamaan dapat difokuskan secara tepat sasaran. Menduk/Ka BKKBN dalam kaitan ini mempunyai program unggulan yaitu 5 Quick Win yang bisa dijadikan tema tema kampanye dan sosialisasi kepada masyarakat.
Mobilisasi Nasional dan CSR Swasta
Indonesia memiliki sumber daya yang luar biasa jika mampu dikonsolidasikan. Kementerian/Lembaga seperti Kemenkes, Kemendes, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, hingga Kemenkop, Kemen UMKM, BP Taskin, BGN semuanya memiliki program pemberdayaan. TNI memiliki program “ABRI Masuk Desa”, Polri memiliki “Bhakti Bhayangkara”, dan organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, NU, Walubi, Tzu Chi, serta lembaga zakat nasional memiliki kemampuan eksekusi sosial di tingkat akar rumput.
Selain itu, perusahaan besar—baik sektor pertambangan, manufaktur,property, rokok, hingga perbankan—mempunyai kewajiban menyalurkan Corporate Social Responsibility (CSR). Namun saat ini, program-program CSR masih tercerai berai dan kurang terarah dan atau tujuan politis. Jika dikoordinasikan dalam satu desain besar pembangunan keluarga dan desa, CSR swasta akan menjadi kekuatan ekonomi kerakyatan yang luar biasa.
Konsep Intervensi Berbasis Potensi Lokal
Model intervensi dapat dimulai dari program pemberdayaan sederhana namun tepat guna: pemanfaatan lahan pekarangan untuk tanaman produktif, bahkan Prabowo menganjurkan menanam cabai masing masing keluarga 5 pot saja untuk mengurangi pengeluaran. Yang dianjurkan Peabowo ini tidak boleh disepelekan, karena memang penduduk miskin dan keluarga ora-sejahtera itu harus dengan pendekatan upaya mengurangi beban pengeluarannya serta meningkatkan pendapatannya.
Penduduk miskin dan keluarga pra-sejahtera perlu mendapatkan pelatihan keterampilan kerja berbasis potensi lokal, bantuan modal usaha mikro berbasis koperasi desa, perbaikan rumah tidak layak huni, pembangunan sanitasi dan akses air bersih, hingga elektrifikasi desa-desa tertinggal.
Semua ini dapat dimulai dari skema klasterisasi keluarga miskin di desa—di mana dalam satu kawasan dilakukan intervensi serentak: kesehatan, kersertaan ber KB , anak stunting, pendidikan, keterampilan, ekonomi, dan infrastruktur dasar. Dengan pendekatan terintegrasi ini, desa bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi rakyat, bukan hanya kantong kemiskinan. Lessons learned dari pola intervensi program untuk keluarga pra sejahtera di masa lalu perlu di bangkitkann dan di revitalisasi. Program K/KB pernah memberikan bibit pohon kelapa hybrida masing masing keluarga 2 pohon. Kemudian program bedah rumah secara gotong royong, bantuan dari para pengussha dilaksanakan pada saat kegiatan ABRI masuk desa. Tujuannya rumah keluarga pra sejahtera/ penduduk miskin direhabilitasi menjadi rumah layak huni dan sehat. Kalau program Kementerian Perumahan dan Pemukiman orientasinya membangun 3 juta rumah per tahun adalah bagi masyarakat yang belum punya rumah dan berpenghasilan sekitar 10 jutaan. Sehingga tidak mungkin keluarga prasejahtera atau keluarga miskin tersentuh program ini. Program bedah rumah dengan model A-La-Din(Atap, Lantai Dinding) tidak membutuhkan dana besar. Karena umumnya meningkatkan kondisi rumah yang sudah ada. Kalau atapnya bocor itu yang di rehabilitasi, demikian juga lantainya kalau dari tanah harus disemen dan dindingnya dari papan atau gedek itu yang diganti dengan bahan yang sama. Dikerjakan secara gotong royong, sehingga dalam satu tahun akan bisa dicapai perbaikan rumah penduduk miskin dalam jumlah jutaan dibarengi dengan program jamban keluarga, sanitasi dan lingkungan serta bantuan penerangan. Jadi dalam waktu yang tidak terlalu lama kita menciptakan kampung atau desa ‘merah putih’ dengan penduduk yang terentas dari kemiskinan dan hidup sejahtera memiliki pekerjaan dan penghasilan, rumah yang layak, lingkungan yang sehat serta penduduknya taat menjalankan kehidupan kepercayaannya dengan penuh toleransi.
Kepemimpinan Transformatif dan Orkestrasi Nasional
Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan nasional yang kuat dan mampu meng-orkestrasi semua elemen menjadi satu “The Winning Team”. Menteri Kependudukan/BKKBN tidak cukup hanya menjadi pelaksana program keluarga berencana, tetapi harus tampil sebagai motor penggerak transformasi sosial-ekonomi berbasis keluarga dan desa.
Dalam konteks visi besar Indonesia Emas 2045, strategi ini bukan pilihan, tapi keharusan. Tidak mungkin kita menciptakan kemakmuran nasional dengan meninggalkan 60 persen lebih rakyat dalam kemiskinan struktural. Maka pembangunan harus dimulai dari bawah—dari keluarga dan desa. Di situlah masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Untuk seluruh Keluarga Indonesia dan para pejuang program kependudukan dan keluarga berencana Selamat Merayakan Harganas ke 32 tahun 2025. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan