Presiden Prabowo Subianto Merubah Arah Pembangunan ke People Centered Development
H lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Enam bulan pertama masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto nampaknya sedang mempersiapkan hal mendasar yang perlu diamati dan dicermati, karena tidak semua bisa memahaminya termasuk pembantu pembantunya. Dalam kurun waktu itu Prabowo sebenarnya mengkonsolidasikan perubahan arah dan strategi pembangunan yang berorientasi untuk rakyat, ‘people centered development’ sebagai jalan pintas menjawab apa yang beliau sebut sebagai paradoks Indonedia ditengah battle field system kapitalis dan pasar bebas yang super liberal.
Sebagai seorang prajurit dan petarung dengan latar belakang keluarga yang kuat, ayahnya seorang Begawan Ekonomi, Prof Soemitro yang dipahami ‘beraliran’ sosialis, tentu Prabowo paham apa yang terjadi dan apa yang salah. Negeri ini kaya raya tetapi rakyatnya miskin, seolah terjebak pada ‘paradox of plenty’. Tentu Prabowo sadar bahwa system perekonomian yang berjalan ini merupakan penyimpangan atau terserabut dari cita cita para pendiri bangsa yang ingin perekonomian dibangun dengan azas kekeluargaan dan kekayaan alam diperuntukkan bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Itulah sebabnya dalam enam bulan pertama Prabowo tidak henti hentinya mengkampanyekan dan menyuarakan hal itu disegala kesempatan, tempat dan acara. Nampak sekali konsep dan strategi pembangunan yang akan dijalankan diarahkan untuk kembali pada hakiki cita cita pendiri bangsa yang tercantum dalam UUD 45 Asli.
Dimanapun dibelahan bumi ini konsep para pemikir yang melahirkan system kapitalisme, sosialisme dan komunisme, dikembangkan dan diterapkan dengan diramu dan disesuaikan, belajar dari kelemahan dan kegagalan masing masing system itu. Arah yang diambil Prabowo layak diapresiasi sebagai awal yang menggugah harapan ditengah situasi yang serba tidak pasti dan negeri ini sedang menghadapi berbagai permasalahan yang multi dimensional.
Prabowo menunjukkan sikap tegas, kesungguhan tinggi, dan ketulusan untuk benar-benar mengabdikan diri kepada bangsa dan untuk rakyat. Prabowo seolah sadar bahwa waktu tak banyak, maka langsung menancapkan fondasi pembangunan yang menjawab persoalan pokok rakyat seperti kemiskinan, gizi buruk, ketimpangan ekonomi, dan ketergantungan pangan, pengelolaan dan penguasaan kekayaan negara dan tentu yang terkait tata kelola yang baik.
Salah satu langkah strategik adalah pembentukan Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan. Tak berhenti di situ, Prabowo juga membentuk Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN, serta mendirikan Badan Gizi Nasional. Kementerian dan Lembaga tersebut bertugas menjalankan program makanan bergizi gratis bagi 82 juta anak sekolah, balita, dan ibu hamil—kebijakan revolusioner yang akan berdampak besar bagi generasi masa depan dan juga untuk pengentasan keluarga prasejahtera serta penduduk miskin.
Dalam bidang pangan, visi Prabowo jelas: Indonesia harus berdaulat. Program swasembada digalakkan lewat pembangunan rice estate/food estate, perbaikan irigasi, dan pemberantasan mafia pupuk. Pemerintah ingin menjamin petani bisa berproduksi optimal tanpa dimakan rantai distribusi yang tidak adil.
Sementara itu, dalam Asta Cita ke-6, Presiden menekankan pembangunan dari desa dan dari bawah untuk pemerataan dan pengentasan kemiskinan sebagai motor pertumbuhan ekonomi. Rencananya, koperasi akan dibentuk di lebih dari 80 ribu desa untuk mengelola ekonomi lokal. Strategi ini menunjukkan bahwa pembangunan tak lagi bersandar pada megaproyek, tetapi pada ekonomi rakyat yang membumi.
Yang menarik, Prabowo mulai menggeser orientasi pembangunan besar seperti infrastruktur dan IKN kepada skema yang lebih efisien. Proyek-proyek strategis nasional yang terindikasi hanya menjadi kedok oligarki tengah ditinjau ulang bahkan ada yang dihentikan.Pemerintah mulai menata ulang anggaran untuk lebih fokus pada kebutuhan rakyat banyak. Pemerintah nampaknya mulai menerapkan prinsip ‘focus demand sacrifices’.
Dalam sektor keuangan negara, Prabowo membuat terobosan lewat pembentukan Dana Abadi Nasional, semacam sovereign wealth fund Indonesia. Tujuannya adalah mengelola aset negara dengan lebih profesional dan memutus praktik korupsi serta salah urus di tubuh BUMN yang selama ini kerap menjadi sumber kebocoran negara. Kita berharap Danantara investasinya diarahkan lebih kepada program yang memperkuat ekonomi kerakyatan dan atau investasi for the people. Akan lebih mantap lagi bila diikuti oleh kebijakan fiskal yang radikal khususnya dalam menurunkan suku bunga sekecil kecilnya seperti dinegara maju yang tidak lebih dari 1-2% mengingat suku bunga di negeri ini amat tinggi, tidak kondusif untuk mengembangkan dunia usaha dan untuk mendorong masyarakat menjadi masyarakat produktif. Dengan kebijakan radikal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendorong masyarakat menjadi masyarakat yang produktif yang pada gilirannya pemerintah mendapatkan revenue dari berbagai macam pajak. Namun demikian, ada tiga hal penting yang masih terasa lesu dan butuh perhatian segera yaitu, politik luar negeri, pendidikan nasional dan disiplin nasional.
Politik Luar Negeri Yang Kurang Bertenaga.
Enam bulan pemerintahan berjalan, peran Indonesia dalam konstelasi global masih terasa redup. Diplomasi kita kehilangan greget. Politik luar negeri yang dulu dikenal bebas aktif kini cenderung pasif, tanpa manuver yang menonjol di forum-forum dunia. Ketika isu-isu besar seperti krisis kemanusiaan, geopolitik Indo-Pasifik, hingga transformasi teknologi dan energi global mengemuka, posisi Indonesia nyaris tak terdengar, kita berikan kredit kepada Kemenlu pada pemerintahan sebelumnya.
Kementerian Luar Negeri perlu dikuatkan.
Kualitas diplomat dan strategi internasional harus ditingkatkan. Prabowo punya jaringan dan respek global yang baik, tinggal bagaimana ini dimanfaatkan untuk mengangkat kembali posisi Indonesia sebagai middle power yang dihormati.
Pendidikan: Kurikulum Neraka dan Kesenjangan Mutu.
Sektor pendidikan belum tersentuh secara signifikan dalam enam bulan ini. Padahal, fondasi kemajuan bangsa ada di sini. Anak-anak kita dicekoki kurikulum yang terlalu berat, yang lebih menekan daripada mencerdaskan. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah sudah seperti ‘neraka kecil’ bagi anak-anak. Beban akademik harusnya dikurangi setidaknya 50% agar memberi ruang tumbuhnya kreativitas, karakter, dan minat belajar.
Di tingkat perguruan tinggi, penguasaan bahasa asing harus ditingkatkan secara masif. Ini penting agar lulusannya tidak tertinggal dari dunia global dan bisa bersaing di pasar kerja internasional. Kualitas dosen dan mutu akademik juga perlu penyesuaian dengan standar internasional. Pendidikan siap pakai, vokasi, dan politeknik harus diperbanyak dan diperkuat.
Lebih jauh, pendidikan harus menyentuh tiga aspek sekaligus: pikiran (mind), hati (heart), dan jiwa (soul). Kita tidak sedang membangun manusia mesin, tapi manusia utuh. Karena itu pula, standar gaji ASN—terutama guru—harus setara dengan negara-negara maju jika ingin mutu pendidikan meningkat. Kebijakan full day school sudah selayaknya diterapkan karena sudah ada dukungan makan bergizi gratis dari negara.
Disiplin Nasional dan Tantangan Sosial.
Tantangan besar lain adalah krisis disiplin nasional, hampir disemua kalangan terutama di kalangan anak muda. Gaya hidup hedonis, konsumtif, dan pamer kekayaan menjangkiti generasi muda, didorong oleh tayangan-tayangan media dan konten digital yang bebas nilai. Ini harus dihentikan. Negara tak boleh diam. Televisi, media sosial, dan para pesohor harus diberi batas yang etis agar tidak merusak moral generasi.
TNI dan Polri pun perlu kembali pada rel fungsinya. Terlalu banyak masuk ke dunia bisnis dan jabatan sipil hanya akan memperkeruh tata kelola negara. Penegakan hukum masih lemah. KPK, Kejaksaan, Kepolisian, dan Mahkamah Agung sedang “sakit” oleh hedonisme, konflik kepentingan, dan infiltrasi korupsi.
Namun, publik menaruh harapan bahwa Prabowo sedang menyiapkan langkah-langkah strategis untuk membersihkan ini semua. Mungkin menunggu waktu yang tepat, tetapi ketegasannya sudah terlihat, dan hanya membutuhkan orang-orang yang benar-benar bersih dan berani.
Enam bulan adalah waktu yang singkat, namun cukup memberi isyarat tentang arah besar pemerintahan ini. Jika konsistensi terus dijaga, jika pembenahan sektor-sektor kritis segera dilakukan, maka kita sedang menyaksikan lahirnya fondasi baru bangsa: membangun dari bawah, bottom up, yang berpihak pada rakyat, membangun dari desa, dan meletakkan martabat bangsa di tengah percaturan dunia. Dan itu dimulai dari satu kata kunci: keberanian. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan