Menyoroti Persoalan Perluasan Peran TNI di Pemerintahan
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Hari hari ini ruang publik dipenuhi berita tentang peran tentara pada jabatan sipil dan dipertanyakan juga adanya rapat Komisi 1 DPR RI dihotel mewah dengan pengamanan bukan oleh aparat kepolisian dan walau mendapat protes akhirnya Revisi UU TNI itu disyahkan DPR RI. TNI kedepan akan menghadapi tantangan yang makin komplek sejalan dengan dinamika global dan kemajuan teknologi serta perubahan geopolitik dunia. TNI harus terus berbenah dan mempersiapkan diri menjadi militer setara yang dimiliki negara maju, serta untuk menghadapi perubahan global tersebut dengan menjadi tentara professional sekaligus kesiapan menuju Indonesia Emas 2045. TNI harusnya fokus melakukan perubahan ke dalam dan menghindari keterlibatannya dalam bidang diluar tugas pokoknya. TNI harus berani menerapkan prinsip ‘focus demand sacrifices’ agar menjadi tentara seperti pada negara maju.
Di negara-negara maju, militer umumnya fokus pada tugas pertahanan negara dan tidak terlibat dalam urusan sipil atau pemerintahan sehari-hari. Prinsip utama yang dijaga adalah supremasi sipil atas militer, di mana kebijakan dan administrasi negara dikendalikan oleh pemerintahan sipil, bukan oleh tentara. Militer AS memiliki aturan ketat tentang keterlibatan dalam urusan domestik. Undang-Undang Posse Comitatus melarang keterlibatan militer dalam penegakan hukum domestik, kecuali dalam keadaan darurat dengan izin khusus dari Presiden atau Kongres. Militer Inggris berada di bawah kendali sipil dan tidak memiliki peran dalam urusan pemerintahan atau administrasi sipil. Mereka tidak boleh menduduki jabatan di kementerian atau lembaga sipil.
Setelah Perang Dunia II, Jerman secara ketat membatasi peran militernya hanya untuk pertahanan. Bundeswehr (angkatan bersenjata Jerman) tidak boleh terlibat dalam politik atau urusan sipil. Militer Prancis tunduk pada kendali Presiden dan pemerintah sipil. Keterlibatan mereka dalam urusan sipil sangat terbatas, kecuali dalam keadaan darurat seperti bencana alam.
Phenomena ‘dwifungsi terselubung’, merujuk pada sejarah militer Indonesia yang memiliki peran luas di luar pertahanan, terutama sejak era Orde Baru dengan konsep Dwifungsi ABRI. Reformasi 1998 menghapus keterlibatan militer dalam politik dan pemerintahan, tetapi belakangan ada indikasi bahwa peran non-militer kembali diperluas dengan adanya perubahan UU ASN dan Revisi UU TNI yang memungkinkan TNI menduduki jabatan sipil pada ‘15 Kementerian dan Lembaga’- K/L, belum lagi jabatan lainnya serta keterlibatan dalam proyek proyek seperti pengelolaan pangan dan infrastruktur serta kegiatan business lainnya, yang aturan larangannya sudah dihapus. Lengkap sudah jabatan sipil yang ‘menggiurkan’ itu dibagi habis oleh Polisi dan Tentara yang membuat situasi para ASN karir sangat terganggu dan terancam proses perkembangan karirnya.
Mengapa kritik dan suara sumbang mulai muncul, oleh karena kedepan dampaknya bisa membuat situasi yang tidak kondusif memetik pelajaran di masa lampau, seperti: Kemunduran demokrasi. Semakin banyaknya peran TNI di sipil berisiko mengaburkan batas antara kekuatan militer dan pemerintahan sipil. Inefisiensi dan Penyalahgunaan Kewenangan. Militer yang tidak terlatih dalam administrasi sipil dapat menciptakan birokrasi yang kurang efektif atau bahkan rawan korupsi. Pelanggaran Civil Right. Supremasi sipil melemah jika militer semakin aktif dalam urusan sipil, yang bisa berdampak pada kebebasan sipil dan HAM.
Memang ‘pola sikap dan pola tindak seseorang akan ditentukan dan dibentuk oleh background dan pengalamannya’. Presiden Prabowo Subianto/PS background dan pengalamannya adalah dunia militer dan business maka kita bisa pahami sikap dan pola tindaknya ingin cepat dan sesuai garis komando. Keinginannya untuk melayani masyarakat dengan cepat dan mewujudkan janji kampanyenya sesegera mungkin di laksanakan, membuatnya melibatkan militer dalam birokrasi pemerintahannya. Namun birokrasi itu punya ‘dunia dan kultur serta bahasanya sendiri’, berjalan dengan standard operating procedures yang ketat mengakibatkan birokrasi seolah jadi lamban. Masalah bukan pada birokrasi saja tapi yang krusial adalah situasi perekonomian yang berdampak pada APBN yang tidak kondusif, keterbatasan anggaran proyek dan kegiatan (dipotong), diikuti system pertanggung jawaban yang rinci dan rumit yang akan membuat penyerapan jadi lambat. Belum lagi masalah korupsi yang merajalela dan masih belum bisa diberantas, makin menyulitkan situasi anggaran belanja negara dan terus menghambat keinginan PS mengeksekusi janji janinya.
Dengan melibatkan dan menugaskan perwira tentara juga polisi ke birokrasi apa akan menjamin semuanya akan beres, lancar dan mampu menghapus korupsi, kan tidak juga. Malah keberadaan perwira TNI di Kementerian Lembaga (K/L) akan menimbulkan permasalahan baru seperti timbulnya gap psikologis dikalangan ASN karir, koordinasi dan komando yang terpecah. Seyogyanya yang dibenahi adalah system dan tatakelola didalam birokrasi pada masing masing K/L termasuk TNI dan Kepolisian.
TNI seharusnya tetap fokus pada tugas pertahanan, sebagaimana yang berlaku di negara-negara maju. Keterlibatan dalam urusan sipil hanya boleh terjadi dalam kondisi luar biasa seperti bencana alam atau keadaan darurat nasional, bukan sebagai fungsi rutin, cukup dengan landasan ‘Operasi Militer Selain Perang’, bukan membuat pasal pasal dalam UU ASN dan TNI serta Kepolisian. Jika peran militer di pemerintahan terus diperluas, maka akan ada risiko bahwa Indonesia bergerak mundur ke arah otoritarianisme militeristik, seperti yang terjadi di era Orde Baru. Semoga saja PS akan mampu memanage pemerintahan dengan multi problems baik yang diwariskan dan yang baru . Ada optimisme karena PS adalah contoh pemimpin yang tulus, patriot dan petarung. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan